Ditemukannya cacing pada sarden telah meresahkan banyak masyarakat. Terutama mereka yang kerap mengonsumsi ikan kaleng.
Dalam laporan yang disampaikan Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan (BBPOM) ada sebanyak 27 merek yang mengandung cacing parasit. Dari 27 merk tersebut, sebanyak 16 merek adalah produk impor. Sementara 11 merek produk dalam negeri.
Sebanyak 27 merek tersebut yakni ABC, ABT, Ayam Brand, Botan, CIP, Dongwon, DR Fish, Farmerjack, Fiesta Seafood, Gaga, Hoki, Hosen, Jojo, Kingfisher, LSC, Maya, Nago, Naraya, Poh Sung, Pronas, Ranesa, Sempio, TLC, dan TSC, S&W, dan PESCA. Semuanya mengandung cacing jenis Anisakis.
Dr.Ir. Etty Riani, MS Dosen Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan FPIK IPB, Anisakis adalah cacing (nematode) endoparasit yang bersifat zoonosis (berdampak pada kesehatan manusia). Cacing ini dapat menginfeksi berbagai jenis ikan laut terutama ikan yang beruaya atau bermigrasi jauh dan memiliki rantai makanan panjang. Jenis ikan ini diantaranya ikan sarden, salem, tongkol, kembung, layur, cucut, kakap putih, cakalang.
Namun menurut dosen dengan bidang keahlian Fisiologi Hewan Air, Ekotoksikologi, Ekofisiologi Hewan Air dan Teratologi (Ekotoksikologi) ini, diantara genus Anisakis, yang paling membahayakan adalah A Simplex. Jenis ini hanya terdapat negara subtropis dan belum pernah ditemukan di Indonesia.
“Sehingga ikan yang terinfeksi A simplex umumnya adalah ikan impor,” kata Dr Etty dalam laman Dept. MSP FPIK IPB, Minggu, (01/04/2018).
Dr Etty menjelaskan, pada umumnya cacing A simplex terdapat pada usus ikan. Namun di Norwegia larva cacing A simplex dapat memakan organ ikan hering dan berpotensi menyebabkan anisakiasis.
“Namun beberapa penelitian menyebutkan bahwa A simplex juga berpotensi untuk menyebabkan kerusakan otak (meningitis), gastrointestinal symptom, digestive disorder, gastric,” tambahnya.
Cacing ini menurut Dr Etty, akan mati pada proses pemasakan pada temperature di atas 70 oC. Oleh karena itu bila cacing ditemukan dalam kondisi masih hidup dalam kemasan kaleng, maka dapat diduga bahwa proses produksi ikan kaleng menggunakan suhu kurang dari 70 oC.
Sementara, ungkapnya, apabila cacing tersebut sudah mati, namun di dalam dagingnya terdapat A simplex, diduga bahwa proses pemasakan dilakukan pada temperature lebih dari 70 oC. Namun ada dugaan bahwa penanganan ikan pasca penangkapan diduga kurang sempurna, sehingga A Simplex bermigrasi dari usus ke otot ikan.
“Namun demikian A Simplex yang telah mati pun berpotensi untuk menjadi allergen, bahkan juga berpotensi untuk menghasilkan racun yang bersifat karsinogenik,” ungkap Dr Etty.
Dalam kesempatan tersebut, Dr Etty menyarankan, perlu dilakukan kerjasama hulu-hilir agar ikan memenuhi standar mutu kemananan pangan. Selain itu pengecekan ikan impor harus diperketat sebelum didistribusikan, serta perlu dilakukan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat terkait dengan dampak infeksi A simplex secara bijaksana agar tidak meresahkan.
“Hal yang juga tidak kalah pentingnya adalah perlu dilakukan upaya-upaya untuk mengurangi ketergantungan impor kebutuhan bahan baku industri pengolahan (kaleng, pindang), dan perlu penelitian lanjutan kemungkinan berkembangnya A simplex pada perairan tropis,” terang Dr Etty.
Meski merek produk impor mendominasi ikan kaleng yang terkontaminasi cacing parasit, namun produk dalam negeri bahan bakunya juga berasal dari impor.[]