More

    Kelas Filsafat Ilmu Kritik Untuk Orang-orang Fanatik

    Iman Herdiana

    Suasana kelas filsafat bersama Syarif Maulana di Kafe KaKa, Bandung.

    BANDUNG, KabarKampus – Hampir pukul 20.00 WIB, sebanyak 14 peserta kelas filsafat sudah berkumpul di  salah satu ruangan di KaKa Cafe, Jalan Sultan Tirtayasa No 49 Bandung, Jumat (18/5/2018). Pengajar kelas ini, Syarif Maulana, duduk di balik meja yang menghadap peserta.

    Peserta duduk di kursi menghadap meja yang ditata layaknya kafe. Mereka ditemani kopi dan teh selama membahas tema yang terdengar berat: Filsafat Ilmu: Mencegah Fanatisme Keilmuan.

    - Advertisement -

    Syarif Maulana yang juga pengajar filsafat di Institut Teknologi Bandung (ITB) membuka kelas malam itu dengan posisi filsafat ilmu di kampus-kampus saat ini. Ada kampus yang memasukkan filsafat ilmu di program studi Hubungan Internasional, ada pula yang mengenalkan filsafat ilmu sebagai mata kuliah dasar.

    Syarif lalu menurutkan kesan mengajar filsafat ilmu di ITB. Selama ini, ITB dikenal sebagai kampus besar yang melahirkan orang-orang besar. Tak heran jika seandainya muncul fanatisme ke-ITB-an. Namun dengan filsafat ilmu, fanatisme itu berusaha dibongkar.

    “Filsafat ilmu menabrak idealisme suatu disiplin keilmuan. Jadi fanatisme keilmuan digoyang keilmuan ini (filsafat ilmu),” ucap Syarif Maulana.

    Namun, dewasa ini filsafat ilmu sering ditinggalkan. Padahal peran filsafat ilmu penting dalam mengkritik disiplin ilmu sekaligus untuk mengenalkan kebijaksanaan ilmu pengetahuan. Di kampus lainnya, filsafat ilmu justru terjebak pada metodelogi penelitian kuantitatif dan kualitatif.

    Sementara pengajar filsafat ilmu, kata Syarif, tampak dilakukan oleh siapa saja, bahkan oleh guru agama. Alasannya, agama dan filsafat sama-sama mengajarkan kebijaksanaan, sehingga filsafat ilmu cocok diajarkan oleh guru agama. Agama sendiri dinilai memiliki segala ilmu, termasuk merangkum filsafat.

    Sampai di situ, peserta cukup enjoy dengan pengantar kelas filsafat. Syarif Maulana melanjutkan, filsafat  secara harfiah berarti cinta kebijaksanaan. Namun dalam perkembangannya, kajian filsafat berlangsung sangat ketat, sitematik dan berpikir radikal.

    Radikal berasal dari kata “radix” yang berarti akar. Sehingga berfilsafat harus berpikir secara mengakar atau mendasar, tidak cuma di permukaan saja. Pengertian radikal dalam filsafat berbeda dengan wacana radikalisme yang mencuat akhir-akhir ini, yang disinyalir muncul karena fanatisme ideologi.

    Radikal dalam berfilsafat berusaha melakukan penalaran secara mendalam demi mencapai kebenaran filsafat. “Tak mungkin berfilsafat tidak radikal,” kata Syarif Maulana.

    Berpikir sistematis dan radikal dalam filsafat ilmu meliputi tiga hal, yakni ontologi atau hakikat, epistemologi (batas pengetahuan), aksiologi (nilai). Lewat filsafat ilmu, kata Syarif, dipertanyakan bagaimana ilmu terbangun, untuk apa, bagaimana teori itu ada, cara pandang satu keilmuan terhadap keilmuan lain, dan seterusnya.

    Tak heran jika filsafat ilmu kemudian mengkritisi fanatisme keilmuan. Fanatisme sendiri dianggap sesuatu yang negatif, antikritik, merasa benar sendiri dengan tafsir dan pemikirannya.

    “Fanatisme  tidak hanya ada pada agama, di ilmu juga banyak fanatisme,” katanya.

    Contoh fanatisme keilmuan bisa dilihat dari paham positivisme. Paham ini melihat ilmu sosial sebagi ilmu yang tidak jelas. Paham ini mendapat kritik dari aliran kritis bahwa positivisme tidak lebih dari kekuasaan, mereka memandang ilmu secara kaku dan hitam-putih.

    Syarif kemudian membahas sejumlah aliran dalam filsafat, mulai dari Bapak rasionalisme Rene Descartes, Bapak empirisme David Hume, dan tokoh yang berusaha menggabungkan kedua aliran tersebut, yakni Immanuel Kant.

    Pada sesi diskusi, banyak peserta yang menanyakan istilah-istilah dalam pemikiran filsafat seperti definisi metafisika, akal, kapan sebuah ilmu menjadi ilmu, dan seterusnya.

    Diskusi tersebut semakin seru ketika seorang peserta, Ardi Yazdi, mempertanyakan fungsi filsafat bagi kehidupan. Ia mengulas prinsip hidup Socrates yang sederhana dan bijaksana. Socrates banyak melahirkan murid ternama seperti Plato dan Aristoteles sampai Yunani menjadi pusat filsafat.

    Namun setelah Socrates, kata Ardi, filsafat barat menjadi dialektik dan tidak lagi mengajak hidup bijak. Dalam pemikiran barat, filsafat dijadikan tujuan. Orang-orang yang belajar filsafat punya kecenderungan hidup yang aneh, penuh sinisme, congkak atau angkuh.

    Ia mencontohkan Rocky Gerung yang disebut banyak dipengaruhi filsafat barat sehingga terlihat congkak. Padahal orang yang mempelajari filsafat seharusnya mampu memberikan kebijaksanaan pada kehidupan.

    “Peran filsafat mengatasi kekacauan hidup seperti apa?” tanya Ardi Yazdi yang meyakini filsafat timur (Islam) lebih baik dari filsafat barat.

    Menanggapi pertanyan tersebut, Syarif Maulana menyatakan hubungan filsafat barat dan timur memang problematik. Namun filsafat barat tidak bisa disebut kalah sama filsafat timur. Keduanya punya cara pandang tersendiri dan saling menguatkan.

    “Filsafat timur mengajarkan dengan cara memberi ruang bagi teman-teman untuk punya pencerahan dari dalam diri sendiri. Kuncinya pada inspirasi. Bukan pada eksplanasi. Filsafat timur dalam banyak hal lebih baik dari filsafat barat,” kata Syarif.

    Tetapi, lanjut dia, filsafat barat punya kemampuan ekplanasi sehingga semua penjelasannya menjadi masuk akal. Syarif tidak setuju jika filsafat barat jadi penyebab kekacauan.

    Ia mengungkapkan, Karl Marx menyebutkan agama sebagai candu. Tudingan Marx ini bukan ditujukan pada agama murni, melainkan pada agama yang dalam kenyatannya dipakai borjuis untuk memperdaya proletar. Agama juga menjadi tempat berkeluh kesah kaum ploretar sehingga mereka tak mau mengubah nasibnya.

    Syarif juga mengajukan pembelaan terhadap pendapat Rocky Gerung yang menyebut kitab suci agama sebagai fiksi. Bahwa kitab suci dalam menjelaskan sesuatu memakai pendekatan fiksi, begitu juga bahasa yang dipakainya. Tujuannya untuk menghidupkan imajinsi pembacanya. Pendekatan fiksi lebih baik daripada pendekatan hukum yang memakai bahasa kaku dan berputar-putar.

    “Dengan fiksi, imajinasi berkembang. Kitab suci harus punya ruang untuk imajinasi, aku pikir begitu yang dipikirkan Rocky Gerung,” jelas Syarif.

    Perdebatan kecil tentang fungsi filsafat itu menutup kelas filsafat sesi pertama. Kelas ini dibagi dalam enam kali pertemuan. Kelas “Filsafat Ilmu: Mencegah Fanatisme Keilmuan” merupakan rangkaian workshop Ramadhan yang digelar di Kaka Cafe.

    Kelas lainnya ialah “Sistem Internasional: Anarki atau Hirarki” dengan pengajar Desmond Satria Andrian, Dosen Hubungan Internasional dan pegiat Asia Africa Reading Club, “Ngaji Konstruktivisme” dengan pengajar Aldi Daniealdi, Dosen Hubungan Internasional dan pegiat Geostrategy Study Club.

    Kemudian, “Memaknai Budaya Secara Kritis” dengan pengajar Mody Afandi, pengamat kebudayaan dan kontributor untuk Centre for South East Asian Studies, Paris, Prancis; “Storytelling” dengan pengajar Gandara Permana. []

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here