ENCEP SUKONTRA
Musa Izzanardi tersenyum lugu begitu Mursid Wijanarko (45) menghampiri. “Bagaimana ujiannya,” tanya Mursid yang tidak lain ayah Musa. “Ya 80 persenan bisa,” jawab Musa.
Ayah dan anak itu bercakap-cakap menuruni lantai dua SMP YAS Bandung, di antara puluhan peserta SBMPTN 2016. Musa menjadi peserta SBMPTN paling muda, usianya baru 13 tahun atau setara dengan anak kelas satu SMP.
Uniknya, semua jenjang pendidikan Musa ditempuh lewat belajar di rumah atawa homeschooling dengan guru ibunya sendiri, Yanti Herawati (45).
April lalu Musa baru saja lulus ujian Paket C, ujian persamaan SMA. Di bulan yang sama pendaftaran SBMPTN dibuka. Sedangkan ujian persamaan SD (Paket A) dan Persamaan SMP (Paket B) ia tempuh dalam usia delapan dan 11 tahun.
“Saya hanya belajar dua hari setelah ujian persamaan,” kata Musa saat ditanya bagaimana ia mempersiapkan ujian SBMPTN. Selama dua hari persiapan, ia membeli buku-buku paket tentang SBMPTN.
Pria kelahiran 24 Oktober 2002 ini kemudian memilih kelompok ujian sains dan teknologi. Namun ternyata apa yang dipelajarinya banyak yang meleset dari soal-soal SBMPTN. Tapi ia bisa mengerjakan semua soal. Ia yakin kawabannya benar.
Ia optimis bisa lulus SBMPTN dan bisa kuliah di kampus yang diidam-idamkan, kalau tidak Institut Teknologi Bandung, ya Universitas Indonesia. Prodi atau jurusan yang dipilih juga tidak main-main, yaitu Matematika atau fisika.
“Saya suka matematika. Matematika ramai saja, abstrak. Fisika juga senang, tapi lebih suka fisika modern,” tandas pria berkacamata yang ramah senyum.
Musa Izzanardi adalah putra kedua dari tiga bersaudara yang lahir dari passangan Yanti Herawati – Mursid Wijanarko. Sejak kecil, remaja yang bercita-cita ingin jadi ahli nuklir ini memiliki sejumlah kelebihan. Ia banyak bertanya, daya tangkap otaknya luar biasa.
Namun ia juga memiliki sejumlah kekurangan. Fisik Musa berbeda dengan anak umumnya, lebih lemah. Ia bahkan sempat tidak bisa menulis. Tetapi juga hiperaktif alias tidak mau diam.
Orang tua sempat membawanya ke psikolog anak yang kemudian menilai Musa memiliki masalah pengendalian diri. Psikolog merekomendasikan Musa untuk menjalani terapi musik. Maka Musa pun dilatih main piano untuk memaksimalkan fungsi motoriknya, agar gerakan fisiknya kuat.
Ketika hendak mengikuti ujian persamaan SD, Musa sempat beberapa kali mengikuti tes IQ. Setidaknya ia sudah tiga kali mengikuti tes IQ di berbagai kampus dengan hasilnya rata-rata 150.
Usianya yang belia mensyaratkan ia menjalani tes itu. Waktu itu usianya baru delapan tahun tetapi sudah mau ikut ujian persamaan SD. Lalu pada usia 11 tahun mengikuti persamaan SMP.
Yanti Herawati terus mencari masalah yang dihadapi anaknya, antara lain menggali informasi di internet. Hasil pencariannya membuat ia menduga anaknya tergolong keluarbiasaan ganda, yakni istilah psikis di mana seseorang memiliki kemampuan abstrak yang tinggi tapi kemampuan sosial/praktisnya rendah.
Mengenai bagaimana hasil SBMPTN nanti, baik Musa maupun kedua orang tuanya tidak merasa terbebani. Sebab Musa masih memiliki kesempatan besar untuk kembali mengikuti SBMPTN di usinya yang masih belia.
“Nggak masalah tidak masuk juga. Jatahnya kan sampai tiga kali. Abisin saja jatahnya,” kata ibu berkerudung alumnus Planologi ITB. []
Menurut saya sih, kalau udah disebar-sebar dan jadi viral kayak gini, ga lulus itu masalah.
Saya udah baca bukunya, Melihat Dunia. Dan saya kenal Izzan secara real life juga.
Izzan bukan tipe anak yang mentalnya kuat banget, atau tahan dengan pandangan orang luar, kalau itu jelek.
Saya rasa… Kalau dia ga berhasil lulus, bakal jadi luka tersendiri buat dia.
Saya ga tau gimana ceritanya dia bisa sampe disorot media, tapi kalau saya ada di posisi Izzan, kemungkinan besar saya akan menolak.
Seberapapun saya menginginkan ppopularitas, saya rasa mulai membanggakan diri setelah lulus, adalah pilihan yang lebih bijak.