More

    Membawa Pulang Tjoet Nyak Dien ke Nanggroe Aceh

    Ine Febriyanti, sutradara dan aktor dalam pementasan monolog "Tjoet Nyak Dien" di Gedung AAC Dayan Dawood, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. FOTO : FRINO BARIARCIANUR
    Ine Febriyanti, sutradara dan aktor dalam pementasan monolog “Tjoet Nyak Dien” di Gedung AAC Dayan Dawood, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. FOTO : FRINO BARIARCIANUR

    Sosok perempuan tua sendiri di hutan. Kesepian. Matanya buta. Namun di dalam benaknya berjuta kenangan terkuak kembali. Perlawanan demi perlawanan.

    Perempuan perkasa itu adalah Tjoet Nyak Dien. Salah seorang pejuang bangsa Aceh yang paling ditakuti Belanda. Bila memimpin pasukan, suaranya menggelagar bagai halilintar memompa semangat pejuang Aceh. Diantara pasukannya ada alim ulama, hulubalang, dan inong balee (janda pejuang yang ikut berlaga).

    Dalam catatan sejarah setelah bertahun-tahun bergerilya di belantara hutan rimba, pada tanggal 4 November 1905, barulah Cut Nyak Dien ditangkap Belanda. Kemudian diasingkan ke Sumedang, Jawa Barat. Ia meninggal dengan rasa rindu yang luar biasa terhadap kampung halamannya, Nanggroe Aceh.

    - Advertisement -

    Perjuangan Tjoet Nyak Dien dikisahkan kembali oleh Sha Ine Febriyanti dalam pentas monolog di Gedung Academic Activity Centre (AAC) Dayan Dawood, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, Rabu malam (09/12/2015).

    Pementasan monolog Tjoet Nyak Dien ini pula merupakan rangkaian acara Kongres Peradaban Aceh.
    Sebagai sutradara sekaligus aktor, Ine telah berhasil membawa semangat perjuangan Tjoet Nyak Dien dalam pertunjukannya.

    Panggung pertunjukkan Tjoet Nyak Dien ditata seminimalis mungkin. Tata lampu yang temaram. Alunan musik dari celo yang dimainkan Jassin Burhan serta gambar-gambar dari LCD proyektor mampu mengiringi pertunjukkan. Alhasil, selama kurang lebih 40 menit, penonton -yang kebanyakan mahasiswa-bagai tersihir lewat kata-kata dan gerak Ine.

    “Saya ingin memunculkan sisi lain dari Tjoet Nyak Dien yang dikenal sebagai pejuang hebat. Sisi seorang ibu atau perempuan lebih ditonjolkan dalam pertunjukkan ini. Saya mencoba menyuguhkan bagaimana kerinduan seorang Tjoet Nyak Dien yang tercerabut dari akarnya ketika diasingkan,” ungkap Ine Febriyanti.

    Ine Febriyanti berharap pertunjukkan ini dapat memberikan inspirasi bagi perempuan muda Aceh masa kini. Ia berharap semangat perjuangan Tjoet Nyak Dien terus ada dalam diri anak muda.

    Ine Febriyanti, sutradara dan aktor dalam pementasan monolog "Tjoet Nyak Dien" di Gedung AAC Dayan Dawood, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. FOTO : FRINO BARIARCIANUR
    Ine Febriyanti, sutradara dan aktor dalam pementasan monolog “Tjoet Nyak Dien” di Gedung AAC Dayan Dawood, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. FOTO : FRINO BARIARCIANUR

    “Semoga pertunjukkan ini menginspirasi,” ungkap Ine yang terlihat lelah.

    Keberhasilan Ine Febriyanti di atas panggung memerankan tokoh Tjoet Nyak Dien merupakan hasil kerja keras. Ia mengeksplorasi segala hal yang berkaitan dengan sosok perempuan Aceh itu dengan cara pergi ke makan Tjoet Nyak Dien untuk menggali cerita, mencoba nyirih, membaca sejarah, mendengarkan musik tradisional Aceh, menyeruput kopi Gayo, juga menonton film “Tjoet Nyak Dien” garapan Eros Djarot.

    Tentulah tantangan berat Ine adalah sosok Tjoet Nyak Dien yang pernah diperankan oleh Christine Hakim dalam film garapan Eros Djarot yang dirilis tahun 1988. Hingga sekarang sosok Tjoet Nyak Dien identik dengan Christine Hakim. Dan di hadapan penonton, Ine mengaku, Christine Hakim sangat berhasil memerankan tokoh Tjoet Nyak Dien.

    Namun disinilah sebagai sutradara ia harus pandai memunculkan sosok Tjoet Nyak Dien yang “baru”. Sebuah jalan baru untuk memahami sosok Tjoet Nyak Dien. Memang tidak mudah.

    Tapi Ine Febriyanti yang baru pertama kali menginjakkan kaki di Nanggroe Aceh, telah berhasil “membawa pulang” Tjoet Nyak Dien. []

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here