Penulis : Derry Perdana Munsil, Ketua Umum Senat Mahasiswa Teknik Unhas
Tepat tanggal 17 Agustus 2015 masyarakat Indonesia merayakan kemerdekaanya yang ke-70. Namun kemerdekaan hari ini telah mengalami re-interpretasi yang keliru sebagian besar masyarakat Indonesia. Penafsiran mengenai kemerdekaan Indonesia diterjemahkan secara dangkal, sempit dan prosedural. Dalam artian kemerdekaan acap kali di maknai sebagai sebuah mekanisme formalitas belaka semisal hanya dengan proklamasi semata dan upacara 17 Agustusan. Padahal, kemerdekaan yang sejati adalah sesuatu yang sifatnya multidimensional dan mencakup segala aspek kenegaraan. Bukannya dipenjarakan oleh hal-hal simbolik saja.
Sejak jauh-jauh hari kemerdekaan yang substansial telah di deskripsikan secara terang benderang dalam pidato Trisakti Bung Karno. Dalam pidatonya, ia mengatakan, kemerdekaan itu mencakup tiga hal yakni berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi dan berkepribadian dalam berbudaya. Sayangnya banyak orang yang tidak menyadari atas ketidak-merdeka-an yang tengah di alami republik masa kini dan akhirnya berporos pada keapatisan kalangan intelektual.
Disini penulis hendak menguak tabir ketergantungan terhadap hutang luar negeri yang menjadi jalan masuk bagi penjajahan berwajah baru. Yakni penjajahan yang dilakukan melalui perekonomian atau yang disebut dengan Neo-Kolonialisme. Ketidaksesuaian antara realitas yang ada terhadap label Indonesia merdeka, membuat penulis gelisah dan ingin menelanjangi keterjajahan Indonesia masa kini agar bisa menjadi pelajaran berharga dan membakar semangat generasi penerus untuk mengembalikan kemerdekaan Indonesia di kittah yang sebenarnya.
Labelisasi Indonesia merdeka menjadi strategi ‘manis’ pemerintah bersama kacung-kacung negara Imperialis untuk menghegemoni dan membangun opini publik seolah-olah Indonesia merdeka. Semestinya kita perlu membuka mata lebar-lebar, melihat kenyataan pahit hari ini dimasa hutang Indonesia sudah menembus USD 299,84 miliar atau setara Rp 4003 triliun. Sedangkan APBN 2013 hanya berkisar Rp. 1984 triliun. Oleh karena ketidakmampuan negara dalam melunasi hutang semakin menggunung itulah, pada akhirnya menjadi instrument politis bagi pihak asing untuk mengeksplorasi kekayaan alam secara membabi buta dan dengan bebas meng-intervensi aturan-aturan kenegaraan. Alhasil, penulis sampai pada titik kesepahaman “penjajahan yang semula dilancarkan dengan motivasi ekonomi akan berujung pada permainan dan intrik politis (Hukum Kausalitas Ekonomi-Politik)”.
Ketergantungan dan Keterbelakangan
Berbekal Teori Depedencia milik Theotonio Dos Santos, Dependensi atau ketergantungan adalah keadaan dimana kehidupan ekonomi negara -negara tertentu dipengaruhi oleh perkembangan dan ekspansi dari kehidupan ekonomi negara – negara lain. Negara-negara tertentu ini hanya berperan sebagai penerima akibat saja dan menjadi ‘budak’ ekonomi negara-negara maju. Teori ketergantungan ini pada dasarnya menyetujui, yang menjadi penyebab ketergantungan adalah kekurangan modal dan kurangnya tenaga ahli yang tersedia di dalam negeri. Tetapi faktor penyebabnya adalah proses imperialisme dan neo imperialisme yang menyedot surplus modal yang terjadi di negara pinggiran ke negara pusat. Akibat pengalihan surplus ini, negara pinggiran kehilangan surplus utama yang dibutuhkan untuk membangun negerinya. Maka, pembangunan dan keterbelakangan merupakan dua aspek dari sebuah proses global yang sama. Proses global ini merupakan proses kapitalisasi dunia. Di kawasan yang satu, proses itu melahirkan pembangunan, dikawasan yang lain, menyebabkan lahirnya keterbelakangan dan kemiskinan akut yang tak berkesudahan.
Kelicikan bank dunia, Asian Development Bank (Red: ADB) dan IMF terlihat jelas ketika memberikan pinjaman dan biasanya memesan dan menuntut Undang-Undang ataupun peraturan pemerintah, Tidak hanya dalam bidang ekonomi, tetapi juga di bidang sosial. Sehingga dalam prakteknya negara Indonesia menggadaikan UU dan peraturan pemerintahnya kepada negara kreditor untuk ditukar dengan pinjaman. Contohnya pinjaman sebesar US$ 300 juta dari ADB yang ditukar dengan UUPrivatisasi BUMN, sejalan dengan kebijakan Neo-liberal. ADB memberikan pinjaman 300 juta dolar syaratnya minta privatisasi, minta undang-undang privatisasi BUMN sehingga seolah-olah satu-satunya cara untuk memperbaiki kinerja BUMN adalah dengan menjual dan biasanya menjual dengan harga murah. Dalam prakteknya program penjualan aset-aset negara tersebut dilakukan dengan harga sangat murah(under-valued) sehingga sering terjadi program privatisasi yang identik rampokisasi (piratization), seperti diungkapkan Prof. Marshall Goldman dari Harvard University. Belum lagi pemerintah kita yang tidak serius dalam membangun industri dalam negeri hingga Indonesia sangat tergantung terhadap impor dalam segala aspek kehidupan.
Akhirnya, ketergantungan terhadap hutang menjadi lahan basah bagi negeri-negeri imperialis, melalui perpanjangan tangan IMF dan Bank Dunia, untuk menciptakan perangkap (debt trap) dan penjajahan perekonomian. Pengeritik kapitalisme Naomi Klein, mengatakan hutang hanyalah alat bagi kreditur, yakni negeri-negeri imperialis untuk memaksa negara dunia ketiga mengikuti arahan mereka menjalankan “kebijakan penyesuaian struktural” alias neoliberalisme. Ini pula yang terjadi pada Indonesia. Begitu terperangkap hutang-IMF, pemerintah Indonesia ditodong dan diwajibkan menjalankan kebijakan neoliberal atas tuntutan Washington Konsensus, seperti penghapusan subsidi, deregulasi, privatisasi BUMN dan asset kekayaan alam, liberalisasi perdagangan, liberalisasi sektor keuangan, dan lain-lain. Dengan demikian sudah semestinya kita mengembalikan perjuangan bangsa ke jalan yang sebenarnya dengan melakukan penolakan dan perlawanan terhadap segala bentuk penjajahan khususnya Neo-Imperialisme. Lebih spesifik lagi, ketergantungan pada hutang bisa juga dikurangi secara drastis dengan cara menentang negara Imperialis, tolak iintervensi asing, perang terhadap korupsi, nasionalisasi seluruh asset kekayaan alam (termasuk BUMN), penegakan hukum tanpa tebang pilih, peningkatan efisiensi anggaran, membangun industrialisasi dalam negeri dan membangun budaya produktif. Penghematan dan efisiensi seperti demikian hanya akan efektif jika didahului dengan reformasi birokrasi yang agresif dan tentunya mesti dibarengi dengan kepemimpinan yang tegas, visioner dan berintegritas.
Ke depannya pemimpin yang dibutuhkan Indonesia haruslah yang berani dan dengan tegas menentang Neo-Imperialisme seperti halnya pemimpin dunia Ahmadinejad (Iran) , Evo Morales (Bolivia), Hugo Chavez (Venezuela), sampai yang moderat Kirchner (Argentina) dan Veronica Michelle Bachelet Jeria (Chili).