More

    Israel di Bawah Tekanan Krisis Internal, Perlawanan Palestina, dan Erosi Dukungan Global

    Gelombang Emigrasi dan Ketidakstabilan Krisis Internal

    Dampak perang berkepanjangan kini merembet ke dalam negeri. Data resmi Knesset menunjukkan, antara tahun 2020 hingga 2024, sebanyak 145.900 warga Israel meninggalkan negara itu secara permanen, angka tertinggi dalam beberapa dekade.

    Pada 2023 saja, 82.800 orang meninggalkan Israel, sementara hanya 12.100 yang kembali pada 2024. 

    - Advertisement -

    Fenomena ini mencerminkan meningkatnya rasa tidak aman, tekanan ekonomi, dan perpecahan sosial yang makin dalam. Kota Tel Aviv menjadi penyumbang terbesar emigran (14%), diikuti Haifa (7,7%), Netanya (6,9%), dan Yerusalem (6,3%). Ketua Komite Migrasi Knesset, Gilad Kariv, menyebut gelombang ini sebagai “tsunami demografis” yang menunjukkan krisis eksistensial negara tersebut.

    Secara global, dukungan terhadap Israel terus menurun. Dalam Sidang Umum PBB pada September 2025, banyak delegasi meninggalkan ruangan ketika Perdana Menteri Benjamin Netanyahu berpidato. Sejumlah negara Barat kini bahkan mulai secara resmi mengakui Negara Palestina, sebuah langkah yang tak terbayangkan beberapa tahun lalu.

    Bahkan di Amerika Serikat, dukungan terhadap Zionisme mulai terkikis. Survei terbaru menunjukkan 40% warga Yahudi AS percaya Israel telah melakukan genosida di Gaza, dan angka itu melonjak menjadi 50% di kalangan muda. Di berbagai negara, gerakan solidaritas untuk Palestina terus tumbuh.

    Aksi boikot terhadap produk dan institusi Israel meningkat. Dari protes olahraga hingga tekanan agar Israel dikeluarkan dari Eurovision dan kompetisi sepak bola internasional. Gerakan BDS (Boycott, Divestment, Sanctions) kini disebut sebagai gerakan anti-perang terbesar sejak era Vietnam.

    Dukungan tanpa syarat AS terhadap Israel juga mengalami guncangan. Setelah kekalahan beruntun di Afghanistan, Yaman, dan Ukraina, Washington kini lebih berhati-hati. Rencana pertahanan 2025 menandai perubahan strategi yang menarik diri dari konfrontasi besar dan fokus pada “Hemisphere Barat”.

    Keterbatasan industri militer, ketergantungan pada pasokan logam tanah jarang dari Tiongkok, serta tekanan ekonomi domestik membuat AS tidak lagi mampu menopang Israel seperti dulu. Seorang pejabat Israel bahkan mengaku kepada media, “Untuk pertama kalinya, kami diperlakukan sebagai klien, bukan mitra.”

    Krisis politik, ekonomi, dan moral yang dihadapi Israel saat ini membuka ruang refleksi, yaitu apakah dunia sedang menyaksikan awal dari berakhirnya proyek kolonial Zionisme?

    Mungkin belum. Tapi satu hal jelas: narasi tunggal tentang “Israel yang tak terkalahkan” kini runtuh di hadapan dunia.

    Sementara itu, perlawanan rakyat Palestina dari Gaza hingga Ramallah, dari pelabuhan Yaman hingga jalanan Madrid, terus menegaskan satu pesan bahwa perjuangan untuk keadilan dan kesetaraan belum berakhir.

    - Advertisement -

    3 COMMENTS

    1. kehancuran Isriwil sangat dinantikan datangnya..apalagi jika kehancurannya diakibatkan oleh perjuangan pasukan perlawanan, semoga pasukan perjuangan mendapat kekuatan yang berlipat ganda sehingga diberi kemenangan yang gilang gemilang.. aamiin YRA

      • Ini bukan hanya soal kehancuran Sirael tapi kehancuran kapitalisme yang sudah lama merenggut perdamaian dunia dengan pundi-pundinya yang membayar militer dan polisi untuk memerangi kelas pekerja

    2. secara taktis kesepakatan gencatan senjata tercapai dengan dibebaskanya para sandra, tapi secara strategis, zionis israel kalah, karena tidak dapat mengalahkan tentara gaza.

      Perang dua tahun, menciptakan kekalahan disemua lini pada pihak zionis, hingga seakan tak percaya, perang ini dapat merubah zionis israel menjadi satu negara yang paling di benci diseluruh dunia.

      Panjang Umur Palestina

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here