Anis Zakiyyah F
Global warming adalah isu lingkungan yang tak akan pernah dibuat usang oleh perkembangan zaman dan peradaban. Sejak pesatnya kemajuan teknologi di dunia ini, sebut saja ini era revolusi teknologi, pekerjaan manusia menjadi lebih mudah baik dalam kegiatan komunikasi, mobilisasi, dan lain-lain. Gaya hidup masyarakat mengalami perubahan pada hal-hal yang bersifat praktis dan cepat.
Ada banyak hal di sekitar kita yang cukup menyita perhatian terkait isu global warming. Tidak perlu menengok jauh-jauh. Contoh sederhana adalah kampus kita sendiri. Ada banyak mobil yang parkir di sana-sini. Mobil-mobil ini ternyata bukan seluruhnya milik pengajar (dosen) dan karyawan. Sebagian besarnya adalah milik mahasiswa.
Pertanyaannya tidak jatuh pada apakah mereka dibelikan atau membeli sendiri, tetapi pada “perlukah?”. Perlukah seorang mahasiswa yang datang ke kampus seorang diri, hendak duduk beberapa jam, beraktivitas di dalam kampus kemudian pulang dan tidak membawa kebutuhan kuliah yang sedemikian beratnya sehingga harus diangkut menggunakan mobil kemudian menggunakan kendaraan pribadi beroda empat tersebut ke kampus?
Kota ini sudah cukup sesak dengan datangnya perantau muda untuk menimba ilmu dan memperjuangkan masa depan. Volume kendaraan yang keluar masuk kota, terutama kampus ini, tak terhitung berapa banyaknya. Tindakan mahasiswa menggunakan mobil seorang diri hanya untuk pergi ke kampus kurang bisa diterima. Selain meninggalkan asap kendaraan bermotor, mobil juga menyita banyak tempat untuk parkir. Tindakan itu tentu bukan merupakan bentuk pemenuhan kebutuhan, tetapi untuk memuaskan keinginan, keinginan akan prestige yang tinggi.
Anak muda mana yang tidak bangga mampu mengendarai mobil ke kampus? Tidak ada.
Sayang sekali kebanggaan semacam itu adalah kebanggaan yang diletakkan pada tempat yang salah sebab justru memberikan dampak kurang baik yang lebih banyak pada orang lain dan hanya memberikan kenyamanan bagi diri sendiri. Kita tentu sudah dapat menebak latar belakang di balik fenomena ini.
Gengsi (prestige) adalah faktor pendorong utama mengapa banyak mahasiswa yang pergi ke kampus menggunakan mobil sementara mereka masih sanggup menggunakan kendaraan bermotor roda dua atau bahkan sepeda. Tentu saja prestige, kalau bukan karena prestige karena apa lagi?
Tidak mungkin karena kebutuhan sebab kebanyakan mahasiswa yang membawa mobil memang tidak sedang kerepotan membawa barang-barang yang perlu diangkut menggunakan mobil. Kebanyakan dari mereka hanya membawa satu tas yang terlihat tidak begitu berisi. Sekilas kita pasti berpikir bahwa itu bukan kebutuhan tetapi gaya hidup yang diliputi prestige.
Prestige itu kemudian menutup kesadaran banyak orang untuk turut berpartisipasi dalam menjaga lingkungan, dalam hal ini mengurangi polusi udara. Mereka berpikir tidak dapat hidup tanpa prestige sementara kebutuhan akan udara bersih yang mereka hirup setiap harinya dilupakan.
Ini adalah sebuah ironi.
Mahasiswa dengan idealisme dan semangatnya yang masih tinggi sudah sepatutnya memiliki kesadaran yang penuh untuk menjaga keasrian lingkungan terlebih kampus terletak di perkotaan yang tanpa sumbangan polutan udara dari dalam pun sudah cukup membuatnya kurang asri karena datangnya polutan dari luar.
Selain mahasiswa, pihak universitas seharusnya juga memberlakukan kebijakan yang dapat membantu mengurangi polusi udara seperti melarang mahasiswa membawa mobil pribadi, memberlakukan parkir terpusat serta menyediakan sepeda gratis yang dapat digunakan siapa saja selama berada di area kampus. Keasrian kampus adalah tanggung jawab semua pihak. Let’s stop global warming! []