More

    Rekonsiliasi : Kepentingan Menegasikan Kebutuhan Rakyat

    Penulis : Musaddiqi, S.Sos

    Pelantikan Presiden Joko Widodo dan Ma’ruf Amin sebagai Wakil Presiden periode 2019-2024 telah dilaksanakan di gedung MPR Komplek Gedung Parlemen Senayan pada hari Minggu Pukul 15.30 WIB. Suasana damai serta penuh persabahabatan menjadi pemandangan menentramkan bagi seluruh rakyat Indonesia, terutama para intelektual, yang selama ini sangat mengkhawatirkan terjadinya huru-hara sosial atau perpecahan antara anak bangsa.

    Polarisasi dilegalisir pada masa kampanye panjang pemilu 2019, merupakan penyebab utama. Jarak panjang antara penetapan pemenang dan pelantikan, membuat lahirlah banyak manufer politik akrobatik. Rekonsiliasi politik mengemuka sebagai bentuk keinginan para elit menyelamatkan negara dari perpecahan dan huru-hara sosial. Pertemuan antara Jokowi sebagai pemenang Pemilu dan tokoh-tokoh rivalnya semasa kampanye menjadi harapan rekonsiliasi politik.

    Suasana ini merupakan pengaktifan bom waktu, akan meledak ketika menemukan pemicunya. Pemikiran demikian tidak lah berlebihan ketika kita mengingat suatu konsep dalam teori sosial, yaitu kesadaran palsu Karl Maxr dan Friederich Engels. Ketika konsep ini dijadikan pisau analisa situasi hari ini, akan mengantarkan kita pada kenyataan, bahwasanya rekonsiliasi politik elit hari ini akan menegasikan kebutuhan rakyat. Sadar atau tidak, rekonsiliasi hari ini berdasarkan situasi yang diciptakan oleh elit itu sendiri. Hari ini rakyat terperangkap kesadaran palsu, hasil kesembronoan elit dalam menggapai kekuasaan.

    - Advertisement -

    Harus kita akui, bahwa gagasan rekonsiliasi tersebut sangat rawan menguap, dan berubah wujud menjadi polarisasi ektrim. Pengumuman kabinet merupakan alarm utamanya. Pada saat itu rakyat sekali lagi akan jadi objek buzzer, para pendogma supertega, mobilisasi, provokasi menjadi senjata, pada akirnya rakyat selalu jadi korban. Walaupun beberapa organisasi civil society akan jadi backing vocal  meneriakkan berbagai isu sesuai kapling mereka, berharap bantuan asing datang.

    Disisi lain, gerutuan soal berubahnya peta politik nasional, narasi soal check and balance dalam demokrasi kita, menggoda meminta simpati banyak orang. Tetapi tetap saja tidak akan menjadi subtansi, ketika diharapkan sebagai penjawab permasalahan rakyat, terlihat tidak lebih dari gimik politik rakus akan energi dan waktu. Tidaklah berlebihan bahwa para elit politik di negri ini harus bertanggung jawab akan situasi, hasil produksi kampanye tidak sehat serta tidak mendidik selama Pemilu.

    Rakyat dicekcoki dengan dogma, isu-isu perpecahan, politik indentitas, pada akhirnya rakyat tidak lagi menyuarakan kebutuhannya. Aspirasi politik para elit yang harus kita sanksikan asal-usulnya, rawan dari proses khayal yang dirapikan menjadi idiologi politik, lalu ditembakkan dengan berbagai alat komunikasi, berbahan bakar uang. Proses itu dianggap aspirasi politik rakyat, padahal rakyat sedang sakit, karna dampak dari terlalu banyak mengkosumsi narasi elit. Parahnya lagi mereka, para elit-elit itu mengemukakan ide rekonsiliasi berdasarkan aspirasi politik tersebut.

    Demokrasi Berkualitas, Kalau Rakyat Terdidik

    Proses panjang yang menciptakan keadaan seperti hari ini, merupakan tugas berat untuk melakukan perubahan. Kepentingan ekonomi, politik kekuasaan, menggunakan tangan-tangan kelompok berkepentingan, berhasil melakukan pembodohan. Partisipasi politik disandra uang dari para elit, ditambah kemalasan para politisi, akhirnya bersepakat pada isu-isu yang tidak mendidik, sekaligus membuat rakyat jauh dari kata bisa dalam mengalisa kebutuhnya. Dalam kesembrautan itu, banyak pembonceng yang memainkan gendang dengan irama sama, sambil sekali-sekali merubah ritmenya kearah chaos, membuat pendidikan rakyat menjadi agenda yang sangat mendesak hari ini.

    Dalam situasi serba mendesak, kita harus selalu mempunyai harapan. Keakuran para elit politik dalam skala prematur hari ini, harus didorong kearah sikap negarawan, sebisa mungkin menjadi alat intervensi terhadap seluruh jajaran dan jaringannya. Konsistensi dalam sikap untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, harus jadi prioritas utama, dari pada sekadar bagi-bagi kekuasaan. Pembangunan infrastruktur besar-besaran sebagai ciri perintahan Joko Widodo, pembentukan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), dirasa belum cukup untuk mengurai situasi konflik, mudah membesar dengan bahan bakar yang berserakan.

    Pengambilan kebijakan berdasarkan aspirasi politik, yang diselimuti kesadaran palsu, akan membuat kebijakan itu jauh dari kebutuhan rakyat banyak. Kebijakan tersebut memang akan disenangi secara bias, tapi rakyat dibawah berada pada kondisi rawan untuk jadi objek pembodohan lanjutan. Pengambilan kebijakan dengan metode riset mendalam, akan kebutuhan rakyat, harus dibarengi dengan agenda pendidikan rakyat. Gagasan ini juga berlaku bagi oposisi untuk membangun kritis kontruktif, maupun semua pihak, baik terlibat maupun tidak dalam praktek pembodohan selama ini.

    Dalam pidato pertama Presiden Joko Widodo setelah dilantik, ada harapan di dalamnya. Presiden jokowi berjanji akan menjadikan pembangunan sumber daya manusia, dalam rangka pemberdayaan rakyat, menjadi salah satu prioritas utama pemerintah kedepannya. Pembentukan kabinet, pemilihan orang-orang yang ahli pada bidangnya, merupakan harapan besar segenap rakyat indonesia. Gimik politik soal partai non partai tidaklah terlalu substansial, karna pilihan bebas ada pada Presiden. Positioning orang partai atau tidak, termasuk juga status sosial lainya, tidak menjamin siapapun bisa menjalankan peran dengan baik sebagai penyerap aspirasi rakyat dan penentu kebijakan. Layar kapal besar Presiden terpilih sudah terkembang, kemudi telah terpasang, kini saatnya memilih anak kapal yang mumpuni serta siap menghadapi badai.[]

    *Penulis adalah Alumni Sosiologi, Fisip, Universitas Andalas

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here