Frino Bariarcianur
Film dokumenter “The Act of Killing” arahan sutradara Joshua Oppenheimer berkisah tentang para “algojo” di masa runtuhnya rezim Soekarno. Dengan metode rekonstruksi, film ini mencuri perhatian dunia dan masuk nominasi Oscar.
Tersebutlah kisah dari seorang kakek tua bernama Anwar Congo. Semasa badannya masih tegap dan berjaya, dia adalah preman di kota Medan era 1960-an. Dalam sejarah Republik Indonesia ini, tahun 1960-an tepatnya di tahun 1965 adalah masa kelam pupusnya rasa kemanusiaan. Masa dimana manusia membantai manusia. Akal sehat hilang dipenuhi dengan prilaku-prilaku kejam.
Saat itu Jakarta berkonflik. Jenderal-jenderal dibunuh. Ekonomi berantakan. Situasi semakin kalut. Konflik di Jakarta ini dengan cepat menyebar ke seluruh wilayah lain di Indonesia. Ini adalah mula sejarah kudeta militer Indonesia. Peristiwa ini dikenal dengan nama Gerakan 30 September yang–menurut analisa angkatan darat-didalangi oleh Partai Komunis Indonesia.
Maka setiap orang yang berhubungan langsung dan tidak langsung dengan PKI dilenyapkan di muka bumi. Entah berapa banyak manusia dibunuh waktu itu.
Anwar Congo terlibat dalam pembantaian itu. Ia bersama rekan-rekannya menjadi mesin pembunuh untuk mengeksekusi orang-orang yang terlibat dalam PKI di kota Medan. Dalam film “The Act of Killing”, kakek ini mengisahkan kehidupan kelamnya dengan enteng. Bahkan dalam kisahnya, mereka menemukan cara terbaik untuk mengeksekusi orang.
Untuk mendapatkan efek dari kekejaman pembantaian itu, Joshua Oppenheimer, merekonstruksinya. Dalam adegan interogasi Anwar Congo tua disetting menjadi korban. Dari situlah ia merasakan betapa perbuatannya terdahulu begitu kejam. Sekian detik kemudian ia pun merasa tersadar.
Ia tak lagi seperti di awal-awal kisahnya yang mengalir. Setelah berperan sebagai korban, ia mulai terbata-bata. Sempat muntah. Sorot matanya tak lagi menunjukkan kegagahan sebagai algojo. Adegan itu membuatnya berpikir ulang tentang masa lalu yang kelam.
Film “The Act of Killing” memang menunjukkan betapa sejarah negara Indonesia begitu sadis, kejam, dan tak berprikemanusiaan. Sekali lagi kita diingatkan bahwa negara ini juga dibangun atas sengketa kekuasaan, monopoli kebenaran, dan mementingkan segolongan. Bisa jadi diantara kita benci dengan film ini, tapi begitulah salah satu kesaksian yang terbongkar.
Dan kini perhelatan Oscar 2014 meletakkan film “The Act of Killing” sebagai salah satu nominasi film terbaik dunia. Film ini akan bersaing dengan film dokumenter dunia lainnya seperti “Cutie and the Boxer”, “Dirty Wars”, “The Square”, dan “20 Feet from Stardom”. Di Australia film ini mendapatkan penghargaan Asia Pacific Screen Awards 2013 untuk kategori film dokumenter terbaik.[]