Frino Bariarcianur
Tahun 1975, seorang gubernur DKI marah besar ketika melihat sebuah lukisan kota Jakarta yang penuh mengiklankan produk Jepang. Kini bagaimana?
Lukisan itu lantas dicorat-coret oleh Sang Gubernur. “Sontoloyo! Apa ini reklame barang Jepang?” Tulisan besar itu menggurat dalam pada lukisan. Tak lupa sang Gubernur membubuhkan tanda tangan, Ali Sadikin.
Yap! Gubernur yang marah besar itu memang Ali Sadikin, Gubernur DKI Jakarta paling fenomenal sepanjang masa. Ia benar-benar tersinggung, kecewa, marah, tak bisa menerima ketika sebuah lukisan cat minyak berukuran 130 X 130 cm dengan gamblang menyuguhkan lansekap kota Jakarta.
Lukisan Srihadi Soedarsono berjudul “Air Mancar” itu membuatnya terhina.
Gimana nggak terhina, Ali Sadikin merasa ia telah bekerja 24 jam untuk membangun Jakarta agar benar-benar tampak sebagai ibu kota negara. Ia memang dikenal sebagai bapak pembangunan kota Jakarta. Dan lukisan itu telah memupus kerja kerasnya selama ini.
Peristiwa itu terjadi pada tahun 1975 ketika Sang Gubernur ingin memeriksa ruangan yang akan dijadikan tempat menyambut Presiden Soeharto. Menilik dari catatan sejarah, saat itu, akan ada peresmian Paviliun Daerah Khusus Ibukota Jakarta di Taman Mini Indonesia Indah. Rupanya Ali Sadikin tak ingin Presiden Soeharto melihat situasi Jakarta seperti yang terpampang di lukisan “Air Mancar”.
Masa itu adalah masa pemulihan kota Jakarta setelah peristiwa Malapetaka Limabelas Januari atau yang dikenal dengan nama Malari tahun 1974. Kota Jakarta saat Peristiwa Malari benar-benar lumpuh. Sejarah mencatat ribuan mahasiswa berdemonstrasi. Terjadi pembakaran. Militer turun tangan. Mahasiswa ditangkap. Itulah salah satu masa suram kota Jakarta.
Lukisan “Air Mancar” membetot ingatan Ali Sadikin. Ia tak ingin memori Malari 1974 itu mencuat kembali ke permukaan. Bahwa Jakarta sempat kalang kabut kala itu. Ali Sadikin merasa, Jakarta belum selesai dibangun, belum waktunya mengkritik, meskipun itu lewat lukisan.
Masih dalam kemarahannya, ia mengajak beberapa orang tokoh untuk berkeliling Jakarta. “Lihat, Jakarta tidak seperti yang digambarkan oleh Srihadi,” kata Ali Sadikin. Ada Ramadhan KH, Ayip Rosidi, Ilen Suryanegara dan Insinyur Tjong yang diajak menyusuri Jakarta. Tokoh-tokoh ini berupaya menurunkan emosi Sang Gubernur. Mereka juga memberikan pandangan bahwa tindakan mencorat-coret lukisan seniman adalah perbuatan yang salah. Malam itu, Sang Gubernur berpikir ulang atas tindakannya.
Sementara Srihadi punya alasan kuat kenapa menggambar kota Jakarta yang dipenuhi iklan-iklan produk Jepang. “Iklan-iklan itu sudah begitu merusak keindahan kota-kota besar kita,” ungkap Srihadi. Ia merasa sesak.
Tapi akhirnya Sang Gubernur mengakui kesalahannya. Ia pun meminta maaf kepada Srihadi lewat media massa yang dimuat Sinar Harapan tahun 1975. Tidak hanya itu, Sang Gubernur pun mengundang Srihadi untuk bertemu langsung. “Kami saling memaafkan,” kata Srihadi.
“Saya respect kepada Ali Sadikin, ia mengakui mau mengakui kesalahannya. Tak pernah saya temui seorang pemimpin yang berjiwa besar seperti Ali Sadikin,” kata Srihadi.
Cerita ini tersaji dengan apik dalam pameran bertajuk “Dusun Besar” di Galeri Cipta III Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 20-30 November 2012. Pameran koleksi Dewan Kesenian Jakarta ini merupakan sebuah dokumentasi sejarah tentang sebuah kota, yakni Jakarta yang dilihat dari seni rupa.
Repro lukisan “Air Mancar” pun terpajang di lantai 2 Galeri lengkap dengan dokumentasi koran Sinar Harapan yang memuat permintaan maaf Gubernur Ali Sadikin. Lukisan itu pula tersimpan lama di gudang kantor Gubernur DKI. Atas inisiatif Insinyur Tjong, ia mengambil lukisan itu dan merawatnya selama puluhan tahun. Barulah pada tahun 2003, Srihadi kembali melihat lukisannya yang pernah dicorat-coret oleh Sang Gubernur DKI.
Tentulah sikap ksatria Sang Gubernur DKI saat itu menjadi perbincangan yang tak kalah mengasyikkan. “Seasyik” saat kita membincangkan kota Jakarta sekarang. Dan tentu sulit menemukan sosok pemimpin yang mau dengan cepat mengakui kesalahannya. Baik itu dimuka umum (tak sekadar manis di bibir) tapi juga secara personal.
Lalu lihatlah kota Jakarta saat sekarang. Gedung yang menjulang tidak hanya Gedung Wisma Nusantara tapi ada puluhan gedung. Berjejer menggantikan pohon-pohon yang ditebang. Di tiap lajur-lajur strategis, papan reklame tak hanya milik orang Jepang tapi juga pengusaha dalam negeri dan orang-orang yang haus kekuasaan.
Jika Srihadi melukisnya dengan sebuah air mancur yang memancar dan bangunan-bangunan besar terpasang reklame produk Jepang, kita menggambarkannya dengan apa?
Tentu akan lebih mudah menggambarkan kota Jakarta saat ini. Ambillah sebuah pensil atau pulpen, tariklah garis lurus pada kertas putih. Tarik darimana saja. Lalu putar-putarkan, zig-zag juga boleh. Begitu seterusnya. Gerakannya pula bisa secepat timeline twitter tentang macet dan pelbagai peristiwa di Kota Jakarta.
Semerawut apa pun yang kita gambar, tak ada lagi yang marah-marah seperti Ali Sadikin.
Itu baru dari lukisan, kita pun masih bisa mengurai persoalan kota Jakarta dari medium yang lain. Satu demi satu dan saling melengkapi. Mulai dari berita pembunuhan, foto kecelakaan lalu lintas, esei tentang banjir, video dokumenter perjuangan orang-orang miskin kota dan segala macam medium ungkap dapat kita sajikan. Medium itu menunjukkan bahwa warga kota tengah gelisah. Namun yang ditakutkan saat kota hanya menjadi tempat pacu meraih keuntungan ekonomi, kekuasaan dan popularitas semata. Kesadaran memiliki kota artinya kesadaran untuk menjaga, pelan-pelan hilang. Sehingga secanggih apa pun kebijakan untuk memperbaiki Jakarta, kalau warganya sudah kehilangan “rasa” akhirnya menelan pil kecewa.
Tak mudah, tapi haruskah kita menyerah?
Banyak hal menarik dalam pameran “Dusun Besar”. Diantaranya rekaman pidato Umar Kayam dalam diskusi Kebudayaan Kota Satu Mitos di Indonesia di TIM, wawancara tim peneliti pameran dengan Srihadi Soedarsono, kumpulan foto-foto kota Jakarta, juga video kota Jakarta yang masih lengang, arsip media massa seperti Sinar Harapan yang menyuguhkan informasi Malari 1974 , buku-buku dan beberapa lukisan.
Artefak-artefak itu tidak hanya membawa publik ke masa lalu tapi sekaligus mengantarkan kita untuk melihat sebuah kota tempat jutaan manusia menggantung asa. Seperti inikah wajah Jakarta? []
Setiap seni “Merekam & Mencatat” sebuah peradaban manusia. Guratan, Goresan, dan Torehan di tuangkan dengan sangat Bias. Terima kasih seniman Indonesia, Tanpamu kami tak ada arti apa-apa.