More

    Mengejutkan, Inilah 4 Karakter ‘Toxic Worker’ yang Patut Diwaspadai

    ABC AUSTRALIA NETWORK
    Kellie Scott

    James Calder mengatakan karyawan dengan kepribadian yang merusak atau toxic workers umum terdapat di lingkungan kerja yang kental dengan budaya kompetisi. (Credit: ABC licensed)
    James Calder mengatakan karyawan dengan kepribadian yang merusak atau toxic workers umum terdapat di lingkungan kerja yang kental dengan budaya kompetisi. (Credit: ABC licensed)

    Atasan Anda boleh jadi menyukai karyawan yang berprestasi tinggi, percaya diri dan penjilat, tapi menurut riset terbaru ternyata karyawan semacam ini justru menjadi karyawan bermasalah alias toxic worker di lingkungan kerja dan merugikan perusahaan.

    Peneliti dari Harvard Business School berhasil membuat profil atau karakter dari toxic workers ini dengan menganalisa data dari 50 ribu karyawan di 11 perusahaan.

    - Advertisement -

    Riset ini mengungkapkan bahwa pekerja bermasalah ini sangat beragam karakternya mulai dari karyawan yang usil hingga karyawan yang suka melakukan bullying.

    Ada empat karakter utama untuk mengidentifikasi karyawan bermasalah di sebuah lingkungan kerja berdasarkan riset ini, dimana tenyata karyawan yang memiliki produktivitas tinggi juga masuk didalamnya.

    “Kita mendapati ternyata karyawan bermasalah ini cenderung lebih produktif dibandingkan karyawan pada umumnya,” tulis peneliti riset ini.

    Karakter lainnya adalah karyawan yang memikirkan diri sendiri dan terlalu percaya diri.

    “Karyawan yang terlalu percaya diri – kita dapat menghubungkan karakter terlalu percaya diri ini dengan kemungkinan melakukan kesalahan, “kata para penulis.

    “Ini mungkin menjelaskan bagaimana seorang karyawan bermasalah dapat bertahan lama didalam sebuah organisasi.”

    Akhirnya karakter utama karyawan yang merusak adalah mereka yang cenderung sangat ketat mengikuti aturan.

    “Sikap ini juga bisa meliputi mereka yang mengklaim kalau aturan harus diikuti dengan tertib adalah mereka yang secara alamiah memiliki kecenderungan menjadi pengikut aliran Machiavelli, yang mengaku akan menerima apapun aturan yang disodorkan, karakteristik atau keyakinan mereka ini kemungkinan besar menjadi alasan mereka mendapatkan pekerjaan,’ tulis laporan ini.

    “Ada bukti kuat bahwa pengikut aliran Machiavellianisme ini mengarah ke perilaku menyimpang.”

    Dan ternyata bukan hanya rekan kerja saja yang tersiksa dengan kehadiran karyawan bermasalah ini tapi pengusaha juga dirugikan karena harus mengeluarkan banyak uang untuk mengatasi masalah yang diciptakan karyawan bermasalah ini.

    “Bahkan pada karyawan yang memiliki level merusak relatif normal saja bisa memicu banyak pengeluaran anggaran bagi organisasi, termasuk kehilangan konsumen, hilangnya moral karyawan, tingginya angka keluar masuk karyawan (turnover) dan hilangnya legitimasi diatara stakeholder eksternal penting mereka,” ungkap laporan penelitian ini.

    Penelitian ini menemukan biaya yang ditimbulkan dari tingginya kasus turnover karyawan, yakni anggaran yang dikeluarkan untuk mempekerjakan karyawan pengganti lantaran hadirnya seorang pekerja yang merusak didalam sebuah tim bisa mencapai $17.330 dan ini belum termasuk biaya potensial lainnya seperti masalah litigasi, sanksi regulator dan hilangnya semangat kerja.

    Direktur Manager perusahaan konsultan Calder, James Calder mengatakan berdasarkan pengalamannya pekerja yang memiliki sifat merusak (toxic workers) paling umum muncul dilingkungan kerja yang memiliki budaya kompetitif.

    “Didalam budaya di mana terdapat budaya bonus reward yang sangat kuat mereka bisa terbiasa dengan karakter merusak seperti itu,” kata Calder.

    “Alasan yang bisa saya jelaskan adalah ketika Anda bekerja untuk sebuah organisasi dengan kebudayaan yang berbeda, jenis kepribadian merusak seperti itu tidak akan ada,”

    Menurut Calder menghindari pekerja dengan karakter merusak seperti ini sangat tergantung pada bagaimana suatu bisnis menempatkan dirinya sejak awal.

    “Ini terletak pada kepemimpinan dan budaya yang mereka ciptakan sedari awal – inilah alasannya mengapa sulit dihilangkan di bank-bank besar [misalnya] karena kebudayaan di industri ini sejak zaman dahulu memang sudah kental dengan persaingan.”

    Penulis dalam penelitian ini mengatakan cara terbaik menghadapi pekerja yang merusak ini adalah dengan menghindarinya.

    Misalnya, departemen SDM harus dilatih untuk menyaring orang-orang dengan karakter karyawan bermasalah.

    Tapi bagi para rekan kerja, Calder mengatakan satu-satunya cara menghindari mereka adalah dengan meninggalkan organisasi itu alias pindah kerja.

    Menurutnya banyak perusahaan yang bagus punya kebijakan untuk tidak mentolerir budaya bodoh seperti itu, tapi ada banyak juga yang munafik, mereka mengatakan perusahaannya punya budaya yang hebat tapi ternyata karyawan dengan kepribadian yang merusak dibiarkan saja,”

    “Menyerahkan masalah ini ke bagian HR dan karyawan serta budaya perusaah tidak selalu menjadi solusi yang tepat untuk masalah ini, karena jujur saja dikelompok itu juga terdapat orang-orang dengan kepribadian yang merusak juga – mereka tidak imun,”

    “Banyak orang baik terpaksa meninggalkan perusahaan dan mendirikan perusahaan sendiri karena mereka muak menghadapi orang dengan kepribadian tersebut.” []

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here