Rindi Danika Sari
Akhir-akhir ini konsep ‘kemanusiaan’ (HAM) dianggap tidak lagi relevan, dikatakan sedikit banyaknya hal itu adalah manifestasi dari ego dan kesombongan manusia. Beberapa orang mungkin penasaran, apa maksudnya?
Hal itu dimulai ketika Climate Change dan Global Warming menjadi sebuah agama baru, maka seperti kehidupan beragama umumnya akan ada basis-basis ‘pengikut tanpa bertanya’, kelompok atheis dan agnostik, dan tentu saja para sufi.
Para sufi ini, sering juga bergelar environmentalist. Mereka akan bicara lebih dari sekadar petuah. Mereka bisa meminjam Binomial Nomenklatur dari Bapak Takson—Carolus Linnaeus (yang meneruskan teori Aristoteles dan Darwin) untuk memberikan argumen atas sikap mereka yang anti-humanity. Dengan semangat mereka berkhotbah:
‘Apakah yang disombongkan manusia, anakku? Kita tidaklah memiliki Kingdom sendiri, kita bahkan tidak menguasai baik Filum, Ordo, ataupun Genus sendiri. Kita berdiri pada tingkatan taksonomi yang paling rendah, spesies! Kita menumpang pada Kerajaan Binatang, anakku..’
‘Tapi—Bapak yang baik, kita bukan binatang. Saya tidak mau jadi binatang. Kita punya akal. Kita bisa berdaulat atas pilihan kita. Kerajaan lain tidak. Jadi tentu kita boleh berdaulat, membuat pilihan bagi semua yang tidak bisa memilih sendiri bukan?’ si anak menyangkal. Tapi Dogma belum selesai.
‘Apa kau membaca Partikel milik Dewi Lestari, nak? Dia menjelaskan cukup baik bagaimana Kerajaan Fungi menguasai hidup spesies dan organisme lain. Lalu, tahukah kau Bapak Michael Pollan yang mulia berkata kita hanyalah superorganisme, kita hanya 10% manusia—dalam hitungan sel dan 90% bakteri. Bakteri dalam tubuh mengendalikan kesehatan, ketahanan tubuh, metabolisme, juga emosi. Jadi apa yang kau maksud dengan berdaulat, nak?’
‘Tapi—Supernova itu buku fiksi dan saya tidak kenal si Pollan.’
‘Hmmhh…..’ Bapak tersenyum sabar, ‘Bapak Christopher Stone dulu bertanya apakah Pohon bisa punya hak? Thomas Berry menyebut penghuni bumi sebagai Earth Community, Roderick Nash bilang bukan Human Right, tapi Right of Nature. Jadi—‘
‘Bakteri? Pak Berry?—Maaf Bapak, adakah yang lebih saya kenal?’
‘Hmm.. Keanu Reeves?’
‘Si Matrix? Dia Environmentalist?’
‘Tidak, Bukan. Saya hanya berpikir dia keren meski tua.’
‘Bukankah Edward Cullen yang digilai para gadis itu bahkan sudah 90 tahun, Bapak?’
‘Hahaha—‘ seorang sufi bisa tertawa bijak. ‘Jadi begini anakku, kalau kesehatan kita saja bukan kedaulatan kita lalu bagaimana boleh berpikir bahwa alam dan seisinya adalah hak kita? Pada trofik biomassa bahkan semut lebih tinggi dari manusia. Kita tak lebih dari hewan yang bisa bicara, nak.’
‘Tidak, Bapak. Kita punya hati. Hewan tidak.’
Bapak tersenyum menang. ‘Kalau punya hati, manusia tidak akan mengeksploitasi alam hanya demi kepentingannya sendiri, bukan?’
Si anak tak terdengar lagi jawabnya, tenggelam di muka televisi yang menyala putus asa, karena si anak sedang pakai earphone dan main tablet produk teknologi polusi. Ada makanan berbungkus plastik yang sulit diurai bumi, ada kulkas dan AC bernafas CFC. Si anak senyum dan ketawa, sebentar lagi mau pergi nonton konser naik kuda yang kentut monoksida.
Sufi mesti tersenyum.
Sufi berpikir bijaksana.
Dia anak muda bahagia, menikmati kemewahan sebagai manusia dan tentu saja, sedang mempertahankan ‘kemanusiaan’-nya. Sufi senang melihat anak muda yang bersemangat dan bahagia. Sufi tidak bahagia untuk diri sendiri. Dia bahagia dengan bijaksana. Damailah hidup di dunia. Bahagialah menjadi manusia.[]