More

    Jejak Pergerakan Kemerdekaan di Pulau Buru

    Oleh : Muhammad Rizal Saanun, S.IP

    Master Candidate of Paramadina Graduate School of Diplomacy

    Masyarakat pulau Buru tahun 1900. Foto : Wikipedia Commons

    - Advertisement -

    Pulau Buru merupakan salah satu wilayah yang mendapat pengaruh kolonial Belanda di Kepualuan Maluku. Hal ini ditandai dengan pendirian sebuah benteng pertahanan sebagai salah satu pos pengawasan jalur perdagangan rempah-rempah dari dan menuju Buru. Jejak-jejak pengaruh Kolonial Belanda di Pulau Buru merupakan bagian dari manifestasi kekuasaan Belanda di Timur Indonesia dalam penguasaan jalur rempah-rempah dihampir seluruh kepuluauan Maluku. Letak geografis Pulau Buru yang strategis di jalur pelayaran internasional turut menjadikannya sebagai bagian penting dalam tonggak awal kronologi dan pola okupasi Hindia Belanda di Pulau Buru.

    Wilayah Pulau Buru sudah lama menjadi wilayah okupasi bangsa Eropa, awal okupasi bangsa Eropa yang dimulai oleh Belanda dapat ditelusuri melalui sumber sejarah yang menyebutkan tentang eksistensi benteng di sisi Selatan Selat Kayeli. Bukti sejarah inilah yang lantas mengungkapkan bahwa sebelum Kota Namlea, pusat aktivitas dan pemerintahan Hindia Belanda awal berada di Kayeli.

    Selain itu, data serta catatan-catatan penting para penjelajah Eropa yang menyebutkan beberapa wilayah pulau Buru pernah menjadi tempat untuk berlabuh menjadi fakta penting dalam membuka tabir masa lalu jejak para penjajah yang pernah tinggal serta berkuasa di Pulau yang terkenal dengan “minyak kayu putih’ ini.

    Pulau Buru dalam Catatan Sejarah

    Sebelum okupasi Belanda dimulai di Pulau Buru, jaringan kekuasaan politik, ekonomi, pelayaran di wilayah kepulauan Maluku berada di bawah kekuasaan Kesultanan Ternate. Kekuasaan Kesultanan Ternate memiliki peran penting di kawasan timur Nusantara antara abad ke-13 hingga abad ke-19 dengan cakupan wilayah yang membentang dari Utara Kepulauan Maluku, hingga menjangkau wilayah selatan Maluku Tengah yang mencakup Pulau Seram, Buru, Kelang, Buano, dan Manipa, serta Pulau Ambon dan Kepulauan Lease (Haruku, Saparua, dan Nusalaut) (Mansyur, 2014). Pengaruh kekuasaan Kesultanan Ternate Nampak jelas ketika perwakilan Sultan Ternate ditempatkan di pulau-pulau tersebut dengan gelar Sangadji atau Gimaleha (Kimelaha). Dalam konteks ini, wilayah-wilayah Kesultanan Ternate yang berada di Maluku Tengah merupakan penghasil cengkih sebelum kebijakan monopoli VOC yang memusatkan produksi cengkih hanya di Pulau Ambon dan Kepulauan Lease (Leirissa, 1973).

    Catatan Francisco Serrao pada tahun 1512 merupakan catatan awal yang menunjukkan kehadiran bangsa Eropa di Pulau Buru. Catatan tersebut mencatat mengenai rute perjalanan Ekspedisi dirinya pada 1512 dalam upaya pencarian pusat rempah-rempah. Ekspedisi ini berangkat dari Gresik (Jawa Timur) menuju ke timur yaitu Pulau Buru, Ambon dan Seram. Armada ini kemudian menuju ke Banda untuk mengangkut rempah-rempah, dan pada saat perjalanan pulang dari banda armada ini mengalami bencana badai di wilayah Lusipara (pulau-pulau kecil di Selatan Pulau Ambon). Francisco Serrao akhirnya diselamatkan oleh orang-orang Hitu, dan kemudian dijemput oleh wakil Kesultanan Ternate (Andaya, 1993).

    Selanjutnya, catatan tentang Pulau Buru ditulis oleh Rumphius, menyebutkan bahwa pada tahun 1648 sebuah ekspedisi VOC berhasil menangkap dan membakar kapal milik pedagang Makassar serta menghancurkan 3.000 pohon cengkih yang produktif di wilayah selatan Pulau Buru (Mansyur, PULAU BURU MASA PERANG DUNIA II: Perspektif Arkeo-Historis, 2012). Catatan selanjutnya berisi tentang keberhasilan Gubernur VOC membuat sebuah perjanjian dengan para pemimpin lokal di Pulau Buru pada tanggal 2 Oktober 1658. Perjanjian tersebut berisi kesepakatan antara Gubernur VOC dengan 13 pemimpin lokal (Raja) beserta masyarakatnya menyatakan sikap untuk bersedia membentuk kampung baru di wilayah Kayeli. Pembentukan kampung tersebut sebagai upaya pemerintah kolonial Belanda untuk menempatkan pasukan beserta pertahanannya di wilayah Kayeli dalam mengawasi poros perdagangan dan jalur pelayaran rempah-rempah di Pulau Buru. Belanda kemudian membangun benteng yang dijaga oleh garnisun yang terdiri atas 24 tentara dilengkapi dengan empat Meriam. Sedangkan kampung-kampung yang berhasil direlokasi oleh Belanda terbagi dalam 3 bagian yakni sisi timur diantaranya adalah Lumaite, Hukumina, Palamata, Tomahu, dan Masarete; sisi selatan adalah Waisama; dan sisi barat benteng adalah Marulat, Leliali, Tagalisa, Ilat, Kayeli, Bara dan Lisela (Mansyur, JEJAK VOC-KOLONIAL BELANDA DI PULAU BURU (ABAD 17-20 M), 2014).

    Selain itu, Louis de Bougainville dalam catatan perjalanannya yang bertajuk “A Voyage Round the World: Performed by Order of His Most Christian Majesty in the Years 1766-1769” menyebutkan bahwa terdapat 14 perkampungan yang tersebar di sekitar benteng. Disebutkan bahwa benteng dengan konstruksi batu yang dibangun oleh Belanda hancur pada tahun 1689 dan setelah itu konstruksi pagar benteng hanya berupa kayu runcing atau pagger. Dalam catatannya, Bougainville didatangi oleh dua perwira Belanda dari arah pulau yang menanyakan tujuan rombongannya tersebut. Ia dan rombongannya sempat tidak diperbolehkan untuk melempar jangkar oleh Gubernur Ambon. Namun kepala daerah Buru saat itu, Henry Ouman,  memberi pengecualian. Ia meminta Bougainville membuat surat penjamin, yang akan digunakan sebagai tanda masuk mereka di Buru. Setelah mendapatkan izin untuk berlabuh dan bermukim sementara di Pulau Buru, Bougainville membuat kesepakatan dengan para pedagang Buru. Ia membeli sejumlah kebutuhan, seperti lembu, domba, unggas, beberapa karung beras, sedikit kacang-kacangan, telur, beberapa jenis buah, serta minuman (Pamungkas, 2020). Bougenville juga mengamati komoditi yang diperdagangkan oleh Belanda di Buru. Komoditi tersebut berupa hasil hutan jenis kayu yakni kayu arang dan kayu putih. Diantara kedua komoditi tersebut, kayu putih merupakan komoditi unggulan yang menghasilkan minyak dari punyilangan daun pohon kayu putih. 

    Selain itu, Alfred Russel Wallace yang merupakan Naturalis berkebangsaan Inggris juga pernah membuat catatan tentang pulau Buru, khususnya wilayah dataran Waeapo. Dalam buku laporan penelitian alam yang berjudul “The Malay Archipelago”, ia menumpang kapal pos Belanda dari Timor menuju Pulau Buru pada bulan Mei 1861. Rute ini merupakan kebalikan dari rute kapal Spanyol Victoria yang dipimpin Magellans selama berlayar melintasi Pulau Buru menuju Timor pada bulan Januari 1521, atau 340 tahun sebelum Wallace. Dalam catatannya, ia menetap di Pulau Buru selama 2 bulan (Mei hingga Juni) pada tahun 1861 setelah mengunjungi Timor Delli.

    Dalam perjalanannya mengamati kehidupan flora dan fauna di Pulau Buru, Wallace ditemani oleh Raja Kayeli sebagai penguasa lokal saat itu. Catatan-catatan Wallace tidak hanya terbatas pada observasi flora dan fauna yang dilakukannya selama berada di pulau tersebut tetapi juga memberi catatan mengenai situasi dan kondisi setiap daerah yang dikunjunginya.Wallace juga menceritakan kekagumannya terhadap benteng Belanda di Kayeli yang tertata rapi dengan dikelilingi lapangan rumput dan jalan-jalan yang bagus. Selain itu, disebutkan pula bahwa bangunan-bangunan yang terdapat di Kayeli dibangun menggunakan rangka kayu dan dilapisi dinding gaba-gaba. Hal penting yang diinformasikan dalam catatannya mengenai kondisi topografi tanah di Kayeli yang cenderung berupa tanah rawa yang membentang sepanjang pantai utara, sementara daerah selatan merupakan area hutan yang ditumbuhi tumbuhan ilalang atau kusu-kusu.

    Kayeli sebagai Awal Pusat Pemerintahan 

    Sebelum tahun 1919, Kayeli adalah ibu kota Pulau Buru. Kejayaan Kayeli sebagai pusat pemerintahan Belanda di sana ditandai dengan berdirinya sebuah benteng yang dibangun pada tahun 1785. Benteng setinggi 2,5 meter itu masih berdiri tegar meskipun ditumbuhi semak belukar, melingkari areal seluas hampir satu hektar. Benteng ini dahulu adalah pusat pemerintahan Belanda di Pulau Buru, di bawah administrasi Provinsi Amboina dengan salah satu gubernurnya yang terkenal yaitu Gouverneur Bernadus Van Pleuren (Detik News, 2020). 

    Kehadiran Belanda di wilayah Pulau Buru telah memberikan dampak yang sangat signifikan terhadap pola persebaran kelompok masyarakat Buru diberbagai wilayah di pulau tersebut, dengan menjadikan Kayeli sebagai pusat pertahanan, pelayaran, dan perdagangan pemerintah kolonial Belanda. Hal ini telah berimplikasi terhadap pola persebaran 13 kelompok masyarakat yang dipusatkan di Kayeli, kemudian ditempatkan secara terpisah di sekitar benteng yaitu; Lumaite, Hukumina, Palamata, Tomahu, dan Masarete disisi timur; Waisama di sisi selatan; Marulat, Leliali, Tagalisa, Ilat, Kayeli, Bara, dan Lisela di sisi barat. Pola tersebut terjadi dengan menggunakan pendekatan budaya yaitu berdasarkan aspek kebahasaan. Barbara Dix,  menyebutkan bahwa pada abad ke-17 terdapat dua kelompok Bahasa utama di Pulau Buru yaitu Bahasa Hukumina dan Bahasa Kayeli.

    Peran Kayeli sebagai ibukota kolonial Belanda di Pulau Buru telah dicatatkan dalam berbagai catatan-catatan para penjelajah Eropa yang pernah singgah dan melintasi wilayah Pulau Buru. Berbagai catatan yang menyatakan kemegahan Kayeli dibawah kekuasaan Belanda salah satunya termaktub dalam tulisan  Louis de Bougainville bertajuk “A Voyage Round the World: Performed by Order of His Most Christian Majesty in the Years 1766-1769”. Louis menceritakan kemegahan pemukiman serta benteng defensie di Kayeli yang begitu megah serta rapih. Disamping itu, keramah-tamahan masyarakat Kayeli dan juga Hindia Belanda dalam menyambutnya ketika berlabuh di Pelabuhan Kayeli menjadi kesan pribadi yang tak dapat dilupakan dalam perjalanannya menjelajah wilayah Hindia timur. 

    Kayeli juga berperan sebagai pos pemantauan Hindia Belanda terhadap berbagai kapal asing yang berlayar di perairan Buru dan juga sekitar teluk Kayeli. Maka tak heran ketika Belanda berkuasa disana, terdapat 4 buah Mariam sebagai alat pertahanan yang dipasang diempat sisi benteng defensie. Sebagai pusat perdagangan yang aktif di wilayah Buru, Kayeli juga berperan sebagai pusat produksi hasil alam Pulau Buru berupa pohon Kayu Arang dan juga Minyak Kayu Putih. Hasil alam yang sangat terkenal sejak saat itu adalah Minyak Kayu Putih yang disuling guna menghasilkan minyak aromaterapi yang berguna untuk Kesehatan. Semua hasil alam tersebut kemudian dikirimkan ke Ambon untuk diperdagangkan secara masif di wilayah kekuasaan Belanda di Indonesia Timur.

    Selanjutnya, pengaruh Kayeli sebagai ibukota Hindia Belanda di Pulau Buru mulai memudar pada awal abad ke-19 seiring dengan penghapusan sistem monopoli perdagangan rempah-rempah yang terpusat di Kayeli. Selain itu, kondisi lingkungan Kayeli yang merupakan tanah berawa menjadi factor utama perpindahan tersebut. Musibah banjir dan meluapnya sungai Waeapo pada masa itu menyebabkan kerusakan yang teramat parah bagi pemukiman dan infrastruktur yang dibangun oleh Belanda di Kayeli. Sehingga, 31 Agustus 1919, Belanda resmi memindahkan ibukota dari Kayeli ke Namlea.

    Namlea sebagai Pusat Pemerintahan Baru Belanda

    Pada tanggal 31 Agustus 1919, Belanda resmi memindahkan pusat pemerintahan dari Kayeli ke Namlea. Pemindahan ibukota ini bertepatan dengan ulang tahun ke-39 Ratu Wilhelmina yang sekaligus menjadi penanda awal kekuasaan Belanda di kota Namlea. Perpindahan pusat pemerintahan Belanda di Pulau Buru ditengarai oleh 2 faktor utama. Pertama, Pemerintah Belanda menilai perpindahan beberapa kelompok masyarakat yang awalnya terpusat di Kayeli sebagai sentral perdagangan rempah-rempah di Pulau Buru ditegarai oleh kebijakan penghapusan monopoli yang terjadi pada awal abad ke-19. Kedua, kondisi lingkungan dan topografi tanah yang berawa serta memungkinkan terjadinya bencana alam menjadi pemicu utama yang mengakibatkan Belanda memindahkan kekuasaannya ke Namlea. Hal ini dibuktikan dengan tragedi banjir besar yang meluap di sungai Waepo pada awal abad ke-19 sehingga menghancurkan Sebagian besar infrastruktur dan pusat perdagangan Belanda di Kayeli. Selain itu, wilayah Kayeli juga memiliki tingkat kerawanan banjir yang tinggi yang dapat mengancam kehidupan dan perdagangan Belanda di Pulau Buru.

    Dalam catatan Rumphius berjudul Ambonsche Landbeschrijving, Namlea adalah nama negeri yang merupakan daerah pemukiman bagi penduduk local, yang kemudian dikembangkan oleh Belanda sebagai pusat pemerintahan (Mansyur, Jejak VOC-Kolonial Belanda di Pulau Buru (Abad ke 17-20 M), 2014, p. 43). Lokasi yang didiami oleh Belanda sebagai pusat pemerintahan di Namlea didominasi oleh dataran rendah, daerah pantai serta perbukitan yang berhadapan langsung dengan Teluk Kayeli. Topografi Namlea yang tidak terdapat sungai memungkinkan Belanda untuk memusatkan seluruh kebijakan pemerintahan, perdagangan dan pengawasan rempah-rempah di Pulau Buru karena dinilai relative aman dari bencana banjir seperti yang terjadi di Kayeli. Disisi lain, dominasi wilayah dataran rendah yang cukup luas memungkinkan Belanda untuk terus mengembangkan sistem tata kota serta infrastruktur yang memadai untuk menunjang aktivitasnya di Pulau Buru.

    Ketika berkuasa di Namlea, Belanda membangun sejumlah infrastruktur untuk mendukung kegiatan perdagangan dan memudahkan proses administrasi selama berada di ibukota baru. Pertumbuhan sistem perkotaan Belanda di kota Namlea ditandai dengan toponim berupa bangunan dan jaringan jalan. Toponim awal pusat pemerintahan yang dikembangkan diantaranya Pelabuhan kecil/lama yang berlokasi di Dusun Bara, serta pasar lama yang berada di Dusun Rete. Infrastruktur lain berupa bangunan adalah Kantor Pemerintah Belanda (saat ini difungsikan sebagai Kantor Legiun Veteran) yang berlokasi di Dusun Bara (pasar Namlea) dan rumah dinas Pejabat Belanda (yang saat ini difungsikan sebagai kantor Satpol PP).

    Dalam upaya pembangunan kota secara merata, pemerintah Kolonial Belanda membagi pembangunan kota dalam 3 klaster utama. Kluster pertama adalah bangunan yang berfungsi militer berada pada arah  utara dan timur bekas kantor pejabat Belanda yang berlokasi di Dusun Bara dan Dusun Mena. Kluster kedua berada di Dusun Rete, yakni arah timur bekas kantor pejabat Belanda yang merupakan ruang aktivitas ekonomi dengan keberadaan pasar. Kluster ketiga adalah Dusun Sehe yang terdiri atas ruang pemukiman bagi warga asli Buru (arah barat laut bekas kantor pejabat Belanda). Semua kluster-kluster tersebut dibangun sebagai upaya untuk menunjang kota Namlea sebagai ibu kota baru serta menunjang aktivitas politik, ekonomi dan social selama menduduki wilayah tersebut.

    Pemindahan pusat pemerintahan pemerintah Hindia Belanda ke Namlea ternyata menuai kecaman dari warga setempat. Pasalnya, perlakuan diskriminatif dan monopoli perdagangan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda memiskinkan masyarakat baik yang terjadi di ibukota lama (Kayeli) maupun kota Namlea yang pada saat itu menjadi pusat perdagangan rempah-rempah di Buru. Peraturan-peraturan yang terkesan diskriminatif terhadap pribumi serta perlakuan-perlakuan tidak manusiawi yang dilakukan oleh pemerintah kolonial terhadap masyarakat Buru dan Maluku, turut berkontribusi terhadap pembentukan gerakan-gerakan sipil anti-Belanda yang dipelopori oleh para pemuda-pemudi yang ada di Pulau Buru. Gerakan-gerakan anti-Belanda dan semangat nasionalisme untuk merdeka menjadi motivasi awal pecahnya perlawananan masyarakat Buru dalam melawan Belanda hingga decade awal kemerdekaan Indonesia. Para pemuda yang tergabung dalam gerakan revolusi Merah Putih bersatu untuk berjuang melawan Belanda hingga mencapai puncaknya pada tahun 1946. Tahun-tahun tersebut menjadi penanda semangat revolusi yang terus berkobar di Buru untuk mengusir penjajah Belanda dari Pulau Buru.  

    Perlawanan Pemuda Merah Putih 

    Pemindahan ibukota pemerintah kolonial Belanda ke Namlea telah memicu berbagai perlawanan dari penduduk pribumi. Perlakuan diskriminatif, monopoli perdagangan, serta berbagai perlakuan-perlakuan yang tidak manusiawi pemerintah kolonial menyebabkan bangkitnya revolusi untuk menentang dan melawan Belanda. Gerakan bawah tanah atau clandestine yang dinisiasi oleh para pemuda Buru menjadi jalan tengah yang cukup efektif untuk membakar semangat untuk maju menentang serta mengakhiri kekuasaan Belanda di Pulau Buru. 

    Pada tanggal 4 April 1942 tepatnya pukul 12 WIT, sebuah kapal besar bernama KM. Sindoro tiba dan berlabuh di Teluk Namlea. Hal ini lantas memantik perhatian Abdullah Bin Thalib (Ami Do) untuk mengetahui tujuan kedatangan kapal tersebut. Selanjutnya, ia memerintahkan Taleb bin Thalib, Hamis Saanun, dan Yusuf Tjan untuk mendayung perahu kecil menuju kapal tersebut. Ketika perahu tersebut mendekati kapal, terlihat kibaran bendera Merah Putih diatas kapal. Penumpang kapal yang melihat kedatangan ketiga pemuda tersebut lantas memekikkan sebutan “merdeka”. Ketiga pemuda tersebut kemudian dipersilahkan untuk naik ke KM. Sindoro. Awak kapal menjelaskan perjalanan mereka dari pulau Jawa ke Indonesia Timur sambil menunjukkan foto Bung Karno, Bung Tomo, Y. Latuharhari, serta para pemuda yang sedang berjuang untuk mengusir Belanda di pulau Jawa. Tindakan yang dilakukan oleh awak kapal bertujuan untuk membakar semangat nasionalisme dan patriotisme para pemuda Buru yang sedang berjuang melawan penjajah Belanda di Pulau Buru. Ketika bertemu dengan ketiga pemuda pulau Buru, awak kapal bertanya terkait status Pulau Buru, dengan lantang ketiga pemuda tersebut menginformasikan bahwa pemerintahan dan kekuasaan atas Pulau Buru masih dibawah kendali Belanda sehingga awak kapal diminta untuk bertemu dengan para pemuda Buru. Awak kapal kapal dipimpin oleh Raden Yusuf Kartadikusuma, Ibrahim Saleh (kapten kapal), dan Anton Papilaya (Tim PNC) sedangkan yang tetap tinggal di kapal adalah Yos Sudarso, Dominggus Pattinasarane, Welly Noya, Agus Hektari, Mulyadi, Djafar, Polnaya, Espiano dan juga Ana Luhukay.

    Setelah tiba, rombongan disambut oleh Abdullah Bin Thalib dan teman-teman pemuda Buru lainnya. Ketua tim rombongan menjelaskan bahwa mereka merupakan Badan Propaganda Daerah Seberang yang mendapat perintah dari Biro Propaganda Pemerintah Republik Indonesia berkedudukan sementara di Yogyakarta, tugas utama tim ini adalah menyiarkan propaganda tentang kemerdekaan Indonesia yang telah diproklamirkan pada 17 Agustus 1945. Berita tentang kemerdekaan Indonesia menjadi kabar bahagia yang secara spontan membakar semangat nasionalisme dan patriotism untuk mengusir Belanda dari Pulau Buru. Yusuf Kartadikusuma sempat membagikan kisah heroic para pemuda di Pulau Jawa dalam melawan Belanda dengan motto Merdeka atau Mati. 

    Terinspirasi dari kisah heroic yang dilakukan oleh para pemuda di Pulau Jawa, Abdullah bin Thalib akhirnya melakukan konsolidasi kekuatan dengan menugaskan seorang pemuda untuk memberitakan kabar gembira ini kepada Adam Pattisahusiwa. Konsolidasi ini bertujuan untuk menghimpun kekuatan pemuda dan juga menyebarluaskan kabar kemerdekaan Indonesia di Pulau Buru. Dialog-dialog yang dilakukan di rumah Abdullah Bin Thalib secara tertutup dan rahasia tersebut berlangsung hingga 5 sore. Besoknya pada tanggal 5 April 1946 pukul 09.00 WIT, pertemuan ke-2 diselenggarkan ditempat yang sama. Rombongan KM. Sindoro ikut serta dalam pertemuan yang terdiri atas Ibrahmi Saleh (Kapten Kapal), Raden Yusuf Kartadikusuma (pimpinan rombongan), Papilaya, Yos Sudarso, Dominggus Pattinasrani, dan Ana Luhukai. Akhir dari pertemuan ini ditutup dengan kobaran semangat untuk merdeka dan motivasi untuk melawan Belanda yang masih berkuasa di Pulau Buru.

    Konsolidasi Pemuda Merah Putih Melawan Belanda

    Pada tanggal 6 Agustus 1946, pertemuan rahasia digagas oleh Adam Pattisahusiwa dalam areal pohon kelapa yang berlokasi di daerah Nametek. Rapat yang dipimpin oleh Adam Pattisahusiwa, Abdullah Bin Thalib dan Papilaya dihadiri oleh 60 orang pemuda Buru. Rapat tersebut bertujuan untuk menyampaikan hasil pertemuan dengan Tim Propaganda Kemerdekaan yang telah bertemu dengan timnya beberapa waktu lalu. Dalam rapat rahasia tersebut, Adam menyampaikan pidato yang sangat visioner untuk membakar semangat para pemuda Buru untuk tetap menjujung tinggi nasionalisme dan patriotisme dalam memerangi penjajah Belanda. Pada rapat tersebut, pemimpin pemuda Merah Putih yakni Adam Pattisahusiwa dan Abdullah bin Thalib telah mengambil keputusan untuk melakukan penyerbuan ke kota Namlea pada tanggal 8 April 1946 pukul jam 08.00 pagi WIT.

    Penyerbuan Kota Namlea

    Tanggal 8 April 1946 merupakan tanggal bersejarah yang ditandai dengan penyerbuan kota Namlea oleh Pemuda Merah Putih. Penyerbuan ini dilakukan untuk menaklukan tantara KNIL (Nederlandsch Indie Civil Administratie atau Netherlands-Indies Civil Administration (NICA) yang saat itu masih berkuasa di Pulau Buru. Penyerbuan Pemuda Merah Putih ke kota Namlea dilakukan dari tiga penjuru mata angin yakni; dari arah timur (Nametek) dipimpin oleh Adam Patisahusiwa; dari arah barat (Pohon Durian) dimpin oleh Abdullah bin Thalib; dan arah utara dipimpin oleh Hamid Koja. Sebelum serangan dimulai, Jamaludin Mahulete mengeluarkan satu tembakan sebagai aba-aba kepada para pemuda untuk memulai serangan. Penyerbuan ke kota Namlea menargetkan 5 lokasi strategis yaitu Asrama Polisi Belanda; Kantor Polisi Belanda; Kantor HPB (Houfd Van PLastelyk Bestuur); Kantor Telegrap; dan rumah Kepala Kantor HPB.

    Setelah 5 lokasi strategis dikuasai oleh para pemuda, komandan Pemuda Merah Putih menginstruksikan untuk menahan semua pegawai NICA dan mengurung mereka di Kantor HPB. Selain itu, para pemuda juga menyita persenjataan yang dimiliki oleh NICA dan apabila ada yang melakukan perlawanan terhadap Tindakan yang dilakukan, maka konsekuensinya adalah ditembak mati di tempat. Setelah itu, komandan pasukan Pemuda Merah Putih kemudian menginstruksikan untuk tidak merusak atau mengambil barang-barang yang ada di rumah-rumah penduduk, barang-barang milik pedagang serta harta benda mereka, dan juga rumah milik pemerintah Kolonial Belanda.

    Melihat bendera Belanda yang masih berkibar di depan kantor HPB, komandan pasukan Merah Putih memerintahkan untuk menurunkan bendera Belanda tersebut. Prosesi penurunan bendera Belanda tersebut diwarnai dengan kejadian kecil yakni tersangkutnya bendera tersebut pada saat diturunkan. Pada saat itu, Ibrahim Umasugi ditugaskan oleh Abdurahman Wamnebo untuk memanjat tiang bendera guna melepaskan sangkutan itu, sehingga bendera Belanda akhirnya diturunkan. Prosesi penurunan bendera Belanda di depan kantor HPB diwarnai dengan dirobeknya warna biru pada bendera Belanda oleh Abdurahman Wamnebo. Kejadian ini lantas memantik semangat para pemuda untuk melakukan persiapan mengibarkan sang saka Merah Putih di Pulau Buru.

    Prosesi pengibaran bendera Merah Putih di depan kantor HPB dilakukan oleh para pemuda terdiri oleh; Raden Ahmad yang bertindak untuk memimpin lagu Indonesia Raya; Syarif Tasijawa berperan sebagai komandan upacara; serta inspektur upacara dipimpin oleh Adam Pattisahusiwa. Sedangkan yang bertindak sebagai penggerek bendera dipimpin oleh Abdul Majid Tan dan Abdurahman Wamnebo. Selanjutnya, prosesi upacara bendera sebagai penanda bebasnya Namlea dari kekuasaan Belanda dilaksanakan pada jam 10 pagi WIT. Para pemuda seperti Abdul Halim Tan, Hamis Saanun, Abdullah Kabau, Salim Umaternate, dan Muhammad Barges untuk menyampaikan berita kepada masyarakat Namlea untuk menyaksikan prosesi upacara pengibaran bendera Merah Putih di depan kantor HPB. Pengibaran bendera Merah Putih yang jatuh pada tanggal 8 April 1946 pukul 10.30 pagi WIT juga menandai akhir kekuasaan Belanda atas kota Namlea yang ditandai dengan peristiwa penyerahan kedaulatan dan kekuasaan dari kepala kantor HPB yakni G. Gaspers kepada Pimpinan Gerakan Merah Putih Adam Pattisahusiwa.

    Penyerangan Pos Tentara KNIL di Pal-4

    Pengibaran bendera Merah Putih dan penyerahan kedaulatan oleh pemerintah Kolonial Belanda kepada Pemimpin Gerakan Pemuda Merah Putih ternyata tidak lantas menyelesaikan persoalan yang dihadapi para pemuda dengan Belanda. Hal ini lantas memantik perjuangan lain yang harus dilakukan oleh para pemuda guna menumpas Belanda yang masih menduduki Pulau Buru. Pada pukul 11 siang, Abdullah bin Thalib bersama 30 orang pejuang memimpin penyerangan Pemuda Merah Putih ke pos tantara KNIL di Pal4. Penyerangan tersebut dilakukan menggunakan mobil truk dan berbekal 8 buah senjata yang semuanya merupakan hasil rampasan dari pemerintah kolonial Belanda . setibanya di pos tantara KNIL di Pal-4, komandan pasukan berteriak dengan suara lantang “Merdeka, Angkat Tangan, Menyerah atau Mati”. Namun, KNIL yang dipimpin oleh Telehala sama sekali tidak menghiraukan perintah tersebut, ia lantas lari meninggalkan pos dan tertembak oleh timah panas hasil bidikan Abdullah bin Thalib. Setelah membunuh pimpinan KNIL, pasukan Merah Putih akhirnya meringkus 5 orang tantara KNIL untuk dibawa sebagai tawanan perang ke kantor HPB yang sejak saat itu beralih fungsi sebagai markas komando pasukan Merah Putih.

    Pada tanggal 8 April 1946 pukul 13.00 WIT, rapat kilat dipimpin oleh Adam Pattisahusiwa di kantor HPB yang dijadikan sebagai Basis Komando. Rapat yang diikuti oleh para komandan pasukan tersebut akhirnya menetapkan 6 keputusan, yaitu; (1) Memperkuat pertahanan di kota Namlea untuk mengantisipasi serangan balasan dari musuh baik dari dalam maupun dari luar; (2) Pemuda Merah Putih dilarang keluar kota Namlea apabila tidak ada perintah; (3) Tawanan perang diberi makan setiap hari dan tidak diperbolehkan untuk berlaku kasar terhadap mereka. Keamanan tawanan dan keluarganya harus terjamin; (4) bila ada musuh yang menyerang tetap pertahankan dengan semboyan MERDEKA atau MATI; (5) bila musuh lebih kuat, mundur secara tertib , dan terkoordinasi menuju desa Siahoni sebagai basis pertahanan; (6) setelah berkumpul di desa Siahoni, segera susun kekuatan dan musuh diserang dengan teknik gerilya ke kota Namlea.

    Pada tanggal 9 April 1946, terjadi peristiwa agresi Belanda yang dilakukan oleh serdadu KNIL. Serdadu KNIL bersenjata lengkap berjumlah satu pleton terebut dibawa oleh kapal dari Ambon yang berakhir kandas pada batu karang sekitar 150 meter dari tepian pantai Namlea. Setelah itu, 3 orang serdadu KNIL turun ke jembatan Namlea dan kemudian disambut oleh perwakilan Pemuda Merah Putih yaitu Abdul Majid Tan. Saat itu semua pemuda Merah Putih telah siap pada posisi masing-masing untuk mengusir gerombolan KNIL tersebut. Abdul Majid Tan yang bertugas menyambut para tantara KNIL tersebut sempat melakukan dialog dengan ketiga tantara KNIL tersebut, ia ditanyai mengenai keberadaan pimpinan HPB dan dijelaskan secara tegas bahwa yang bersangkutan sedang berada di kantor. Ketiga serdadu KNIL akhirnya memutuskan untuk bertemu dengan pimpinan HPB di kantor. Alih-alih baru melangkahkan kaki menuju kantor HPB, terdengar suara tembakan yang cukup keras dari arah kanan jembatan dan komandan KNIL akhirnya terjatuh dan mati ditempat. 

    Timah panas yang menembus pimpinan KNIL tersebut berasal dari bidikan Abdullah Kabau atas Kerjasama strategi yang luar biasa bersama Abdul Majid Tan. Akhirnya, dua anak buah serdadu KNIL tersebut ditawan sebagai tawanan perang. Terbunuhnya pimpinan serdadu KNIL menyebabkan terjadinya tembak menembak antara Pasukan Pemuda Merah Putih dan gerombolan KNIL yang berada di atas kapal. Pemuda Merah Putih dengan teriakan MERDEKA membalas serangan membabi buta yang diarahkan ke kapal tempat dimana KNIL berada. Alhasil, gerombolan tantara KNIL melarikan diri dari Pelabuhan Namlea menuju Ambon.

    Pada tanggal 10 April 1946, sekelompok serdadu KNIL Kembali datang ke Namlea degan dua buah kapal biasa dan satu kapal perang. Sebelum melakukan pendaratan di Pelabuhan Namlea, tantara KNIL melakukan penempakan membabi buta dari atas kapal kea rah kota Namlea, sementara pemuda merah putih tetap bertahan dan membalas serangan tersebut. Dalam tempo tempo 2 jam serangan berlangsung. Dengan pertimbangan keterbatasan amunisi dan persenjataan yang belum lengkap, para komandan pasukan “Pemuda Merah Putih” kemudian memberi komando, agar pasukan mundur dan bergerak ke basis pertahanan baru di Desa Siahoni, sesuai hasil kesepakatan rapat.

    Mereka yang terlupakan

    Jejak perjuangan pasukan pemuda Merah Putih menjadi tonggak sejarah perjuangan para pahlawan yang sangat luar biasa dalam konteks sejarah pergerakan kemerdekaan Indonesia di Pulau Buru. Usaha-usaha yang dilakukan oleh para pejuang merupakan manifestasi dari rasa cinta yang tinggi kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ironisnya, sejarah perjuangan dan patriotisme para veteran Buru yang tergabung dalam barisan “pemuda merah putih” hingga kini belum menjadi perhatian negara. Kisah-kisah heroik perjuangan para pemuda Buru seperti Abdullah Bin Thalib, Adam Pattisahusiwa, Abdurahman Wamnebo, dan para pemuda lainnya hanya menjadi Riwayat sejarah belaka. Riwayat ini seharusnya menjadi perhatian besar sebagai bagian dari arsip sejarah daerah yang harus terus dijaga, dituturkan dan dipelihara oleh negara dan bahkan daerah.

    75 tahun tonggak sejarah perjuangan bangsa merupakan momentum yang baik bagi setiap elemen bangsa untuk terus mengenang arwah para pejuang yang dengan gigih menaruh perhatian besar dalam perjuangan pergerakan kemerdekaan untuk menumpas kekuasaan Belanda di Namlea dan Pulau Buru. Nama-nama besar para pejuang yang dengan gigih melawan Belanda kini hanya menjadi kenagan di mata keluarga. Janji atas janji akan penghargaan berupa gelar pahlawan kepada para pejuang hingga kini belum terwujud. 

    Situs benteng Kayeli yang merupakan bagian cagar budaya yang perlu direkonstruksi Kembali hingga kini belum terwujud. Padahal, Kayeli pada masanya adalah wilayah yang berperan penting sebagai pusat perdagangan, pelayaran dan pemerintahan pemerintah Kolonial Belanda yang sarat akan nilai historis yang tinggi.

    Pada akhirnya, eksistensi Hindia Belanda dan kisah heroic para pejuang akan selalu mewarnai setiap sudut kota Namlea dan Kayeli yang dulu pernah menjadi ibu kota Belanda serta poros-poros strategis perjuangan para pemuda Merah Putih yang sangat gigih dalam menentang pasukan Belanda.

    Dari rumah Abdullah bin Thalib, bangunan kantor HPB, Pelabuhan Lama Namlea, Rumah Dinas Kepala HPB, Nametek, Pal-4, hingga desa Siahoni, semuanya adalah saksi bisu kerasnya perlawanan para veteran Buru untuk mengibarkan sang saka Merah Putih di tanah Minyak Kayu Putih.

    Daftar Pustaka

    Andaya, L. Y. (1993). The World of Maluku: eastern Indonesia in the early modern period. Honolulu: University of Hawaii Press.

    Detik News. (2020, Agustus 17). Kayeli Kota Yang Hilang. Retrieved from www.detiknews.com: https://news.detik.com/berita/d-1627296/kayeli–kota-yang-hilang

    Leirissa, R. (1973). Kebijaksanaan VOC untuk Mendapatkan Monopoli Perdagangan Cengkeh di Maluku Tengah antara Tahun 1615 dan 1652. Lembaga Penelitian Sejarah Maluku, 86.

    Mansyur, S. (2012, Juli). PULAU BURU MASA PERANG DUNIA II: Perspektif Arkeo-Historis. Kapata Arkeologi , Vol. 8 Nomor 1, 44.

    Mansyur, S. (2014). JEJAK VOC-KOLONIAL BELANDA DI PULAU BURU (ABAD 17-20 M). Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 32 No. 1, 33.

    Mansyur, S. (2014). Jejak VOC-Kolonial Belanda di Pulau Buru (Abad ke 17-20 M). Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 32 No. 1, 43.

    Mansyur, S. (2014). Jejak VOC-Kolonial Belanda di Pulau Buru (Abada 17-20 M). Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 32, 32.

    Pamungkas, M. F. (2020, Agustus 16). Pulau Buru dalam Kenangan Penjelajah Prancis. Retrieved from historia.id: https://historia.id/histeria/articles/pulau-buru-dalam-kenangan-penjelajah-prancis-DrLAL

    Daftar Pustaka

    Taleb Bin Thalib, Pulau Buru pada Masa Revolusi Fisik Tahun 1946 : Sejarah Perjuangan Rakyat Pulau Buru dalam Menentang Penjajah Belanda (naskah dalam tulisan tangan). Cabang Markas Legiun Veteran R.I Pulau Buru

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here