IMAN HERDIANA
Saat ini bisnis berbasis information technology (IT) memiliki pangsa pasar menjanjikan terutama di luar negeri. Tiga musisi Bandung melakoninya dengan membuat software Amplifikation One.
Kesuksesan ketiga musisi indie Bandung dimulai ketika mendirikan PT Kuassa Teknika, yang bergerak merancang software developer bidang musik. Berangkat dari nol, kualitas produk mereka kini diakui hingga oleh musisi kelas dunia.
Perusahaan ini didirikan Arie Ardiansyah (33 tahun), Grahadea Kusuf (32 tahun), dan Adhitya Wibisana (36 tahun). Dulunya, mereka satu sekolah saat di SMA dan sama-sama aktif di komunitas band indie.
Salah satu produk Kuassa yang terkenal adalah Amplifikation One, software plugin untuk pemrosesan audio dengan platform dekstop. Menurut Grahadea Kusuf, software Amplifikation One mampu menghasilkan suara gitar mirip dengan aslinya, tidak kalah dengan hasil rekaman di studio.
Amplifikation One pengembangan dari software gitar gratisan, Aradas, yang dibuat Arie Ardiansyah. Aradas sendiri sudah diunduh ratusan ribu di seluruh dunia. Nah, untuk mengkomersilkan produk mereka, diluncurkanlah Amplifikation One April 2010.
Peran peranti lunak Amplifikation One sama seperti pendahulunya, Arades, yakni untuk memenuhi kebutuhan rekaman rumahan (home recording) yaitu rekaman, mixing, dan mastering.
“Amplifikation One untuk memenuhi kebutuhan studio rekaman yang flksibel dan murah,” kata Arie Ardiansyah saat berbincang dengan KabarKampus di PT Kuassa Teknika, Jalan Sukasenang V Nomor 14 Bandung, baru-baru ini.
Tadinya, Arie, Grahadea maupun Adhit berencana mendirikan studio rekaman. Mereka sama-sama suka musik dan memiliki grup band indie masing-masing. Tetapi menginat keterbatasan modal, mereka mengembangkan Aradas sebagai Amplifikation One.
“Membangun studio mahal banget, akhirnya kita bikin software yang bisa kita pakai sendiri,” tutur Arie Ardiansyah yang juga mantan vokalis band Rosemarry.
Bermodalkan 50 juta rupiah, mereka melakukan riset, program, dan uji coba. Grahadea bertindak sebagai programer sekaligus pemasaran. Sedangkan Adhit membantu mereka dengan skill-nya dalam hal musik.
Namun pertama peluncuran Amplifikation One, respon pasar masih lesu. Waktu itu produk yang dibanderol 49 dollar Amerika Serikat (sekitar 600 ribu rupiah) hanya terjual 7 kali. “Belum lagi kena pembajakan,” timpal Grahadea Kusuf.
Sementara persaingan di dunia software sangat sengit. Terlebih mereka mengandalkan pangsa pasar di luar negeri. Sedangkan pasar di dalam negeri masih belum bisa diandalkan.
Amplifikation One harus bersaing dengan banyak software audio yang lebih canggih dan kompleks dengan fitur unlimited. Para pesaingnya adalah perusahaan dari Amerika Serikat, Eropa, dan Israel. “Saingan kita mengerikan,” kata Grahadea yang juga personel band Homogenic.
Kelebihan Amplifikation One adalah lebih simpel dibandingkan produk asing dengan esensi sama, yaitu sebagai amplifier, speaker dan simulasi microphone. Akhir 2010 Kuassa melahirkan produk barunya, Amplifikation Crème, masih peranti lunak untuk gitar dengan tampilan 3 dimensi dan kualitas suara yang berbeda.
Munculnya produk dengan tagline Crame of the Top ini mendapat sambutan bagus, bahkan ikut mendongkrak Amplifikation One.
Kuassa menjual produknya secara online. Perbulannya rata-rata terjual 100 ribu software, belum lagi pembelian lisensi yang mencapai lebih dari 10 ribu. Pembelinya penggemar musik biasa hingga musisi seperti basisnya Yngwie Malmsteen, Barry Dunaway, komposer musik film Hollywood Dieter Hartmann, musisi Jepang Masahiro Aoki, dan lain-lain.
Laku kerasnya produk Kuassa tidak lepas dari ulasan beberapa media internasional yang berefek viral di internet. Produk lainnya adalah Amplifikation Vermilion, Amplifikation Lite (untuk musik klasik), Amplifikation Bass, dan lainnya. Harga software tersebut antara 40 sampai 69 dollar Amerika Serikat.
Kini Kuassa menjadi perusahaan musik peranti lunak yang disegani di Asia Tenggara.
Pangsa pasar terbesarnya di Amerika Serikat, disusul Inggris, Prancis, Jerman, serta Kanada, Jepang, Australia, Jepang. []