Festival Musik Keramik 2015 bertema “Tahun Tanah” melibatkan 5000 lebih partisipan yang berasal dari berbagai kalangan di Kecamatan Jatiwangi, Majalengka, Jawa Barat, Rabu (11/11/2015). Keterlibatan ini lebih banyak dari tahun 2012 yang berjumlah sekira 1500 orang. Festival Musik Keramik yang digelar 3 tahun sekali ini merupakan niatan dan cita-cita warga Jatiwangi untuk menyelamatkan masa depan tanah.
Festival berlangsung di lapangan bekas pabrik gula. Hadir dalam kesempatan itu Deddy Mizwar, Wakil Gubernur Jawa Barat beserta politikus dan tokoh Majalengka. Saat para pejabat itu datang, suasana di lapangan telah dipenuhi dengan bunyi-bunyi harmoni dari berbagai alat musik tanah. Sesekali terdengar teriakan ribuan anak-anak.
Di atas panggung tinggi, berdiri Tedi En, Ahmad Thian, dan Iwan Maulana dari kelompok musik Hanyaterra. Mereka generasi muda yang telah mengibarkan dan mengharumkan Jatiwangi lewat musik tanah Jatiwangi di pentas musik dunia. Mereka jugalah yang selama kurang lebih 4 bulan terjun ke-16 Desa di Jatiwangi untuk berbagi pengetahuan memainkan alat musik tanah.
Saat tanah-tanah itu dibunyikan, menggemalah identitas Jatiwangi. Ditambah dengan pembacaan Ikrar Warga Jatiwangi dan Mars Jatiwangi yang diucapkan bersama-sama, maka identitas khas itu tergambar jelas. Merinding dibuatnya!
Jatiwangi sukses mengangkat identitas yang penuh pergolakan itu.
Jatiwangi adalah kawasan industri genteng yang terkenal. Ada 300 pabrik genteng baik modern dan tradisional yang masih beroperasi saat ini. Selama perjalanan eksploitasi tanah, pabrik-pabrik ini jatuh bangun mengiringi perubahan sosial di Jatiwangi.
Tanah terbaik untuk membuat genteng adalah tanah yang terbaik pula untuk tanaman padi orang Jatiwangi. Inilah titik dilema yang hingga kini masih menghantui Jatiwangi. Tapi orang Jatiwangi tak ingin meninggalkan tanah begitu saja atau hanya sekadar menjadi benda penutup rumah mereka.
Beruntunglah ada kelompok Jatiwangi Art Factory (JAF) yang berdiri pada tahun 2005. Kelompok inilah yang menguatkan semangat orang Jatiwangi agar terus berkarya melalui tanah. Dengan swadaya dan mimpi yang dianggap utopia, tanah itu dibentuk menjadi berbagai karya seni. Mulai dari seni rupa hingga musik. Bahkan hasil eksplorasi tanah Jatiwangi telah menjadi camilan atau kue tanah, tepung untuk menyucikan diri, dan parfum.
Sejak berdiri hingga sekarang kelompok JAF telah dikunjungi oleh seniman dan mahasiswa dari berbagai negara, diantaranya : Yunani, Jerman, Bosnia, Singapura, Amerika, Australia, New Zealand, Malaysia, Thailand, Jepang, Polandia, dan Korea. Para seniman dan mahasiswa membuat workshop, pameran, festival, dan penelitian. Mereka yang datang bukan turis. Mereka yang datang untuk belajar tentang kebudayaan tanah Jatiwangi.
Dalam konteks medan sosial seni, maka JAF telah membuat peta baru dalam khazanah gerakan seni di Indonesia. Seni itu adalah senjata dan strategi.
Begitu pula Gerakan 5000 Musik Keramik Jatiwangi adalah strategi untuk mencapai cita-cita Jatiwangi yang mandiri secara ekonomi dan berdaulat atas tanah. Untuk mencapainya, JAF memulai dengan berbagi pengetahuan soal tanah kepada anak-anak. Dengan harapan, ketika anak-anak ini dewasa mereka telah menyadari bahwa tanah Jatiwangi adalah bagian hidup mereka.
Dan tugas itu masih panjang, JAF. []