Oleh: Haryati*
Pada Selasa (13/9) seorang gadis Kurdi 22 tahun bernama Mahsa Amini karena dianggap ada yang salah dalam penampilannya, dibawa ke kantor untuk menerima bimbingan pemahaman jilbab oleh polisi moral di Tehran, Iran. Di hari itu juga, pukul 19.56 waktu setempat, tiba-tiba Mahsa Amini pingsan dan dilarikan segera ke rumah sakit. Pada Jumat (16/9) nyawanya gagal diselamatkan tim medis; pihak rumah sakit mengumumkan penyebabnya adalah serangan jantung. Pihak keluarga mengklaim Mahsa Amini tidak memiliki gangguan kesehatan apapun sebelumnya dan menolak pernyataan rumah sakit bahwa Mahsa Amini meninggal karena serangan jantung. Segera setelah kematian Mahsa Amini, di media sosial tersebar isu bahwa ia tewas akibat dibunuh polisi. Isu ini tersebar sedemikian masif ke seluruh dunia sehingga menjadi trending topic dunia. Apakah yang sebenarnya terjadi?
Bila kita membaca media-media mainstream dunia, termasuk narasi pemberitaan di Indonesia, seolah sudah dipastikan bahwa Mahsa Amini tewas akibat kekerasan polisi. Bahkan netizen Indonesia pun banyak yang ikut-ikutan menyuarakan kecaman kepada pemerintah atau kepolisian Iran. Namun sebenarnya ada sisi-sisi lain dalam kasus ini yang perlu dicermati. Antara lain, kronologi kasus ini, di mana segera setelah kematian Mahsa, saudara sepupu Mahsa Amini, Irfan Murtadhai yang ternyata adalah anggota Partai Komele yang terkait dengan aksi separatisme Kurdi, melalui video pernyataan menyerukan agar rakyat Iran menyuarakan ketertindasan Mahsa Amini ke seluruh dunia. Selanjutnya, dengan bantuan jaringan media internasional seperti BBC dan Voice of America, ruang media dan jejaring sosial penuh dengan konten, video, dan cuplikan berita TV tentang kematian Mahsa Amini. Kemudian, dengan cepat muncul aksi-aksi demonstrasi massa, baik di Iran maupun di luar Iran.
Tindakan reaksioner sejumlah warga Iran atas kematian Mahsa Amini menyebabkan banyak kerugian karena di antara mereka sampai menyerang aparat kepolisian, merusak fasilitas publik seperti membakar 61 mobil ambulans, membakar bus, kendaraan patroli kepolisian, kendaraan pribadi warga, masjid, kompleks pemakaman ulama sampai melakukan penghinaan pada simbol negara seperti membakar bendera nasional Iran dan poster wajah pemimpin tertinggi Iran. Demonstrasi tersebut berlangsung berhari-hari dan telah menelan korban jiwa baik dari warga sipil maupun aparat (data yang dilansir Kayhan News hingga 2 Oktober 2022 mencapai 17 orang aparat). Ratusan perusuh telah ditangkap aparat keamanan sebagai upaya menghentikan laju gelombang aksi tersebut.
Dalam menanggapi berbagai kecaman dan protes, pemerintah Iran segera mengambil tindakan. Presiden Raisi dalam wawancara langsung dengan TV nasional Iran menyampaikan bahwa dia sudah memerintahkan membentuk tim investigasi untuk menyelidiki kasus ini dengan baik dan telah menghubungi langsung pihak keluarga Amini (18/9) menyampaikan turut belasungkawa dan bahwa kasus ini akan ditangani dengan baik. Pihak keluarga Amini pun mengucapkan terima kasih kepada presiden Raisi.
Aparat kepolisian juga telah memberikan klarifikasi dengan memunculkan video rekaman CCTV saat Mahsa Amini dibawa ke pusat edukasi. Dalam video itu, terlihat bahwa Mahsa turun dari mobil polisi dengan berjalan kaki biasa, sama sekali tidak diborgol, atau didorong, atau disentuh, lalu ia duduk di salah satu kursi di pusat edukasi, lalu berdiri mengobrol dengan salah satu petugas, dan tiba-tiba saja terjatuh.
Namun, klarifikasi ini tidak digubris kelompok pendemo maupun media-media asing yang terus bertahan dengan narasi bahwa Mahsa tewas akibat dibunuh polisi. LSM ataupun organisasi-organisasi perempuan satu persatu mengeluarkan pernyataan dukungan dan keprihatinannya atas kematian Mahsa Amini, termasuk Komisi Nasional Perempuan Indonesia (Komnas Perempuan). Mereka percaya Mahsa Amini tewas digebuk polisi karena tidak berjilbab sesuai aturan sebagaimana yang diberitakan media tanpa menunggu hasil penyidikan tim investigasi yang dibentuk Presiden Iran.
Pemberitaan negatif mengenai Iran yang juga disebar media massa di Indonesia membuat gerah pihak kedutaan Iran di Indonesia. Pada Jumat (7/10), melalui surat resmi yang ditujukan kepada para pemimpin redaksi media massa di Indonesia, pemerintah Iran melalui kedutaannya di Jakarta menerangkan kerusuhan terbaru di Iran yang mengatasnamakan pembelaan pada Mahsa Amini adalah rancangan negara-negara Barat dan rezim Zionis untuk menghancurkan Iran. Terlebih lagi pada hari yang sama tim forensik Iran telah mengeluarkan hasil forensik dari Legal Medicine Organization (LMO) bahwa penyebab kematian Mahsa Amini murni karena serangan jantung dan tidak ada bukti fisik Mahsa Amini meninggal karena mendapatkan kekerasan fisik.
Disebutkan dalam laporan Organisasi Medis Forensik tersebut, bahwa Mahsa Amini pernah menjalani operasi tumor otak pada tahun 2006 di RS Milad saat berusia 6 tahun yang menyebabkan ia memiliki gangguan pada poros penting hipotalamus-hipofisis dan kelenjar di bawah (termasuk adrenal dan tiroid). Karena penyakitnya tersebut, dia dirawat dengan hidrokortison, levothyroxine dan desmopressin. Sementara rekam medis RS Kasri saat menjelang kematiannya menyebutkan pada 13 September 2022 pukul 19:56, yang bersangkutan tiba-tiba pingsan dan kemudian jatuh ke lantai yang dipicu oleh penyakit yang dideritanya. Mahsa Amini disebutkan mengalami gangguan irama jantung dan penurunan tekanan darah dan kemudian penurunan tingkat kesadaran. Karena bantuan resusitasi jantung-pernafasan yang tidak efektif pada menit-menit kritis pertama, ia telah menderita hipoksia parah dan sebagai akibatnya kerusakan otak. Setelah dipindahkan ke rumah sakit, melalui operasi resusitasi fungsi jantung kembali normal namun setelah dua hari mendapat bantuan medis di Rumah Sakit Kasir, pasien dinyatakan meninggal karena kegagalan organ ganda (MOF) yang disebabkan oleh hipoksia serebral pada Jumat 16 September 2022.
Dengan laporan resmi tersebut, yang mengacu pada dokumen medis rumah sakit, pemeriksaan CT-scan, T-Scan otak dan paru-paru, hasil pemeriksaan fisik tubuh dan autopsi, tes patologi, kematian Mahsa Amini tidak disebabkan oleh pukulan kepala atau tindakan kekerasan pada organ vital lainnya sebagaimana yang dituduhkan.
Bersambung ke halaman selanjutnya –>