Saya merasa beruntung kenal dekat dengan Kang Tjetje, politisi senior tiga zaman pituin urang Sunda. Dalam beberapa tahun terakhir, minimal seminggu sekali, Kang Tjetje menelepon saya untuk mengkonfirmasi perkembangan politik mutakhir. Bahkan sekadar menanyakan nama seseorang yang ia lupa.
Kang Tjetje memiliki nama lengkap Tjetje Hidayat Padmadinata sejak muda menapaki jalan hidup untuk politik. Kendati usia senja sudah menghampiri sedikitpun tidak menampakan keletihan. Setiap perjumpaan bersama Kang Tjetje, ia selalu bergairah memberi analisis perkembangan politik. Kang Tjetje tanpa tedeng aling-aling kerap kali menyampaikan kritik lugas atas perilaku politisi yang dinilainya jauh dari standar kualitas. Keberanian Kang Tjetje seakan-akan menampar muka mayoritas kaum muda seangkatan saya yang mudah menyerah dan bersikap permisif terhadap keadaan.
Kang Tjetje sejatinya sosok paradoks. Politik bagi Kang Tjetje ibarat detak jantung menyatu dalam napas kehidupan, tetapi sekaligus ia membencinya. Di era orde lama mendekam dibalik jeruji besi selama 7 tahun dituduh konseptor Gerakan Perdamaian Nasional (GPN) yang menuntut demokrasi terpimpin ala Bung Karno melepaskan belenggu anasir Partai Komunis Indonesia. Tidak lama menghirup udara bebas setelah orde lama tumbang, Kang Tjetje awal orde baru kembali ditahan 17 bulan tanpa proses peradilan karena didakwa terlibat peristiwa Malari tahun 1974. Sekarang kita menjalani era reformasi, Kang Tjetje pun tetap bersuara lantang di tengah hiruk-pikuk politik yang cuma didefinisikan upaya meraih kekuasaan.
Pilihan jalan hidup Kang Tjetje menunjukan keluhuran pemikiran seorang patriotik. Menurut Niccolo Machiavelli, patriotisme adalah hasrat keutamaan (virtuous) demi kebaikan bersama (common good), dan bukan identik dengan jargon-jargon nasionalistik. Rasa cinta tanah air mendorong setiap warga negara meraih kebaikan bersama yang tidak dibatasi jabatan atau posisi kekuasaan. Inilah yang membuat Kang Tjetje gelisah melihat realitas politik melenceng dari tujuan mulia, yakni meletakan kepentingan bersama (res publica) di atas kepentingan pribadi (res privata).
Obituari ini adalah substansi sambutan saya yang disampaikan pada acara refleksi 80 tahun Tjetje Hidayat Padmadinata di Gedung Indonesia Menggugat Bandung tahun 2015. Saya sengaja memakai pisau analisis Machiavellian. Disamping ada kesamaan karakter paradoksal pada diri Kang Tjetje dengan Niccolo Machiavelli, juga karena banyak orang keliru menafsirkan pemikiran filusuf yang lahir di Florensia, Italia tahun 1469. Machiavelli dianggap mencetuskan ide politik kotor menghalalkan segala cara.
Machiavelli memang sering disalahpahami, terutama pemikiran yang dituangkan dalam karya kontroversial Il Principle (Sang Pangeran) ditulis sekitar tahun 1513. Tetapi jangan lupa, bahwa Il Principle merupakan anjuran kepada penguasa yang mempunyai konteks historis spesifik. Ketika itu negara republik Florensia terancam jatuh akibat rongrongan penjajahan Spanyol, invasi kelompok barbar, intrik kekuasaan gereja, kebusukan kaum bangsawan, dan korupsi merajalela. Menghadapi situasi itu Machiavelli menegaskan penguasa semestinya ditakuti dan dicintai rakyatnya. Penguasa menjamin ketertiban boleh dengan cara-cara kekerasan. Bahkan moralitas ideal bagi Machiavelli bukan hal penting untuk mempertahankan kepentingan politik.
Demarkasi antara moralitas dan politik memberi arti bahwa politik soal duniawi mensyaratkan rasionalitas. Politik tidak lagi ditentukan oleh moralitas yang diukur berdasar dogmatisme agama. Pemikiran Machiavelli sesuai semangat zaman Renaissance, era pencerahaan abad pertengahan di dataran Eropa yang ditandai tumbuhnya kepercayaan akan kemampuan rasionalitas manusia mengatasi urusan-urusan kemaslahatan tanpa kekuasaan transenden.
Dengan kata lain Machiavelli sebetulnya orang pertama memulai tradisi pemikiran modern negara republik. Kaum republikan meniscayakan dua hal, pertama kemauan mendahulukan keutamaan publik (civic virtue). Kedua, warga negara bukan diatur oleh raja atau kekuasan absolut, tapi tunduk kepada hukum. Machiavelli menggarisbawahi warga negara yang mengikuti aturan hukum, maka dia memiliki kebebasan. Di sini perbedaan kebebasan republikan yang berlandaskan hukum mengandung sifat imperatif harus ada jaminan kebebasan bagi orang lain. Mengingat hukum adalah sistem impersonal mengatur tata-kelola kehidupan bersama. Sementara pemahaman kebebasan kaum liberal menitikberatkan kebebasan individual.
Bersambung ke halaman selanjutnya –>