Dede Prabowo Wiguna – FMIPA Universitas Indonesia
Pengantar
Protokol Kyoto (Kyoto Protocol to the United Nations Framework Convention on Climate Change) merupakan protokol tentang persetujuan dalam Persidangan Rangka Kerja PBB terkait Perubahan Iklim dan diterima oleh banyak negara tentang perihal pemanasan global. Negara yang menyetujui ini secara kolektif akan menurunkan gas rumah kaca ataupun emisi lainnya yang berpengaruh.
Jika berhasil dilaksanakan, Protokol Kyoto berupaya menurunkan kenaikan suhu global antara 0.02 °C dan 0.28 °C setahun sehingga tahun 2050.
Protokol Kyoto telah diratifikasi tetapi komitmennya tetap sama, penulis mengamati penerapan dalam lingkup Indonesia masih jauh pelaksanaannya. Sehingga perlu dipertanyakan kembali bagaimana komitmen Indonesia (stake holder) terhadap penurunan emisi?. Sebab, hal demikian sepertinya sangat tidak tampak terlihat akan respon yang signifikan dari pemerintah.
Akhir-akhir ini diperparah dengan (hot topic) kasus kebakaran hutan di Riau. Provinsi dengan salah satu area hutan yang cukup luas di Indonesia dan seharus menjadi salah satu penyangga ‘siklus iklim’ faktanya justru menjadi penghasil emosi karbon dari asap kebakaran. Belum lagi dampak akibat kebakaran ini terhadap sosio-ekonomi masyakat. Ini yang dimaksud bertentangan dengan Protokol Kyoto itu sendiri dan justru dengan kejadian seperti ini mencoreng bangsa Indonesia di mata Internasional.
Selain bertentangan dengan Protokol Kyoto, komitmen pemerintah juga dipertanyakan kembali soal penyataan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono yang memberi pernyataan resmi di Pittsburg dalam pertemuan negara-negara G-20 tahun 2009 tentang kesanggupan Indonesia untuk secara sukarela menurunkan target emisi Gas Rumah kaca (GRK) sebesar 26% dari Business As Usual (BAu) pada tahun 2020, dan target tambahan 15% (totalnya 41%) dengan dukungan negara maju. Lagi-lagi, dengan kasus kebakaran tersebut sepertinya ada kurangnya mitigasi dari pemerintah dan lemah dalam kontrol di kawasan hutan.
Mereview Data Climate Change
Banyak perubahan yang telah diamati terhadap iklim global. Lembaga-lembaga telah banyak melakukan riset terkait Climate Change. Secara umum, dibanyak lembaga yang mengeluarkan data tersebut dapat dipastikan bahwa besarnya pengaruh dari kontribusi CO2 terhadap perubahan iklim dunia. Ukuran-ukuran data yang ditampilkan dari data time series kemudian alat untuk prediksi perubahan iklim yang akan dating. Ukuran penilaian IPCC, CCSP, dan lain-lain dapat di lihat dari laporan ini.
Data ini mungkin sudah cukup lama, tetapi menurut penulis data tersebut masih dapat dipakai untuk me-review kembali.
Dari data Global Climate Change Impacts in the United States (2009) secara jelas tergambar gelembung udara yang terjebak dalam inti es Antartika memperpanjang kembali selama 800.000 tahun yang mendokumentasikan perubahan konsentrasi karbon dioksida di bumi.
Selama periode yang panjang ini, faktor alam telah menyebabkan konsentrasi karbon dioksida di atmosfer bervariasi dalam kisaran sekitar 170 sampai 300 bagian per juta (ppm). Data suhu terkait membuat jelas bahwa variasi ini telah memainkan peran sentral dalam menentukan iklim global. Sebagai akibat dari aktivitas manusia, konsentrasi karbon dioksida saat ini sekitar 385 ppm adalah sekitar 30 persen di atas level tertinggi selama setidaknya terakhir 800.000 tahun.
Dengan tidak adanya langkah-langkah pengendalian yang kuat, emisi yang diproyeksikan untuk abad ini akan menghasilkan konsentrasi karbon dioksida meningkat ke tingkat yang kira-kira 2 sampai 3 kali tingkat tertinggi terjadi selama era glasial-interglasial yang mencakup berlangsung 800.000 tahun atau lebih. Kemudian disebabkan oleh berbagai aktivitas manusia yang terjadi dijelas dari data berikut.
Peningkatan konsentrasi gas-gas tersebut sejak 1750 disebabkan oleh aktivitas manusia di era industri. Unit konsentrasi bagian adalah per juta (ppm) atau per miliar (ppb), menunjukkan jumlah molekul gas rumah kaca per juta atau miliar molekul udara.
Peningkatan yang sangat drastis tersebut kembali mengingatkan kita akan bencana-bencana yang akan terjadi akibat perubahan iklim global. Hal demikian jika dilihat dalam skala global. Dalam skala Indonesia, termasuk wilayah yang memiliki potensi ancaman yang berkaitan dengan iklim seperti banjir, kemarau panjang, angin kencang, longsor, dan kebakaran hutan. Peta dibawah ini dapat mencerminkan terhadap kerawanan wilayah Indonesia akan terjadinya bencana.
Upaya-upaya mitigasi yang lebih intens seharusnya dilakukan pemerintah meskpun kasus-kasus lokal tetapi bisa berdampak global. Namun, belum optimalnya mitigasi yang menyebabkan kebakaran hutan kembali terjadi. Kasus di Riau ini masih misteri, sebab kebakaran tersebut akibat dari faktor alami atau ada campur tangan manusia (illegal loging) atau sebab-sebab lainnya.
Ini yang harus segera ditelusuri agar ada kepastian.
Dari peta tersebut daerah-daerah yang kategori tinggi seperti, P. Irian bagian utara dan utara kepala burung, hampir keseluruhan Pantai Barat P. Sumatera dan Jawa sampai ke Nusa Tenggara. Namun, karena kasus kebakaran hutan di Riau seharusnya ada pembuatan Peta Kerentanan yang baru dimana kawasan-kawasan hutan termasuk daerah yang sangat rentan terhadap kebakaran. Kajian tentang perubahan iklim yang telah dilakukan para ahli banyak yang menyinggung tentang pengaruhnya terhadap curah hujan atau cuaca ekstrim di Indonesia, misalnya terkait El-Nino dan La-Nina dan dimana hal ini berdampak pada aktivitas pada sektor pertanian.
Beberapa Penelitian Bidang Pertanian menampilkan data tentang kekeringan akibat El-Nino.
Dari data tersebut dapat dilihat trend kekeringan yang meningkat saat terjadi El-Nino. Dimana kekeringan tertinggi terjadi pada bulan Mei dan terendah pada bulan Juli. Sebaliknya, akibat La-Nina maka berdampak banjir bagi wilayah Indonesia yang sebagaimana dapat dilihat pada gambar berikut ini.
Dari data tersebut terdeskripsi bahwa pada saat terjadi La-Nina di bulan Desember terus trend-nya meningkat sampai Maret yang mengakibatkan semakin meluasnya wilayah terdampak banjir. Pentingnya akan upaya mitigasi sekarang bukanlah hanya sekedar dokumen tetapi ditunjukkan oleh kinerja dilapangan.
Rencana-rencana strategis yang telah dibuat sepertinya hanya menjadi laporan saja. Aksi cepat tanggap terhadap penanganan kasus demi kasus belum terlihat. Kasus-kasus kebakaran bukan hanya sekali, tetapi berkali-kali. Hal ini berarti ada indikasi tidak adanya komitmen yang berarti. Padahal, data-data tentang bahaya climate change sudah banyak dilaporkan.
Peran Hutan dan Konsep REDD+
Banyak defenisi lembaga yang terkait dengan hutan. Dalam undang-undang 41 tahun 1999 tentang kehutanan, hutan didefinisikan sebagai suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.
Definisi hutan sesuai Undang-Undang Indonesia ini lebih memperlihatkan definisi secara kualitatif sehingga sulit digunakan untuk perhitungan-perhitungan karbon yang biasa digunakan dalam isu perubahan iklim, misalnya menghitung deforestasi dan degradasi hutan. Namun demikian, pada tahun 2011 untuk kepentingan CDM (Clean Development Mechanism) dalam Kyoto Protocol, Indonesia menetapkan definisi hutan sebagai areal minimal seluas 0,25 ha, dengan minimal tutupan tajuk pohon 30%, dan tinggi pohon minimal 5 meter.
Pengertian definsi hutan untuk CDM ini tidak merujuk defenisi hutan alam untuk ReDD+. Sementara itu Badan Planologi dan Pusat Standarisasi dan Lingkungan (Pustanling) kementerian Kehutanan mendefinisikan hutan untuk perhitungan deforestasi adalah hamparan lahan dengan luas minimum 0,25 ha, yang ditumbuhi vegetasi berkayu berbagai jenis dan umur yang tajuknya menutup hamparan tersebut minimal 30% (NRDC, 2013).
Untuk upaya peningkatan serapan karbon, hutan memiliki peranan yang sangat baik melalui proses fotosistesis. Hutan yang terdiri dari kumpulan pohon secara ilmiah berfungsi sebagai pengemisi karbon dioksida (CO2), dan juga sebagai penyerap CO2 yang kemudian melalui proses fotosintesis, CO2 tersebut dikonversi dan disimpan dalam bentuk biomassa yang tersebar dalam bentuk batang, cabang, ranting, daun, akar, kulit batang atau dalam bentuk lain, baik yang tersimpan dalam tanah atau diatas tanah.
Pentingnya fungsi hutan dalam dalam siklus karbon pada isu perubahan iklim telah menempatkan sektor kehutanan menjadi bagian dari strategi pencapaian target pengurangan emisi karbon di Indonesia. Menurut Indonesia Second National Communication (2010) kontribusi emisi perubahan tataguna lahan dan kehutanan (LUCF) pada tahun 2000 mencapai 47%, angka tersebut belum termasuk emisi dari kebakaran lahan gambut sebesar 13% (NRDC).
Dari data tersebut dapat maknai bahwa besarnya pengaruh sektor kehutanan terhadap emisi. Sehingga, dalam kasus-kasus yang terjadi belakangan ini perlu mitigasi dan penganangan yang serius. NRDC (Natural Resources Development Center) memperkenalkan konsep REDD+.
Secara ringkas kegiatan REDD+ adalah mengkonservasi hutan primer (mempertahankan stok karbon yang ada), mencegah deforestasi dan degradasi hutan, mengelola hutan produksi secara lestari, dan menanam kembali lahan kritis hingga menjadi hutan.
Khusus di kawasan hutan produksi, kegiatan pengelolaan hutan secara lestari menjadi hal yang harus dilakukan jika ingin berkontribusi dalam mitigasi perubahan iklim.
Salah satu kegiatan dalam pengelolaan hutan secara lestari adalah pembalakan berdampak rendah emisi karbon (RIL-C) yang bertujuan mengurangi emisi GRK dari kegiatan pembalakan dengan cara Business As Usual (BAU). REDD+ usaha untuk mereforestasi yang diakibatkan deforestasi dan degradasi hutan. Reforestasi didefinisikan sebagai proses pengembalian areal non-hutan menjadi hutan dengan cara penanaman pohon dan perawatan hingga mencapai/melewati titik batas definisi hutan.
Konsep dasar REDD+ ini tidak berubah sampai saat ini. Pedroni, 2008 (NRDC, 2013) secara umum mengkategorikan enam tipe tutupan lahan berdasarkan stok karbonnya, yang secara dinamis dapat berubah sepanjang waktu pengelolaannya, yaitu ;
A. Lahan hutan (forest land) yang terdiri dari 1). hutan konservasi/hutan utuh (intact forest) dan 2). Hutan yang dikelola (managed forest) dan 3). hutan tergradasi (degraded forest); (Di Indonesia, ketiga tipe penggunaan lahan ini bisa ada di hutan lindung, hutan konservasi, hutan produksi, atau hutan hak).
B. Lahan non-hutan (non-forest land) yaitu 4). Lahan yang dalam proses penggundulan (devegetation) dan 5). Lahan yang dalam proses menjadi hutan kembali (revegetation), kelompok ini terdiri dari lahan pertanian (cropland), padang rumput/alang-lang (grassland), lahan penggundulan (devegetasi), lahan basah (wetland), pemukiman (settlement) dan lahan lainnya (other land), (Di Indonesia tipe ini bisa ada di Areal Penggunaan Lain, kawasan hutan tapi gundul).
C. Lahan hutan 6). hutan tanaman baru (forest land) sebagai hasil dari kegiatan penghutanan areal yang sebelumnya tidak berhutan atau aforestasi (afforestation) dan penghutanan kembali atau reforestasi (reforestation). Di Indonesia tipe ini bisa ada di kawasan hutan atau Areal Penggunaan Lain (APL).
Secara umum proses yang terjadi dari kawasan hutan menjadi non-hutan disebut sebagai proses deforestasi, sedangkan dari non-hutan menjadi hutan kembali disebut sebagai reforestasi.
Skema ini mengambarkan bagaimana dinamika penggunaan lahan dalam rentang waktu yang panjang dan dinamika kemampuan mempertahankan stok karbon (carbon sink/carbon pool) dengan menggunakan referensi definisi hutan (forest definition) sebagai basis perhitungannya.
Secara hukum, sesuai dengan pasal 1(b) dan 1(c) dari UU 41/2009 tentang kehutanan, Ruang Lingkup REDD+ dilaksanakan dalam lokasi (lawas) lahan berhutan (termasuk hutan mangrove) dan lahan bergambut di dalam kawasan hutan dan kawasan APL (Area Penggunaan Lain) di seluruh wilayah Indonesia, baik yang sudah maupun yang belum tercatat dalam register hutan Indonesia.
Banyak sudah dokumen yang berisikan data-data perubahan iklim beserta berbagai strategi dan konsep pengelolaannya. Hutan sebagai sumber daya alam yang sangat strategis tentu menjadi sumber produksi yang besar dari hasil kayunya. Berbagai pihak sudah pasti melirik sektor kehutanan sebagai sektor potensial untuk “digarap”. Adanya pihak yang melindungi dan merawat tetapi ada pihak yang menghancurkan. Hal ini seolah menjadi perdebatan yang di ada ujung pangkalnya. Sehingga muncul istilah Developmentalis vs Environmentalis.
Semoga semua orang dapat sadar akan pentingnya hutan bagi sektor kehidupan sehingga tujuan untuk mengurangi emisi karbon dapat terwujud. Jika tidak maka bencana demi bencana akan terulang kembali. Protokol Kyoto bukan hanya sekedar dokumen tetapi aksi nyata.
Harapan akan komitmen bersama mitigasi perubahan iklim (climate change) dipertanyakan dan perlu ditinjau kembali. Dan diakhir tulisan ini, penulis mengharapkan untuk segera mengusut kasus-kasus disektor kehutanan. Kebakaran di Riau segera dilakukan aksi cepat tanggap. Kalau ada ‘oknum’ harus segera ditindak tegas sesuai hukum. Teknologi Remote Sensing menjadi tools untuk membantu decision making, dengan alat ini dapat diidentifikasi apakah kebakaran di Riau memang karena faktor alam atau faktor manusia.[]
Referensi
[1] Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2011. Pedoman Umum Adaptasi Perubahan Iklim Sektor Pertanian. Kementerian Pertanian.
[2] Kyoto Protocol To The United Nations Framework Convention On Climate Change. 1998. United Nations.
[3] Global Climate Change Impacts in the United States. 2009. A State of Knowledge Report from the U.S. Global Change Research Program. Cambridge University Press.
[4] Natural Resources Development Center. 2013. Policy Paper : Peran Pengelolaan Hutan Produksi Alam dalam Perubahan Iklim (REDD+, Pengelolaan Hutan Lestari Dan RIL-C). The Nature Conservacy Program Teresrial Indonesia Jakarta, November 2013.
[5] UNDP Indonesia. 2007. Sisi lain perubahan iklim, Mengapa Indonesia harus beradaptasi untuk melindungi rakyat miskinnya.