Oleh Nadya Andari Putri
Ini adalah kisah ramadhanku setahun yang lalu. Sebelum lebaran, aku sudah menjalin hubungan dengan cowok yang usianya lebih tua dariku. Dia kakak kelasku waktu SMP. Namanya Alif. Saat itu, kami hanya saling mengenal muka saja. Mengobrol saja kami tidak pernah.
Kata saudaranya yang merupakan teman dekatku di SMP, Alif sedang menyukai cewek lain yang merupakan teman seangkatanku. Kemudian, saat aku duduk di bangku satu SMA, temanku itu memberitahu lewat chat Facebook kalau dia suka padaku. Aku yang membaca kata – katanya di chatnya itu terkaget di tempat. Bayangkan saja, tidak ada awan, tidak ada badai, tiba – tiba saja saudara cowoknya itu menjadi menyukaiku.
Hari di tanggal 29 Bulan Juni menjadi hari jadian kami. Alif menembakku di masjid SMP kami. Aku menerimanya dengan alasan tidak ada salahnya mencoba dahulu. Lagipula dia cowok yang baik. Dia selalu shalat lima waktu dan dia juga pintar. Dia bersekolah di SMA 78 sekarang yang merupakan sekolah negeri terbaik di Jakarta Barat.
Bulan September datang lebaran. Aku dan keluargaku pulang kampung ke Temanggung menggunakan pesawat. Aku dan Alif saling berkomunikasi lewat BBM. Saat aku mengatakan akan menjenguk nenek buyutku di rumah sakit daerah Solo, dia mengatakan dia ingin ikut menjenguk bersama sepupunya. Aku meresponnya dengan mengetik kata ‘Ya. Aku akan menunggumu di lobi RS.’.
Aku menunggunya sudah selama setengah jam di lobi. Aku sempat menelponnya berkali – kali, akan tetapi suaranya tak tertangkap jelas di kedua telingaku. Hujan deras datang tiba – tiba di luar sana. Aku yang sedang mendengarkan lagu Justin Timberlake – Cry Me A River terkejut dan khawatir dengan keadaan Alif sekarang. Apakah dia kehujanan? apakah dia menggunakan jas hujan kesini?
Tiba – tiba, datang orang dengan payungnya yang basah berdiri di serambi rumah sakit. Aku tersenyum ketika melihatnya. Alif sudah datang. Aku berjalan keluar dari rumah sakit untuk menghampirinya. Aku buka jaketnya yang basah.
“Datang sendirian?”
“Sepupuku berteduh di parkiran motor.”
“Kau tidak berteduh?”
Alif menggeleng sambil tersenyum padaku. Saat itu, aku merasa beruntung sekali sudah menerima dia menjadi pacarku. Jarang kutemui cowok seperti dia, rela berhujan – hujanan hanya demi bertemu denganku. Dia jujur kalau dia pergi ke rumah sakit hanya karena dia ingin bertemu denganku di hari itu.
Yang membuatku lebih terharu lagi saat nyokap mengetesnya. Beliau menyuruh Alif untuk salaman dengan semua kerabat keluargaku yang berada di rumah sakit. Dia menurutinya langsung dan melakukannya tanpa ragu. Setelah semua kerabatku sudah disalaminya, Alif duduk di sebelah bokapku dan mengajaknya ngobrol. Dia gentleman, dan aku jadi suka sekali padanya.
Sayang, aku dan Alif putus sehari sebelum satu bulan kami berpacaran. Karena kesalahpahamanku dan keegoisanku yang tidak mau mendengarkan dahulu penjelasannya, aku memutuskannya secara sepihak. Dia hanya menurut. Padahal, aku sudah berjanji padanya untuk tidak pernah mengatakan kata ‘putus’. Aku masih menyesali kejadian itu sampai sekarang.[]