More

    Studi Potensi Konflik 2016 : Aksi Premanisme di Yogyakarta Meningkat

    Ilustrasi / Seorang wanita menyerobot antrian SPBU di Yogyakarta.
    Ilustrasi / Seorang wanita menyerobot antrian SPBU di Yogyakarta.

    YOGYAKARTA, KabarKampus – Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada (PSKK UGM) melihat masyarakat Yogyakarta sudah cukup resah terhadap aksi-aksi kekerasan yang terjadi. Hal itu didapat dalam Studi Perubahan Sosial dan Potensi Konflik yang dilakukan PSKK UGM pada 2013 dan 2016.

    Dalam penelitian tersebut menunjukkan, sebagian besar masyarakat menilai aksi-aksi kekerasan oleh kelompok atau premanisme di Yogyakarta mengalami peningkatan yang signifikan selama periode waktu tersebut. Dari total jumlah responden 7.752 orang, sebanyak 50,48 persen memiliki persepsi bahwa aksi-aksi premanisme meningkat semenjak tahun 2013 hingga 2016.

    Peningkatan tersebut terutama dirasakan oleh masyarakat di Kabupaten Sleman, Kabupaten Bantul, dan Kota Yogyakarta. Sementara responden yang mengatakan aksi kekerasan dan premanisme tetap sebanyak 18,7 persen dan yang mengatakan turun sebanyak 18,65 persen. Sisanya, yakni 12,16 persen mengatakan tidak tahu.

    - Advertisement -

    Sementara itu, saat ditanya tentang bagaimana perkembangan premanisme di wilayah tempat tinggalnya, sebanyak 49,42 persen masyarakat Bantul memberikan persepsi naiknya tindakan premanisme di wilayahnya. Persentase ini masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan wilayah kabupaten/kota lainnya, seperti Sleman (32,36 persen), Gunungkidul (26,81 persen), Kota Yogyakarta (23,78 persen), dan Kulon Progo (18,26 persen).

    “Studi yang sama pernah kami lakukan pada 2013 lalu. Jika dibandingkan dengan studi yang lalu, maka indeks potensi konflik yang bersumber dari aksi premanisme meningkat di wilayah Bantul, Sleman, dan Kota Yogyakarta. Untuk Kulon Progo indeksnya tetap, sedangkan Gunungkidul indeksnya turun,” kata Hadna, Jumat, (07/10/2016)

    Hadna menilai, tingginya indeks potensi konflik dari premanisme diduga berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi. Baik Kota Yogyakarta, Sleman, maupun Bantul merupakan wilayah dengan laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Data Badan Pusat Statistik DIY menunjukkan, pertumbuhan ekonomi Kota Yogyakarta pada 2012 tertinggi di DIY, yakni 5,76 persen yang disusul kemudian oleh Sleman (5,45 persen) dan Bantul (5,34 persen).

    Menurutnya, potensi tersebut, terjadi saat pertumbuhan ekonomi naik, potensi konflik juga dirasakan naik oleh masyarakat. Di satu sisi diduga ada motif-motif ekonomi yang melatar belakangi munculnya tindak premanisme karena perebutan sumber daya ekonomi yang terbatas.

    Di sisi yang lain, pengaruh pertumbuhan ekonomi mendorong terjadinya transformasi sosial budaya yang ditandai dengan bergesernya nilai-nilai dari model masyarakat yang Gemeinschaft menuju masyarakat Gesselschaft. Pada model masyarakat yang disebut terakhir ini nilai-nilai kekerabatan menjadi longgar dan diganti dengan nilai-nilai transaksional.

    Dengan memahami fakta tersebut, Hadna menyarankan perlunya pertumbuhan ekonomi yang mengedepankan kepentingan rakyat banyak. Basis-basis ekonomi harus tersebar merata tidak hanya di perkotaan tetapi juga sampai pada tingkat perdesaan. Perhatian terhadap wilayah perdesaan menjadi penting karena angka kemiskinan di perdesaan (16,63 persen) lebih tinggi ketimbang di perkotaan (11,79 persen) pada Maret 2016. Penguatan ekonomi di perdesaan diharapkan akan menekan angka urbanisasi yang tidak perlu.

    Berkaitan dengan longgarnya nilai-nilai kekerabatan, Hadna menyampaikan perlu dibangun community welfare-based security atau keamanan yang berbasis pada kesejahteraan masyarakat. Bentuk partisipasi masyarakat dalam model ini bukan hanya aspek keamanan secara fisik seperti saat ronda atau siskamling. Rasa aman juga bisa diciptakan dengan mendorong kesejahteraan masyarakat melalui partisipasi komunitas pada tingkat terbawah seperti RW atau pedusunan agar tanggap dalam merespon kondisi kemiskinan di wilayahnya. Tergerak membantu anak yang putus sekolah, memediasi konflik antartetangga yang berebut sumber air, dan sebagainya.

    “Syaratnya, komunitas ini harus memiliki aturan main yang disepakati bersama dan memperoleh persetujuan komunitas, misalnya tentang hal-hal yang boleh mereka intervensi dan hal-hal yang tidak boleh karena menjadi kewenangan pihak negara melalui aparat keamanan,” jelasnya.[]

     

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here