AUSTRALIA PLUS
Ana Stnk
Menjadi minoritas bukanlah hal yang menyedihkan meski saat itu berada pada situasi seperti mahluk dari planet luar (alien).
Situasi ini pernah sempat saya rasakan dimana saya menjadi satu-satunya mahasiswa dari Indonesia, mengenakan hijab dan bagian kecil dari prosentase mahasiswa internasional yang menjadi duta siswa (student ambassador) di Monash University.
Namun situasi ini justru mengajarkan saya makna minoritas di tengah-tengah mayoritas.
Makna minoritas ini akan terurai mulai dari perjuangan mengikuti seleksi hingga pembelajaran yang saya dapatkan dari kegiatan-kegiatan student ambassador.
Student ambassador merupakan program ekstra kurikuler kampus dari Monash Education tepatnya dibuat oleh Fakultas Pendidikan bagi mahasiswa Monash University di kampus Berwick, Clayton dan Peninsula.
Tujuan program ini untuk merepresentasikan dan mempromosikan fakultas kepada mahasiswa lama dan baru serta memberi pengaruh positif terhadap komunitas di Monash.
Seleksi program ini diselenggarakan setahun sekali dan hanya diambil 30 mahasiswa dari S1 hingga S3 dari 3 kampus Monash tiap tahunnya.
Kriteria seleksi yang dipersyaratkan cukup tinggi seperti kecakapan dalam bahasa tulisan dan lisan, mampu bekerja sama dengan tim, dan semangat berkontribusi.
Melihat bahasa Inggris saya yang pas-pasan dan harus bersaing dengan mahasiswa lokal dan internasional, saya sempat ragu untuk mendaftar student ambassador.
Kemudian saya melihat kembali persyaratan dimana salah satunya ialah semangat berkontribusi untuk komunitas, akhirnya dengan niat tersebut saya mengisi formulir pendaftaran.
Formulir tersebut berisi data diri, motivasi mengikuti program, pengalaman berorganisasi dan kegiatan volunteering dan kontribusi apa yang diberikan ke kampus jika terpilih. Akhirnya aplikasi saya kumpulkan via online 13 Mei lalu.
Dari segi timing, mahasiswa yang baru memulai kuliah bulan Februari (Semester Ganjil) akan lebih diuntungkan karena seleksi ini hanya digelar setahun sekali dan pembukaan pendaftaran student ambassador biasanya sejak 20 April.
Seleksi penentuan akhir ialah wawancara yang diselenggarakan pada akhir Mei hingga pengumuman resmi peserta terpilih awal Juni.
Program student ambassador seperti di Monash ini tidak bisa saya jumpai di kampus-kampus lain di Australia.
Saat bertanya dan bercakap-cakap dengan teman-teman dari luar kampus, mereka mengatakan bahwa tidak ada program student ambassadors. Namun, tentunya di kampus ada program dari organisasi kampus dan tiap fakultas biasanya memiliki student association, misalnya kalau di Fakultas Pendidikan Monash ada Education Students’ Association (ESA).
Selanjutnya, para student ambassador Monash dibekali dengan latihan kepemimpinan, pertemuan antar kampus, menghadiri workshops atau conferensi dan menyelenggarakan berbagai acara dari Juli hingga Oktober tahun ini.
Kegiatan pada Semester Genap ini sebagai bekal pengembangan kepemimpinan dan pengakraban sesama duta. Ini karena 80 duta siswa ini berasal dari jurusan yang berbeda di Fakultas Pendidikan Monash dari 3 kampus, berbeda strata dari mahasiswa S1 hingga doktoral dan beragam latar belakang.
Adanya keberagaman latar belakang ini membuka pikiran saya bahwa pikiran itu seperti parasut, jika terbuka maka akan berguna.
Jika pikiran itu saya biarkan tertutup karena saya merasa seperti mahluk asing ; yang berbeda karena mengenakan hijab, berstatus mahasiswa internasional, dan kali pertama mahasiswa Indonesia khususnya penerima beasiswa LPDP yang menjadi student ambassador di Monash, maka saya tidak akan bisa melihat dan merasakan betapa indahnya menjadi minoritas dalam mayoritas ini.
Teman-teman ambassador sangat mengapresiasi ide-ide saya, menawarkan makanan halal saat kegiatan, dan memberi kesempatan untuk bergabung menjadi tim program tanpa melihat identitas, latar belakang atau hal-hal diluar diri saya.
Mereka sangat menjunjung tinggi kesetaraan dan toleransi. Itupun seperti halnya yang saya pahami dalam ajaran agama saya bahwa Tuhan tidak akan melihat kecantikan, ketampanan, kekayaan atau kedudukan seseorang selain daripada kepatuhan mereka dalam menjalankan perintahNya.
Terakhir, saya merasa bahwa kedamaian adalah kunci yang harus saya gunakan dimanapun saya berada. Jauh dari keluarga, merantau meninggalkan kampung halaman dan menghadapi perbedaan di negeri orang memotivasi saya untuk banyak bergaul dan mencari pengalaman baru.
Dari situ pikiran akan terbuka dan sadar bahwa perbedaan bukanlah penghalang untuk mengaplikasikan perdamaian dimanapun saya berada. []
*Ana Stnk sedang menjalani pendidikan S2 di bidang pendidikan di Monash University sebagai penerima beasiswa LPDP, sebelumnya lulusan IAIN Salatiga di Jawa Tengah.