Shani Pranantiyo
Konsumtif, mungkin kata itu adalah kata yang paling tepat untuk mewakili kondisi mayoritas masyarakat pada saat ini. Sebagaimana kita tahu, masyarakat modern masa kini adalah masyarakat yang kurang memperhatikan makna dari sebuah proses, cenderung pragmatis, bahkan oportunis.
Konsumtif bukan hanya pada bagaimana mereka menjajakan uangnya untuk memenuhi kebutuhan – kebutuhan primer, sekunder maupun tersiernya saja. Namun bagaimana mereka mengonsumsi energi, yang notabene juga terbatas persediannya. Energi listrik contohnya. Energi listrik yang kita sering konsumsi memang energi yang sebagian besar terbentuk dari bahan fosil. Dan seperti kita tahu, bahan bakar fosil adalah bahan bakar yang terbentuk dari aktifitas kimiawi yang setidaknya membutuhkan banyak waktu untuk dapat dikonsumsi.
Di Indonesia, konsumsi energi listrik terbilang tinggi, bahkan meningkat tiap tahunnya. Dari data yang dilansir oleh Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral menunjukkan bahwa pertumbuhan pemakaian listrik semester-1 / 2013 naik sebesar 7,2% dibanding semester yang sama pada tahun 2012. Data tersebut adalah akumulasi data pemakaian listrik untuk pelanggan golongan sektor industri dan rumah tangga. Namun, yang perlu kita cermati adalah bagaimana sektor rumah tangga juga mengalami peningkatan pada konsumsi listrik. Segmen rumah tangga pada semester-1 / 2013 jumlah pelanggannya tumbuh 8% dibanding semester tahun berikutnya. Ini menunjukkan bahwa pemakaian listrik dalam skala mayoritas masyarakat menguat dan mempunyai efek domino terhadap pertumbuhan global warming.
Meningkatnya konsumsi listrik pada sektor rumah tangga, yang sekaligus juga dikonsumsi oleh masyarakat luas mungkin menunjukkan salah satu indikasi bahwa masyarakat kita memang konsumtif pada pemakaian listrik. Hal ini patut disayangkan karena masih minimnya tingkat kesadaran masyarakat dalam penggunaan listrik.
Konsumtifnya masyarakat dalam pemakaian listrik ini tak lepas dari budaya dari masyarakat itu sendiri. Budaya yang dimaksud adalah pemborosan energi melalui pemakaian listrik yang tidak efektif dan efisien. Budaya yang sudah mengakar pada masyarakat bisa jadi adalah jawaban dari mengapa kita sanagat “boros” dalam mengonsumsi pemakaian listrik. Seperti pada contoh menyalakan lampu pada siang hari karena minimnya sirkulasi cahaya di rumah atau seseorang yang menyalakan alat elektronik (laptop dan televisi) secara bersamaan.
Implikasi dari konsumsi listrik yang berlebihan juga dapat menimbulkan dampak yang tidak baik bagi lingkungan. Selain bahan bakar yang tidak bisa diperbaharui, aktifitas pembangkit listrik juga dapat mempunyai dampak bagi penguatan global warming. Aktifitas yang merugikan itu berupa semakin banyaknya gas yang terbuang akibat dari pembakaran batu bara yang merupakan bahan utama pembangkit listrik tersebut.
Merubah paradigma pemakaian atau konsumsi listrik melalui penerapan budaya baru yang ramah lingkungan dan sadar energi adalah salah satu jalan guna melepas budaya lama yang boros energi, utamanya dalam konsumsi listrik. Memang sulit untuk menerapkannya, tapi apa salahnya bila dicoba, bukan? Mulailah dari hal yang sepele seperti mematikan lampu pada siang hari. Atau setidaknya efektif dalam konsumsi listrik.
Penciptaan budaya baru yang “pro” lingkungan seyogyanya adalah program jangka panjang, karena seperti kita tahu merubah budaya itu memerlukan waktu yang cukup lama. Namun apa salahnya bila kita mencobanya? Bukannya terlambat lebih baik dari pada tidak sama sekali?[]
Literatur (sumber data) :
http://www.esdm.go.id/berita/listrik/39-listrik/6373-pemakaian-listrik-semester-12013-tumbuh-tinggi-di-sektor-produktif-dan-rendah-di-kelompok-konsumtif.html