More

    US vs Iran : Pertarungan Belum Berhenti

    Penulis : Mujtahid Hashem

    Pada akhirnya militer USA tidak membalas serangan balasan Iran terhadap dua pangkalan militernya di Irak. Tanpa banyak diketahui publik, sebenarnya serangan balasan Iran ini dilakukan, meski AS dua kali mengirim diplomat Arab ke Tehran untuk menahan IRGC membalas atas Syahidnya Qosim Sulaemani.

    Sebelum balasan Iran ke pangkalan militer USA, Ain Asad di Irak, Menlu Iran, Zarief dalam wawancara dengan CNN mengatakan, “Iran akan membalas secara proporsional dengan justifikasi artikel 51 PBB, kami tidak mencari perang, tapi kami akan melawan setiap agresi”. Bahasa diplomasi Zarief ini sebenarnya mengindikasikan bahwa perang besar USA vs Iran bisa dihindari.

    - Advertisement -

    Pasca serangan ke pangkalan militer Ain Assad, Trump tidak seperti biasanya yang gagah dan cepat mereaksi lewat tweet, kali ini publik dunia dipaksa menunggu cukup lama breefing di Gedung Putih menanti jawaban Trump. Adalah wajar Gedung Putih perlu waktu panjang, karena salah mengambil keputusan bisa berakibat fatal bagi dunia. Hasilnya sebagaimana kita ketahui, tidak seperti ancaman Trump sebelumnya, Amerika urung merespon dengan kekuatan militer dan memilih sangsi ekonomi yang lebih berat terhadap Iran dan mendorong NATO untuk lebih aktif di Timur Tengah, tentu untuk mengurangi posisi USA. Dalam statemennya Trump mengisaratkan akan menarik diri atau paling tidak mengurasi kekuatan secara teratur dari Timur Tengah. Hal ini dijustifikasi sendiri dalam pernyataan tentang kemandirian USA dalam hal kebutuhan energi. Kegamangan USA dalam menanggapi krisis ini juga diperlemah dengan cuci tangannya Tel Aviv dan negara-negara Teluk pasca operasi pembunuhan Syahid Qasim Suleimani.

    Bagi Iran, seperti pengakuan Brigjen Haji Amir Ali Zadeh, Divisi Aerospace IRGC dalam konferensi persnya bahwa operasi militer sandi “Syahid Qaim Sulaemani “ini belum sebanding nilai darah Syahid Qasim. “Darah Syahid Qasim Sulaemani tidak bisa ditukar dengan darah pasukan AS bahkan darahnya Trump, Syahid Hajj Qasim hanya sebanding dengan keluarnya pasukan AS dari kawasan seperti yang dinyatakan pemimpin kami” tegasnya.

    Menurut keterangan IRGC, operasi militer ini bukan bertujuan membunuh pasukan USA. Meski demikian, dipastikan puluhan tentara AS tewas dan ratusan cidera yang korbannya dibawa dengan paling tidak 9 sortir Hercules ke Jordan dan Israel dan beberapa Helikopter Cinook ke rumah sakit AS di Bagdad. IRGC menjelaskan tujuan serangan 13 rudal ke pangkalan militer Ain Assad adalah menghancurkan mesin perang dan pusat komando operasi pasukan USA. Tidak ada rudal yang bisa diintercep oleh pertahanan udara berlapis AS, meski USA juga mengerahkan 12 pesawat pengintai untuk mentekesi serangan. Setalah serangan rudal, seperti keterangan persnya, terjadi perang elektronik yang besar dan 15 menit pasca serangan semua UAV AS termasuk RQ 9 diluar kontrol kendali militer USA. Ini yang menjadi pukulan berat pusat komando pasukan AS.

    Haji Amir Ali Zadeh meyakinkan bisa saja dalam serangan pertama menghilangkan 500 pasukan AS dan jika AS membalas serangan ini, kemudian perkiraan korban 4000-5000 pasukan AS pada serangan kedua dan ketiga dalam 48 jam. “Kami telah menyiapkan ratusan rudal siap lesat bersamaan serangan pertama, dan jika konfrontasi terus 3 hari sampai satu minggu kami telah menyiapkan ribuan missile. Dia menjelaskan rudal yang digunakan dalam serangan ini tipe Fateh 313 dan Qiam 1.

    Militer AS tahu persis kepresisian teknologi rudal Iran. Paling tidak intelegen militer USA melihat akibat serangan Rudal Iran ke basis ISIS di Der Zoer Syria. Rudal Zulfikar pertama kali digunakan ada tahun 2017 dalam operasi militer “Lailatul Qadr” untuk membalas serangan ISIS ke Gedung Parlemen Iran di Teheran. Syahid Qasim waktu itu memberikan testimoni “Saya telah menyaksikan ratusan missile buatan Amerika, Eropa dan Sovyet dalam perang, dan rudal Iran lebih presisi”. Betapa tidak, seperti pengakuan Anggota IRGC yang terlibat dalam operasi ini, dua bangunan Markas ISIS mengapit Masjid, jika salah sarasan ke Masjid, Iran sudah tahu akibat friksi mazhab yang nanti beritanya disebar. Ternyata rudal Zulfikar tepat di Markas ISIS, dimana dibawahnya terdapat terowongan logistik, konsentrasi pasukan dan pusat komando. Akibat serangan rudal pertama menembus terowongan dan kebetulan disampingnya ada tanker bahan bakar, membuat bensin membanjiri terowongan. Rudal kedua tepat pada lubang terowongan yang mengakibatkan pasukan ISIS dari berbagai negara termasuk USA terbakar hidup-hidup di dalam terowongan. Cerita ini bisa saja klaim IRGC, tapi sudah menjadi cerita umum di Deir ez-Zoer, Syria. Begitu juga militer USA belajar dari serangan rudal Iran 2018 ke basis ISIS di Hajin Syria dan serangan ke basis militer separatis Kurdi di Koya Kurdistan Irak. Tentu suksesnya serangan rudal ke Basis Militer USA Ain Assad dengan air defence yang canggih menambah kepercayaan diri Pasukan Pengawal Revolusi Islam, Iran.

    Scot Ritter, mantan perwira intelegen US Marines, setelah melihat kerusakan pangkalan militer Ain Assad membenarkan serangan rudal Iran sepertinya sengaja menghidari banyak korban. Bisa saja banyak yang berfikir sedikitnya korban atas serangan rudal Iran ke pangkalan militer terbesar Amerika di Irak menunjukkan kelemahan rudal-rudal Iran, namun justru disinilah kelebihan teknologi missile Iran yang bisa diarahkan persis sesui dengan tujuan operasi militer. Iran sekedar ingin menampar Trump dengan mendemonstrasikan teknologi militernya.

    David Petraeus, mantan Commander of United States Central Command dalam wawancara dengan CBS mengatakan ” U.S. had “lost the element of deterrence” before Soleimani strike” dan setelah pembunuhan terhadap Letjen Qasim Sulaimani berharap menjadi tonggak membangun kembali elemen detterence menghadapi Iran. Harapan David Petraeus justru berbanding terbalik dengan realitas yang terjadi, USA makin lemah dihadapan Iran. Karena keraguan USA menjawab secara militer banyak konfrontasi seperti yang terakhir penembakan RQ4 Global Hawk oleh Iran, lebih disebabkan oleh kemampuan teknologi militer Iran untuk merespon kemungkinan agresi USA. Tentu balasan Iran ke Ain Assad pasca Syahidnya Qasim Sulaemani, Iran tidak mungkin dipandang sebelah mata oleh Barat. Bukan hanya itu efek lemahnya teknologi pertahanan berlapis USA salah satu pangkalan terbesar USA Ain Assad membuat Israel mengakalkulasi ulang teknologi Iron Dome yang tidak jauh berbeda dengan yang dimiliki oleh USA. Jika tidak diupgrade tentu akan menjadi malapetaka jika perang berkecamuk dengan Hezbollah, Iran atau Syria dan bahkan dengan perlawanan HAMAS dan Jihad Islam dimana mereka mendapat teknologi rudal dan drone dari Iran.

    Bagi internal Iran konfrontasi kilat dengan USA ini juga menyisakan pekerjaan rumah terhadap integrasi pertahanan udaranya yang lepas kendali dan menghantam pesawat komersial Boeing 737-800 Ukraina, meskipun diberitakan pesawat komersial ini memutar terlalu jauh mendekat situs militer Iran. Prestasi Divisi Aerospace IRGC selamanya ini meninggalkan cacat dan luka. Ditemukannya human error sebagai penyebab kecelakaan ini, tentu tidak menahan IRGC untuk mengevaluasi dan mengupgrade integrasi ribuan situs pertahanan udaranya.

    Pasca konforntasi militer kilat USA-Iran, banyak analis melihat Iran memenangkan pertarungan politik, sosial dan militer. Elemen Detterence Iran dari aspek teknologi militer yang ditunjukkan dalam serangan ini memastikan USA membatalkan niat membalas dengan kekuatan militer. Dimensi politik dan etis dari konfrontasi ini menempatkan Iran secara moral sebagai pihak yang benar dan menempatkan Trump sebagai bad guys dimata publik internasional. Efek psikologisnya bukan hanya bagi rakyat Palestine dan Lebanon, justru bisa menjalar ke seluruh kawasan, yakni menambah spirit untuk melawan pendudukan Israel. Manuver politik Trump sebelumnya dengan mengakui Jerusalem Timur sebagai Ibu Kota Israel, pengakuan Dataran Tinggi Golan sebagai bagian wilayah Israel dan inisiatif menantunya dengan The deal of the century menjadi tidak berarti. Rudal Iran yang menyasar pangkalan militer USA di Erbil juga membuat ciut Massoed Barzani (the Kurdistan Democratic Party ) yang ingin memisahkan diri dari Irak. Pamor AS secara militer, sosial, politik di kawasan menurun paling tidak kehadiran militer USA dan NATO secara politik tidak dikehendaki di Irak. Ini ditunjukkan dari penarikan secara bertahap personal militer USA dan NATO dari Irak dan USA dari Hasaka Syria saat ini.

    Bagi USA, efek domestik konforntasi militer kilat dengan Iran ini membelah masyarakat politik di lebih dalam, kemungkinan berakibat tumbangnya Trump dalam pemilu presiden ke depan. Peristiwa ini juga memukul secara psikologis militer Amerika dan menimbulkan keretakan dari dalam, paling tidak ini terlihat dari keinginan komandan US military’s Task Force Iraq, Brigadier General William Seely untuk merelokasi pasukan dari Irak sebelum serangan, bertolak belakang dengan keinginan Pentagon. Hal ini berbanding terbalik dengan apa yang terjadi di Iran, akibat konfrontasi ini justru menguatkan ikatan sosial, politik dan militer di Iran dan aliansi perlawanan di kawasan.

    Pasca konfrontasi kilat militer dan politik ini, rivalitas kedepan belum akan berhenti, pasti perang asimetris akan terus berjalan. Kedua belah pihak mempunyai agenda yang saling menafikan, bagi Iran tujuan akhir yang tidak bisa ditawar adalah kemerdekaan bangsa Palestina sedang bagi Barat eksistensi Israel adalah taruhannya.[]

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here