AUSTRALIA PLUS INDONESIA
Caroline Damanik – Jelajah Australia 2016
Minat belajar Bahasa Indonesia di kalangan anak muda Australia disebut menurun dalam beberapa tahun terakhir. Sejumlah universitas di beberapa negara bagian di Australia bahkan sampai menutup program kajian Indonesia atau Bahasa Indonesia karena minimnya peminat.
Di Monash University, jumlah mahasiswa yang ikut kelas Kajian Indonesia pada semester pertama 2016 sebanyak 84 orang, terdiri dari Kelas 1 yang diikuti sekitar 20 orang, Kelas 3 sekitar 35 orang, Kelas 5 sekitar 17 orang, dan Kelas 7 sekitar 12 orang.
Sebagian besar peserta kelas ini adalah para mahasiswa yang mengikuti program double degree, misalnya mahasiswa Fakultas Hukum yang juga mengambil gelar untuk Bahasa Indonesia. Jumlah ini kalah jauh dibanding dengan peserta kelas Kajian Jepang atau China.
“Dibandingkan dengan Kajian China atau Jepang, mereka mahasiswanya banyak sekali, ratusan bahkan ribuan,” ungkap Yacinta Kurniasih, dosen Kajian Indonesia di Monash University, yang ditemui setelah mengajar pada akhir Mei 2016.
Meski hanya 84 orang, Yacinta mengatakan, jumlah generasi muda Australia di Monash University yang mengikuti kelas Kajian Indonesia tergolong masih banyak dibandingkan di tempat lain. Hanya saja, jumlah ini memang menurun dari tahun-tahun sebelumnya. Trennya sama. Saat ini merupakan titik terendah angka peminat dalam kurun waktu 50 tahun Bahasa Indonesia diajarkan di lembaga pendidikan formal di Australia, mulai dari sekolah dasar hingga universitas.
“Waktu besar-besarnya itu tahun 2000-an, itu banyak mahasiswa yang ikut. Kemudian ada peristiwa politik dan mispersepsi antar dua negara itu yang membuat jumlah mereka turun,” ungkap Yacinta.
Menurut Yacinta, hubungan politik Indonesia dan Australia yang naik turun selama ini memengaruhi minat generasi muda Australia dalam belajar Bahasa Indonesia. Hal itu, lanjutnya, diperparah oleh sikap para petinggi dan politisi Australia yang merasa tak penting untuk belajar Bahasa Indonesia.
Akibatnya, tidak ada kebijakan pemerintah Australia yang mendukung keberlangsungan pembelajaran Bahasa Indonesia di institusi pendidikan Australia.
“Ada kekosongan kebijakan dan kepemimpinan dalam hal pengajaran bahasa dan budaya Asia secara umum dan Indonesia secara khusus. Ini masalah nasional yang besar dan serius untuk Australia. Ada semacam mentalitas monolingual Inggris yang dimiliki oleh pemimpin dan masyarakat umum yang memengaruhi guru dan anak-anak di sekolah,” katanya.
“Tidak ada penguatan dan pengayaan untuk program bahasa Asia di Australia. Meski saya harus puji ada kebijakan New Colombo Plan, jadi pemerintah Australia memberikan banyak beasiswa kepada generasi muda Australia untuk pergi ke negara Asia, terutama Indonesia. Siapa yang tidak suka? Yang kurang adalah penguatan di Australia untuk memperkaya dan membesarkan program bahasa dan budaya Indonesia,” tuturnya kemudian.
Oleh karena itu, Yacinta mengaku sedang menanti komitmen dari pemerintah Australia untuk mewujudkan setiap ucapan yang disampaikan kepada publik bahwa Indonesia menjadi negara tetangga yang sangat penting bagi Australia.
Penguatan itu, lanjutnya, harus dituangkan dalam bentuk aturan dan kerja sama formal dengan pemerintah Indonesia. Jika tidak, menurut dia, bukan tidak mungkin Bahasa Indonesia tidak akan lagi diajarkan di Australia pada sepuluh tahun mendatang.
“Misalnya kebijakan nasional di Australia harus jelas. Saya pikir, sekarang, masih di mulut saja bahwa Indonesia penting, tetapi berapa politikus Australia yang belajar Bahasa Indonesia? Jadi ada gap generasi pemimpin dan generasi mahasiswa saya,” ungkapnya.
Sebagai dosen, Yacinta kerap menanamkan pentingnya memiliki bahasa kedua kepada para mahasiswanya yang sebagian besar adalah warga Australia. Meski saat ini jumlah mahasiswa yang belajar Bahasa Indonesia hanya 84 orang dan tugasnya untuk mempromosikan Bahasa Indonesia menjadi berat, Yacinta tidak patah arang.
Selain merumuskan cara belajar bahasa Indonesia yang menyenangkan, para dosen juga harus menanamkan perspektif tentang hubungan dekat Indonesia dan Australia untuk menarik minat generasi muda Australia.
“Karena biasanya mereka berasal dari latar belakang monolingual, saya sering bilang ‘kamu ingin lebih menarik, tidak membosankan dan lucu, belajar bahasa kedua’. Lalu saya ajari, Australia dekat sekali dengan Asia, mau ke sana? Mau belajar tentang hukum di indonesia, mau jadi turis, belajar Bahasa Indonesia’,” ungkapnya.
Yacinta mengaku saat ini tengah melakukan eksperimen sederhana tentang lifeskill yang akan diajarkan kepada para mahasiswanya. Dia menuturkan kerap menyampaikan kepada para pemuda yang diajarnya bahwa bahasa itu lebih dari sekadar kata-kata. Belajar bahasa adalah belajar tentang diri sendiri. Oleh karena itu, dia kerap menyampaikan bahwa jangan puas hanya menguasai satu bahasa.
“Saya tidak bisa menyerah, saya akan ngeyel. Monash University meski kecil tetapi komitmennya besar (untuk Bahasa Indonesia). Jadi, apapun akan saya lakukan dan saya fokus pada generasi muda. Ini yang bisa kami bantu sebagai warga negara Indonesia untuk mendorong penguatan program bahasa Indonesia di sini,” tegasnya.
Jeff, salah satu mahasiswa Yacinta, menuturkan bahwa dirinya tertarik belajar Bahasa Indonesia karena termotivasi oleh pemikiran dosennya. Apalagi, dia juga kuliah di bidang jurnalisme.
“Saya belajar Bahasa Indonesia karena saya ingin menguasai bahasa asing lebih dari satu,” kata mahasiswa Kelas 5 Kajian Indonesia ini.
“Saya ingin memakainya (Bahasa Indonesia) untuk bidang jurnalisme karena saya suka sekali berpendapat dan membicarakan tentang isu-isu dunia dan nasional,” tambahnya.
Remaja Australia yang memiliki ibu berasal dari Malaysia ini mengatakan bahwa tidak terlalu mengalami kesulitan saat belajar Bahasa Indonesia karena dia juga familiar dengan bahasa Melayu.
“Tidak susah. Mudah sekali karena tidak ada tenses, tense yang sekarang tidak berbeda dengan tense yang lalu,” ungkapnya.
Masih optimistis
Optimistisme disampaikan oleh Duta Besar Indonesia untuk Australia, Nadjib Riphat Kesoema. Menurut dia, tren penurunan belajar bahasa oleh warga Australia juga dialami oleh negara Asia lainnya.
Selain itu, meski faktanya jumlah peminat belajar Bahasa Indonesia menurun dan tidak lagi menjadi mata pelajaran wajib yang diajarkan di sekolah seperti yang terjadi di awal tahun 1980-an, jumlah sekolah dan kampus yang mengajarkan Bahasa Indonesia di Australia masih banyak.
Menurut dia, saat ini, di kawasan selatan Australia saja ada sekitar 2.000 sekolah yang mengajarkan Bahasa Indonesia.
“Tidak mungkin Bahasa Indonesia tidak diajarkan lagi di Australia karena peminatnya masih tetap banyak walaupun memang tidak sebanyak dahulu,” kata Nadjib ketika ditemui di rumah dinasnya di Canberra, ACT, Australia, pada awal Juni 2016.
Warga dan para politisi Australia, lanjutnya, masih sangat membutuhkan Bahasa Indonesia karena Indonesia adalah salah satu tetangga terdekat yang dimiliki Australia. Bahkan, menurut Nadjib, sudah banyak politisi Australia yang menguasai Bahasa Indonesia.
Menurut Nadjib, sama seperti keuntungan yang diperoleh warga Indonesia dengan belajar Bahasa Inggris, dengan belajar Bahasa Indonesia, warga Australia bisa meminimalisasi mispersepsi dan mengedepankan empati saat berkomunikasi.
“Ketidaktahuan mengenai budaya tetangga kita itu yang menghalangi kita untuk bekerja sama,” ungkapnya.
Nadjib menuturkan, Kedutaan Besar RI di Canberra sudah mengupayakan sejumlah langkah untuk mendorong tumbuhnya kembali minat belajar Bahasa Indonesia di Australia.
Dengan bekerja sama bersama Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, misalnya, KBRI menggelar program balai bahasa sejak tahun 2013. Jika tadinya program ini hanya ada di Canberra, Sydney dan Perth, kini sudah digelar di seluruh negara bagian.
Nadjib yakin, minat belajar Bahasa Indonesia di kalangan warga Australia akan terus meningkat.
“Saya selalu sampaikan, belajarlah Bahasa Indonesia, tingkatkan lagi kemampuan bahasa Indonesia agar Anda bisa lebih mengerti tentang bagaimana Indonesia itu,” tutur Nadjib. []