Supriadi Legino, Ketua STT-PLN Jakarta
Baru-baru ini Presiden Joko Widodo menginstruksikan kepada para menteri, gubernur, walikota dan pejabat terkait untuk segera menuntaskan masalah kronis sampah kota, antara lain meminta agar ada langkah nyata dengan mengubah sampah menjadi listrik.
Itikad Presiden tersebut tentunya harus disambut dengan baik dan sebetulnya secara teknologi tidak terlalu sulit karena pemanfaatan sampah menjadi listrik sudah banyak digunakan di berbagai belahan dunia termasuk di TPA Suwung Denpasar dan TPA Bantar Gebang Bekasi.
Masalah sampah harus tuntas di kelurahan
Yang perlu dicermati adalah bagaimana para menteri dan pejabat terkait menjabarkan tindak lanjut instruksi lisan Presiden tersebut, agar tidak salah kaprah melenceng dari tujuan.
Bila tujuan utama instruksi tersebut adalah untuk mengatasi kemelut sampah perkotaan, maka sebaiknya pengelolaan sampah diselesaikan di lingkungan komunitas atau paling jauh di tingkat kelurahan.
Dengan demikian tidak ada lagi truk sampah yang mondar-mandir dari dalam kota ke tempat pembuangan akhir (TPA) sehingga polusi sepanjang jalan yang dilalui dan polemik dengan masyarakat dan Pemda setempat bisa dihindari.
Volume dan pemisahan sampah di tingkat kelurahan relatif juga mudah dikendalikan dan bisa dikumpulkan dengan gerobak dorong. Untuk membangkitkan 10 kWH listrik saja diperlukan sekitar 1 ton sampah, sehingga tidak kurang dari 10 ton sampah sehari dapat dilalap habis oleh genset kecil berukuran 5 kW saja.
Oleh karena itu, sebaiknya pemerintah memberikan kesempatan kepada pengusaha kecil setempat untuk menjadi pengembang listrik swasta atau Independent Power Producer (IPP) yang selama ini hanya menjadi ranah bisnis kalangan pemodal besar yang kebanyakan dari luar negeri.
Pemerintah tidak perlu khawatir terhadap kemampuan teknik dan manajeman para pengusaha kecil lokal karena selama ini ribuan pengusaha listrik yang tergabung dalam berbagai asosiasi yang anggotanya tersebar sampai di tingkat kabupaten telah memiliki pengalaman dalam membangun dan mengelola bisnis ketenagalistrikan.
Selain itu permerintah tidak akan dipusingkan lagi dengan masalah permodalan karena biaya investasi untuk satu paket pembangkit. Keuntungan lainnya dengan membangun ribuan PLTSa skala kecil tersebar akan membuka peluang untuk pabrikan dalam negeri karena hampir semua komponen bisa dibuat di Indonesia. Sebaliknya, membangun pembangkit skala besar di TPA akan membutuhkan banyak devisa karena mesin dan peralatannya banyak yang harus diimpor, sehingga peluang IPP ini hanya akan dinikmati oleh pengusaha asing dan pemodal besar.
Siklus Pengolahan Sampah-Listrik Kelurahan
Sebagai langkah awal, pemerintah daerah membuat aturan bahwa rumah-rumah, restoran, dan sumber sampah lainnya harus memisahkan sampah organik dari yang non-organik, dengan sanksi bagi mereka yang tidak melakukan akan dikenakan denda atau sampahnya tidak akan diangkut. Selanjutnya sampah diangkut ke tempat-tempat yang disediakan untuk digester yaitu pengolah sampah menjadi biogas.
Biogas yang dihasilkan dari digester yang tersebar dibawa ke sentra pembangkit PLTSa yang akan menyalurkan listriknya ke jaringan distribusi PLN terdekat. PLN akan membeli energi yang berasal dari sampah tersebut dan uang pendapatan listrik tersebut ditambah dengan tipping fee pengelolaan sampah dari Pemda digunakan untuk biaya operasi dan kebersihan. Dengan demikian tidak perlu lagi pungutan dari masyarakat untuk biaya kebersihan
Dukungan yang diperlukan
Untuk terlaksananya inisiatif ini maka perlu dibuat regulasi berupa tarif pembelian listrik oleh PLN dan apabila dimungkinkan adanya kemudahan permodalan atau bantuan desa untuk pengusaha lokal agar menurunkan biaya investasi awal dan biaya produksinya menjadi murah.
Untuk tempat digester (sekitar 100-200 m2), dibutuhkan penyediaan tanah secara sukarela, bisa berasal dari Pemda, seperti area pasar dan tanah umum, maupun di tanah kosong milik swasta seperti restoran, hotel, dan mal.Penyediaan tanah untuk sentra PLTSa sebaiknya agak jauh dari pemukiman untuk menghindari kebisingan (sekitar 400 m2) yang sebaiknya disediakan oleh Pemda seperti area pasar maupun tanah milik pengembang properti.
STT-PLN bekerjasama dengan perguruan tinggi lokal siap untuk memberikan pelatihan teknik dan manajemen yang perlu diberikan kepada pengusaha lokal yang berasal dari anggota asosiasi kontraktor listrik, koperasi, atau perusahaan daerah dan calon operator yang berasal dari Karang Taruna.
Dengan model pembuangan sampah ke kawat listrik yang dilaksanakan secara mandiri oleh masyarakat maka masalah sampah akan dapat diselesaikan dengan memberikan nilai tambah berupa meningkatnya keandalan listrik yang bersih dari polusi. Apabila ribuan kelurahan di seluruh Indonesia secara gotong-royong melaksanakan model ini, maka krisis listrik yang selama ini terjadi akan dapat dikurangi dan seluruh daerah terpencil akan mendapat listrik yang ramah lingkungan.
Selain itu pertumbuhan ekonomi di tingkat desa dan kelurahan juga akan meningkat disamping tumbuhnya pabrik-pabrik digester dan genset yang diperlukan untuk membangun ratusan ribu model pengelolaan sampah ini yang tersebar di seluruh kota di Indonesia. []
* Silakan kunjungi website Sekolah Tinggi Teknik PLN