Budhi Gustiandi
Kebakaran hutan dan lahan merupakan salah satu penghasil gas karbondioksida (CO2) terbesar di dunia selain aktifitas industri dan gas pembuangan kendaraan bermotor. Studi mengenai polusi udara dan perubahan iklim telah menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi CO2 pada atmosfer bumi menyebabkan efek rumah kaca yang kemudian mengakibatkan pemanasan global (global warming).
Kebakaran hutan dan lahan dapat disebabkan oleh faktor alam (misalnya petir atau fenomena alam lain) maupun oleh faktor nonalam (manusia) baik disengaja maupun tidak. Namun, faktor manusialah yang menjadi penyebab utama kebakaran hutan dan lahan di Asia Tenggara akibat pembukaan lahan untuk perkebunan dan permukiman melalui pembakaran oleh para petani dalam skala kecil maupun perusahaan-perusahaan perkebunan dalam skala besar.
Sudah lebih dari 25 juta hektar lahan dan hutan tropis di seluruh dunia terbakar sehingga mengakibatkan kerusakan ekologi yang sangat hebat.
Di Indonesia, kebakaran hutan dan lahan juga bukan merupakan sebuah permasalahan yang baru. Indonesia merupakan salah satu negara penyumbang gas CO2 terbesar di dunia yang disebabkan oleh tingginya intensitas kejadian kebakaran hutan dan lahan. Hampir setiap tahun terjadi kebakaran hutan dan lahan di Pulau Sumatera dan Kalimantan, terutama pada musim kemarau yang biasanya berlangsung dari bulan April sampai bulan Oktober.
Lebih dari 12,1 juta hektar hutan dan lahan di Indonesia telah mengalami kebakaran dalam kurun waktu 16 tahun terakhir.
Seiring perkembangan ilmu dan teknologi, pemantauan kejadian kebakaran hutan dan lahan sudah dilakukan dengan menggunakan satelit. Keunggulan pemanfaatan data satelit adalah cakupan pemantauan yang sangat luas, perolehan informasi yang relatif lebih cepat, dan biaya yang lebih murah dibandingkan pemantauan langsung di lapangan. Informasi yang dihasilkan diantaranya adalah letak geografis kebakaran hutan dan lahan beserta tingkat keyakinannya.
Seperti apa sebenarnya wajah dari kebakaran hutan dan lahan yang “menghiasi” negara kita? Dengan menggunakan aplikasi Google Earth (http://earth.google.com), penulis mencoba menampilkan informasi kebakaran hutan dan lahan yang diperoleh dari data satelit Terra dan Aqua yang diperoleh dari Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional – LAPAN (http://modis-catalog.lapan.go.id/) untuk rentang waktu 1 Januari – 6 April 2014.
Hasilnya diperlihatkan pada Gambar 1.
Hanya dalam kurun waktu kurang dari 4 bulan, telah terjadi sebanyak 5.160 kebakaran hutan dan lahan yang mayoritas berada di Pulau Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Satu titik merah pada Gambar 1 diperkirakan merepresentasikan daerah yang terbakar seluas 1.000 m2. Dengan kata lain dalam kurun waktu tersebut luas daerah yang diperkirakan terbakar adalah sebesar 516 hektar.
Tidak ada kata terlambat untuk berbenah diri. Meskipun pembukaan hutan dan lahan dengan pembakaran merupakan cara yang paling mudah dan murah, namun masih banyak cara lain yang dapat digunakan seperti teknik slash-and-mulch, dimana vegetasi ditebang kemudian ditumpuk dan dibiarkan terdekomposisi secara alami dan berfungsi sebagai humus. Teknik ini memiliki banyak keuntungan, diantaranya mempertahankan kesuburan tanah, mempertahankan struktur tanah, menjamin pengembalian unsur hara, mencegah erosi permukaan tanah, membantu pelestarian lingkungan, dan yang terpenting adalah mendukung penurunan kadar CO2 sebagai gas utama yang memainkan peran dalam pemanasan global. []