Menikmati HUT Banten yang ke-19 tak cukup hanya dengan upacara simbolis di istana Gubernur saja, jauh dari itu, kembali menggali sejarah Banten yang amat kaya dan perlu diselidiki lebih dalam bagaimana perjalanannya. Upaya ini harus terus digalakan sebagai langkah menjadi manusia Banten seutuhnya dalam konteks sejarah dan kebudayaan. Selain dari pada itu, mengetahui seberapa jauh konteks Banten dalam landskap sejarah dan kebudayaan, merupakan unsur penting sebagai pondasi generasi Banten agar tak gagap dalam menentukan arah pembangunan di kemudian hari.
Sudah tak dapat diragukan kembali, kesultanan Banten pernah menapaki masa kejayaan yang sangat luar biasa di bumi nusantara. Debutnya mampu menempuh batas hutan dan lautan. Terlepas dari itu semua, perang saudara selalu menjadi bayang-bayang yang mengharukan dalam perjalanan sejarah Banten. Pelajaran yang amat berharga, yang harus dipetik bagi generasi muda Banten hari ini.
Banten diusianya yang masih remaja, pasca keterpisahannya dengan Jawa Barat hiruk pikuk cobaan dalam perjalanannya, mulai dari penetapan dua kabupaten tertinggal, cengkraman jawara dalam politik dan ekonomi, dinasti politik, korupsi dan lain-lain. Hal ini menjadi tamparan yang berarti, sebagai Provinsi yang mempunyai segudang potensi yang jika dimanfaatkan dengan baik, tentu akan membawa Banten ke arah yang lebih baik, maju, dan mampu mensejahterakan rakyatnya.
Selanjutnya, mari kita jalan-jalan mundur beberapa abad ke belakang di era Kesultanan Banten. Kesultanan Banten terletak di wilayah paling barat pulau Jawa, yang luasannya sampai dengan Lampung. Banten berhasil menjadi pusat niaga di nusantara. Masa kejayaan ini tidak terlepas dari pentingnya peran aktor, khususnya di kalangan ulama dan kiyai. Para aktor inilah yang membuat ketertarikan penulis untuk mendalami lebih luas dan mendalam, dimana potret religius Islam yang progresif mewarnai perjalanan Banten.
Untuk sampai pada kesadaran sebagai masyarakat Banten, perlu menggali terlebih dahulu sejarahnya seperti apa, dan siapa aktor dibalik semua itu. Dalam tulisan ini, aktor yang ditulis merupakan mereka yang berlatar belakang ulama dan kiyai sebagai potret religius progresif yang melawan. Dari tulisan ini nantinya, penulis berharap menemukan intisari aktor yang membawa kejayaan Kesultanan Banten dan perlawanannya terhadap kolonial. Sehingga, ini menjadi pondasi generasi Banten mendatang dalam laku-lampah memajukan provinsi Banten.
Sultan Maulana Hassanudin
Sultan Maulana Hassanudin, merupakan raja pertama di Banten, sekaligus pendiri Kesultanan Banten. Selama abad 1552-1570 M, di bawah pemerintahannya, Sultan Hassanudin Banten telah berhasil menguasai Lampung sebagai penghasil rempah-rempah. Ia juga berhasil menguasai Selat Sunda yang merupakan jalur utama perdagangan dan pelabuhan yang ramai dikunjungi oleh para pedagang dari berbagai dunia.
Maulana Hassanudin berandil besar dalam letakkan fondasi Islam di Nusantara, hal ini dibuktikkan dengan berbagai bangunan Masjid dan sarana-sarana pendidikan Islam. Secara berkala, ia mengirim mubalig ke berbagai daerah yang dikuasainya untuk menyabarkan Islam dan perluasan Banten.
Apa yang dilakukan Maulana Hassanudin menunjukkan bahwa ulama mempunyai peranan yang sangat penting, mengurusi segala urusan rumah tangga Kesultanan Banten, mulai ekonomi, politik, pemerintahan hingga menggalakkan dakwah keislaman.
Ini merupakan catatan penting, bahwa Sultan Maulana Hassanudin tidak hanya berbicara agama akan tetapi bicara soal ekonomi sampai dengan politik.
Sultan Ageng Tirtayasa
Sultan Ageng Tirtayasa, merupakan sosok religius yang mampu membawa pada puncak kejayaan Kesulatanan Banten dalam kurun waktu 1651-1683 Masehi. Pada masa ini Sultan Ageng Tirtayasa mampu meluaskan jejaring perdagangan sampai level internasional. Dengan berbagai komoditi dagang seperti lada, dan jenis rempah lainnya. Dengan pemanfaatan secara maksimal, menjadikan Kesultanan Banten mampu menembus dunia dagang internasional. Bahkan menjalin kerja sama dalam pembelian senjata dengan Inggris, sebagai kekuatan militer Kesultanan Banten.
Banyak nilai kejuangan yang bisa siswa ambil dari Sultan Ageng Tirtayasa, seperti Jiwa Sosial, peduli lingkungan, dan kerja sama, seperti yang diungkapkan oleh Tjandrasasmita (1967). Ia berhasil memajukan pertanian dengan sistem irigasi, ia juga berhasil menyusun kekuatan angkatan perang, memperluas hubungan diplomatik, dan meningkatkan volume perniagaan Banten hingga mampu menempatkan diri secara aktif dalam dunia perdagangan internasional di Asia.
Selanjutnya, untuk menanamkan semangat perlawanan, Sultan Ageng Tirtayasa menanamkan nilai persatuan dan kesatuannya dimana Sultan Ageng Tirtayasa membentuk suatu kekuatan untuk mempertahankan dan melakukan strategi dalam penyerangan terhadap tentara Belanda, seperti yang diungkapkan oleh Michrob (1993:56). Ketika itu tentara Banten mengadakan perusakan tanaman tebu serta pabrik penggilingannya dan melakukan pembakaran kampung-kampung yang digunakan sebagai sarang pertahanan kompeni. Tentara Banten juga sering mencegat kapal kompeni dan membunuh semua tentara Belanda dan merampas semua senjata serta kapalnya. Sehingga kapal kompeni yang hendak melewati perairan Banten haruslah dikawal pasukan yang kuat.
Selain dari pada itu, ia menjalin kerjasama dengan daerah-daerah yang berada disekitar Kesultanan Banten. Ia memperkuat antar daerah-daerah yang memiliki hubungan persatuan dengan Banten yakni Lampung, Salebar, Bengkulu, Cirebon dan Mataram. Kesemuanya merupakan siasat penjagaan kalau-kalau perang terjadi, dapat menjadi siasat untuk mempersempit ruang gerak kompeni yang bercokol di Jakarta.
Selain menjalin kerja sama dengan daerah di sekitar nusantara Kesultanan Banten juga mengirimkan beberapa utusan ke inggris. Sebanyak 29 orang utusan Kesultanan Banten yang dipimpin Kiai Ngabehi Naya Wipraya dan Kiai Ngabehi Jaya Sedana tiba ke London dengan menumpang kapal dagang Inggris East India Company (EIC). Pada tahun 1682 mereka tiba di London. Selama tiga bulan lebih delegasi tersebut mengunjungi kawasan wisata utama di London, menyaksikan pertunjukan teater, melihat langsung pabrik senjata api modern dan sebagainya. Mereka diterima sejumlah pejabat penting termasuk Duke of York. Sedangkan Charles II tidak saja menerima mereka dengan segala kebesaran di Windsor pada tanggal 13 Mei, namun juga memberikan gelar kehormatan kepada kedua utusan tersebut, yaitu Sir Abdul dan Sir Ahmad.
Syekh Nawawi Al-Bantani
Syekh Nawawi Al-Bantani merupakan tokoh yang berasal dari Tanara, Banten dan tokoh intelektual bagi para ulama di Banten. Atas dasar intelektualnya yang sangat luas, banyak karyanya dijadikan sumber referensi bagi dunia pendidikan, khususnya dunia pesantren.
Beliau bukan saja pemikir tentang keislaman, namun juga pejuang melawan kolonial di Banten. Sebagai ulama yang sangat produktif menjadikan beliau sebagai ulama bertaraf internasional, dan menjadi imam di Masjidil Haram.
Dalam melawan kolonial di Banten, Syekh Nawawi mempunyai jalannya sendiri dalam menghadapi persoalan kolonialisme, yakni dengan dakwah. Ia menggunakan pendekatan persuasif dan kooperatif menghadapi pemerintahan Belanda dalam bentuk Istislam (perdamaian). Namun sebatas pada persoalan yang tidak bertentangan dengan Syara.
Namun untuk menghadapi berbagai tindakan eksploitasi dan tirani yang dilakukan kolonialisme belanda, seperti tanam paksa, monopoli perdagangan dan lainnya, Syekh Nawawi memberikan peluang seluas-luasnya kepada siapapun menghadapi tindakan kolonialisme Belanda. Meskipun harus melakukan gerakan sosial melalui pemberontakan bersenjata.
Dengan konsistensinya dalam jalan dakwah, ia juga merupaya untuk menangkal misi kristenisasi yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda. Syekh Nawawi memberikan pendidikan-pendidikan yang mendasar tentang aqidah, fiqih, dan tasawuf kepada muridnya yang belajar dan langsung datang ke Mekkah. Sementara untuk yang tidak bisa belajar langsung, maka Syekh Nawawi memberikan karya-karya untuk dipelajari.
Syekh Abdul kharim Al-Bantani
Syekh Abdul kharim Al-Bantani, haru bingar dalam perjalanannya selalu mewarnai jejak langkahnya. Ia menyebarkan Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di Banten. Di bawah mursyid Syekh Abdul Karim al-Bantani, ia menyebarkan tarekat tersebut dengan sangat cepat. Pengikutnya bertambah banyak.
Haji Abdul Karim adalah seorang ulama di desa Lampuyang, Pontang yang kegiatan sehari-harinya mengadakan pengajaran agama pada masyarakat di daerahnya. Kegiatan pengajian Kiai ini semakin berkembang terutama setelah kembali dari Mekkah tahun 1872 . Syekh Abdul Karim disebut sebagai salah satu di antara tiga kiai utama yang memegang peranan penting dalam pemberontakan rakyat Banten di Cilegon pada tahun 1888.
Dua tokoh kunci lainnya adalah KH Wasid dan KH Tubagus Ismail. Sebelum bertolak ke Makkah, sekali lagi ia berkeliling Banten. Di tempat-tempat yang dikunjunginya, ia berseru kepada rakyat agar berpegang teguh pada ajaran agama dan menjauhkan diri dari perbuatan mungkar. Ia memilih beberapa ulama terkemuka untuk memperhatikan kesejahteraan tarekat qadiriah. Ia juga pamit kepada para pamong praja terkemuka dan berpesan kepada mereka untuk menyokong perjuangan para ulama dalam membangun kembali kehidupan keagamaan, dan selalu minta nasihat kepada mereka mengenai soal-soal keagamaan.
Menjelang keberangkatannya, kepada murid-murid dekatnya Syekh Abdul Karim mengatakan bahwa dia tidak akan kembali lagi ke Banten selama daerah ini masih dalam genggaman kekuasaan asing. Dia memang tidak terlibat secara langsung pemberontakan yang meletus 12 tahun setelah keberangkatannya ke Tanah Suci itu. Tapi dialah yang menjadi perata jalan bagi murid-murid dan pengikutnya untuk melakukan jihad atau perang suci.
K.H. Wasyid, K.H. Arsyad Thawil Al-Bantani, K.H. Tubagus Ismail
Ketiganya merupakan pemimpin dalam perlawanan rakyat Banten yang pecah pada tahun 1888 Cilegon. Dengan pemahaman agama yang mumpuni, mereka mampu menggerakkan masyarakat Banten untuk melawan penindasan kolonialisme terhadap rakyat Banten. Hal ini menunjukan bahwa, ketiga tokoh agama mempunyai pengaruh yang kuat dalam kehidupan sosial rakyat Banten hari itu. Dari ketiganya juga ada yang pernah diasingkah colonial Belanda.
Pada peristiwa 1888 atau yang terkenal sebagai Geger Cilegon, tercatat sebagai tapak sejarah heroisme para ulama Banten. Dari peristiwa itu, banyak ulama yang diasingkan Pemerintah Kolonial. Tak terkecuali KH Arsyad Thawil sebagai tokoh kunci yang sampai akhir hayatnya ada di tanah pengasingan.
Sekalipun dalam pengasingan, salah satu tokoh dalam perlawanan rakyat Banten atau Geger Cilegon, K.H. Arsyad Thawil tetap melaksanakan Dakwah sebagai seorang ulama pada biasanya, hal ini menjadi kunci bahwa sekalipun dalam pengasingan beliau tetap mengamalkan nilai-nilai keislaman. Tak jarang pula, selama pengasingan beliau menjadi ulama yang disegani atau banyak masyarakat yang berkonsultasi terhadap fenomena sosial yang sedang dihadapi.
Berbeda jalan, K.H. Wasyid dan K.H. Tubagus Ismail dalam perlawanan Geger Cilegon. Keduanya meninggal dalam pertempuran melawan kolonial Belanda. Di bawah komando Kapten A.A. Veen Huyzen, Belanda melakukan operasi mematahkan perlawanan dan melakukan pengejaran terhadap K.H. Wasyid dan kawan-kawannya. Namun, pertempuran terus berlangsung dan pada tanggal 30 Juli 1888, K.H. Wasyid, K.H. Tubagus Ismail, Haji Usman, dan Haji Abdul Gani terbunuh sebagai syahid dan pahlawan.
Selain itu, dalam perlawanan Geger Cilogen Jihad fi sabilillah yang digalakkan untuk menggelorakan semangat berkorban guna mempertahankan tanah air dari penjajah seperti yang diperlihatkan oleh K.H. Wasyid dan rakyat Banten, dapat dijadikan pendorong untuk membangun Banten khususnya dan Indonesia pada umumnya.
K.H. Syam‟un
K.H. Sjam‟un dilahirkan pada tanggal l5 April tahun 1883 di Kampung Beji Desa Bojonegara Kecamatan Cilegon Kabupaten Serang Keresidenan Banten. Ia merupakan keturunan kyai Banten, dari perkawinan H. Alwijan dan Hj. Siti Hadjar. Ibunya, Siti Hadjar adalah putri K.H. Wasjid, ia mempunyai saudara kandung yang bernama Yasin (Permana, 2004, hlm. 13).
Kakek K.H. Sjam‟un bernama K.H. Wasjid yang merupakan salah seorang tokoh terkenal pada peristiwa Geger Cilegon tahun 1888. Di masa Hindia Belanda, keluarga keturunan K.H. Wasjid ini selalu diawasi tingkah lakunya dan dikejar-kejar oleh pihak Belanda, karena khawatir keturunan K.H. Wasjid akan membalas dendam. Untuk menghindari kejaran Belanda keluarga Siti Hadjar pada tahun 1888 pergi ke Makkah dan menetap di sana.
K.H. Sjam‟un ketika dibawa ke Makkah berusia lima tahun. Hal inilah yang membuat keprihatian ibunya apabila nanti anaknya tidak mampu untuk meneruskan cita-citanya untuk menjadi seorang yang berguna bagi masyarakatnya.
Pengalaman itulah yang membuat K.H. Sjam‟un tumbuh menjadi sosok lelaki yang tegar menghadapi segala macam kesulitan di masa mendatang. Berkat perjuangannya, Presiden Jokowi pada kamis, 08 Nopember 2018 di Istana Negara menganerahkan gelar Pahlawan pada K.H. Syam‟un. Tentu bukan tanpa alasan dan kajian terhadap Presiden Jokowi menganugerahi gelar pahlawan kepada dirinya. Selain masuk dalam anggota pasukan Pembela Tanah Air (PETA), Ia pada saat Agresi Militer II Belanda adalah seorang Bupati Serang yang ikut bergerilya di hutan Cacaban, Kamasan, Anyer dan wafat pada 28 Februari 1949.
Merawat Kesadaran
Menapaki jalan beriliku, berbagai hambatan dan rintangan dihadapi setiap perjalanan para tokoh-tokoh Banten. Sudah barang tentu tidak ada lagi alasan bagi kita sebagai generasi muda untuk tidak mengenali atau lebih parah melupakan hal tersebut. Beberapa nilai perjuangan dalam bingkai Islam menjadi dorongan moral yang mendasar dalam setiap gerakan yang dilakukan oleh para Ulama dan kiyai diatas.
Sebagai masyarakat Banten ke-kinian, sudah tak menemukan alasan lagi, bahwa dulu ulama dan kiyai menjadi pemimpin untuk melawan kebengisan kolonial belanda. Sekali lagi, para tokoh religius Banten, melawan segala bentuk penindasan yang terjadi pada umat.
Selain itu tak dapat dinapikan lagi, Banten pernah berada dalam puncak tertinggi kejayaannya di nusantara. Hal ini juga didorong dengan kehadiran kiyai dan ulama berada dibarisan yang paling depan untuk membangun peradaban Banten yang lebih baik.
Di masa sekarang, hal ini mengalami pergesaran situasi, dimana jawara Banten menjadi motor yang tercium harum dalam putaran kekuasaan politik dan ekonomi. Bahkan seiring berjalannya waktu, Jawara Banten bermetamorfosa dalam kegiatan politiknya, yaitu melibatkan sanak sodara, atau yang lebih dikenal sebagai dinasti politik Banten.
Sebagai generasi muda Banten, penting kiranya membicarakan kembali atau menggali perjuangan para tokoh di atas, sebagai landasan dalam membangun Banten dimasa yang akan datang. Kemudian juga mampu menemukan relevansinya di masa sekarang ini.
Setiap gerakan yang dilakukan, seperti perang terbuka, diplomasi dan lain-lain, tentulah harus disesuaikan dengan situasi yang sedang berlaku hari ini, tidak bisa kemudian meng-copy-paste strategi gerakan begitu saja. Pada semuanya berlaku konteks.
Pada masa lalu, Banten didominasi oleh elit agama yang dengan kemampuannya mampu melakukan gerakan terhadap bengisnya kolonial Belanda. Ini menandakan, bahwa di masa itu ulama dan kiyai menjadi motor berbagai gerakan yang berlangsung, kepercayaan rakyat terhadap ulama dan kiyai sangatlah kuat. Setiap gerakan mampu mendapatkan dukungan rakyat Banten. Ulama dan kiyai, bersama rakyat melebur menjadi satu dalam melawan kolonial belanda. Dapat dikatakan, di zaman itu rakyat mempunyai kebudayaan politik yang partisipan atas keterlibatannya secara langsung dalam setiap perlawanan.
Menurut GabrielAlmond (1963), Kebudayaan politik suatu bangsa merupakan distribusi pola-pola orientasi khusus menuju tujuan politik di antara masyarakat bangsa itu. “Orientasi” itu mengacu pada aspek-aspek dan obyek yang dibakukan serta hubungan antar keduanya. Dalam hal ini Almond Verba mengklasifikasikan Budaya Politik kedalam tiga bagian, antara lain: 1. Budaya politik parokial, yaitu tingkat partisipasi politiknya sangat rendah, yang disebabkan faktor kognitif (misalnya tingkat pendidikan relatif rendah). 2. Budaya politik kaula atau subyek, yaitu masyarakat bersangkutan sudah relatif maju tetapi masih bersifat pasif. 3. Budaya politik partisipan, yaitu budaya politik yang ditandai dengan kesadaran politik sangat tinggi.
Keterlibatan rakyat dengan massif tiap periodenya, sebut saja pada peristiwa Geger Cilegon merupakan budaya politik partisipan. Selain dorongan dari sosok aktor, hal ini juga didukung oleh kesadaran politik yang sangat tinggi. Rakyat mampu mengoreksi secara langsung dan terbuka terhadap situasi yang dihadapi dalam jajahan kolonial Belanda. Gerakan yang berlangsung beberapa tahun setelah meletusnya Gunung Kratau itu, ada pula yang menyebut sebagai gerakan petani Banten dimana rakyat yang ikut bertempur secara terbuka dengan kolonial Belanda juga keikutsertaan petani didalamnya. Pada dasanya, situasi ekonomi politik Banten di zaman itu dikuasai oleh elit agama.
Elit agama mempunyai peranan penting dalam memajukan peradaban Banten kala itu, bahkan dari setiap gerakan melawan kolonial seperti dikatakan diatas hampir kebanyakan dimotori elit agama. Elit agama melebur menjadi satu dalam melawan dan mempersoalkan tindak-tanduk kolonial Belanda kala itu. Terlepas dengan apapun itu, dalam konteks ini, elit agama mempunyai peranan penting dalam melawan kesewenangan kolonial Belanda di Banten.
Para tokoh tersebut menjadi pesan bagi generasi muda Banten untuk melihat dan membaca kembali, perlawanan rakyat Banten menghadapi kesewenangan kolonial Belanda. Mereka dengan darah dan air mata, perlawanan silih berganti antar generasi dalam melawan penjajahan di tanah Banten. Potret sejarah itulah, kiranya dapat menjadi pondasi dalam tindak-tanduk generasi muda Banten di masa yang akan datang. Tentu gerakan yang lakukan disesuaikan dengan konteks hari ini, agar menemukan relevansinya.
Semangat dan kegigihan mereka, perlu terus digaungkan untuk membangun Banten yang lebih baik lagi. Perlunya refleksi dan kritik terhadap keadaaan Banten hari ini. Entah kemajuan atau kemunduran, namun yang terpenting adalah memahami keberadaan struktur-struktur sosial dan politik yang menjadikan Banten sekarang ini.
Jelas, ini bukan fenomena yang alamiah sekali. Ada yang “membuat‟ Banten seperti ini sekarang ini. Artinya segala sesuatu yang terjadi di Banten hari ini tidak terlepas dari persoalan politis. Maju dan tidaknya Banten di masa depan, tentu juga berada di tangan para generasi muda Banten.
Untuk itu, perlu kesadaran yang mendalam melihat Banten di masa lalu, hari ini, dan masa yang akan datang. Ingat, rasanya Tuhan tak menciptakan takdir untuk sebuah Provinsi. Kesadaran diri sebagai manusia, tentu akan menyadari betul hakikat makhluk sosial sebagaimana mestinya. Bahwa dalam kehidupan sosial-masyarakat, secara otomatis berada di dalamnya. Memikirkan sesama umat merupakan hal yang penting sebagai entitas manusia, termasuk memikirkan bagaimana membangun Banten di masa depan. Membaca ulasan perjuangan para tokoh ulama dan kiyai di atas, adalah membaca semangat dan kegigihan dalam melawan segala tindakan kesewenangan yang menyeret rakyat Banten pada kesengsaraan. Semoga ini menjadi pondasi dalam membangun Banten.
Tulisan ini tidaklah cukup untuk melunasi perjuangan para ulama dan kiyai Banten di masa lalu, tetapi bukan berarti kita melupakan segala jasa yang telah dikorbankan. Sekalian, tulisan ini semoga menjadi pemantik bagi diri sendiri, juga pembaca yang budiman. Keterbatasan penulis tentulah harus disadari, dengan memilih beberapa tokoh dalam tulisan ini. Tentulah di luaran sana, masih banyak tokoh yang sangat besar jasanya dalam hiruk-pikuk Banten yang belum diulas dalam tulisan ini. Sekali lagi, terima kasih.[]
Penulis: Try Adhi Bangsawan, anggota Geostrategy Study Club (GSC), Mahasiswa Ilmu Politik UNPAD, anggota Rombongan Belajar Kampung-Lebak (ROBEK), anggota Keluarga Mahasiswa Lebak (KUMALA).