More

    Lewat Gerakan Literasi, Indonesia Tidak Akan Berakhir

    IMAN HERDIANA

    Lagu Indonesia Raya membuka Festival Indonesia Menggugat#3: Pekan Literasi Kebangsaan di Gedung Indonesia Menggugat, Jalan Perintis Kemerdekaan No. 5 Bandung. Lagu ini diiringi petikan kecapi khas Tionghoa yang dibawakan musisi Sisca Guzheng Harp.

    Sketsa peta kepulauan nusantara sebelum Indonesia berdiri
    Sketsa peta kepulauan nusantara sebelum Indonesia berdiri

    Setelah itu, budayawan Wawan “Hawe” Setiawan menyampaikan orasi budayanya sebagai pengantar festival yang akan berlangsung hingga Rabu 7 Desember 2016 itu. Dosen Universitas Pasundan ini mengapresiasi iringan lagu Indonesia Raya dengan kecapi.

    - Advertisement -

    Menurutnya, lagu Indonesia Raya merupakan bagian dari literasi, tercipta dari teks-teks yang dirangkai penciptanya, yaitu WR Supratman. Dalam tubuh lagu Indonesia Raya terdapat lirik “Di sanalah aku berdiri jadi pandu ibuku.”

    Menurut Hawe Setiawan, lirik tersebut menjadi tanda tanya jika dikaitkan dengan Indonesia kini. Tanah air Indonesia ada “di sini”, bukan “di sana”. Rupanya lagu tersebut lahir jauh sebelum adanya negara Indonesia, sekitar 1920-an. Waktu itu yang namanya Indonesia baru berupa ide para pendahulu bangsa, termasuk WR Supratman.

    Saat menciptakan lagu, bisa dipastikan WR Supratman tidak tahu bagaimana bentuk Indonesia. Sehingga beberapa versi lagu Indonesia Raya yang dibuatnya tetap memakai lirik “Di sanalah…” bukan “Di sinilah…”.

    “Artinya waktu itu kita akan menuju ‘di sanalah aku berdiri jadi pandu ibuku’,” terang Hawe Setiawan. Dalam kesempatan ini, ia menjadi keynote speaker yang membahas tema “Literasi, Kebudayaan dan Kebangsaan”, Kamis, 1 Desember 2016, sore.

    Ia mengatakan, lirik Indonesia Raya terkait erat dengan Pekan Literasi Kebangsaan yang digelar secara swadaya oleh komunitas Bandung. Indonesia membentang dari Papua sampai Aceh, terdiri dari gugusan pulau besar dan kecil, disatukan oleh lautan dalam dan luas, dihuni penduduk dengan ras, suku, etnis, agama, dan bahasa yang berbeda-beda. Semuanya bisa dirangkum dalam kata Indonesia.

    “Indonesia ini ajaib,” ujar doktor Program Pascasarjana Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB ini.

    Hawe Setiawan menambahkan, gugusan kepulauan Indonesia sangat luas, konon sejak dulu sudah menjadi titik persilangan Cina-India lebih dari 2000 tahun lalu.

    “Jika kita naik pesawat terbang, kadang saya berpikir agak mustahil bisa menyatukan gugusan ini dalam satu gagasan keindonesiaan dan menjunjung satu bahasa persatuan yaitu bahasa Indonesia.”

    Wawan "Hawe" Setiawan adalah dosen di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra Universitas Pasundan Bandung. Budayawan yang aktif menuangkan gagasan kritis tentang isu-isu sosial dan politik Indonesia. ILUSTRASI ; dokumentasi Hawe Setiawan
    Wawan “Hawe” Setiawan adalah dosen di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra Universitas Pasundan Bandung. Budayawan yang aktif menuangkan gagasan kritis tentang isu-isu sosial dan politik Indonesia. ILUSTRASI ; dokumentasi Hawe Setiawan

    Hawe Setiawan menuturkan, akar bahasa Indonesia adalah bahasa Melayu. Namun kini bahasa Indonesia sudah berdiri sendiri dan sangat berbeda dengan negara yang masih memakai bahasa Melayu, Malaysia misalnya. Makin hari bahasa Indonesia makin menjauh dari akarnya, makin mengindonesia dan menciptakan akar keindonesiaan.

    Ia kadang melihat persatuan Indonesia yang beragam ini dibentuk berkat sihir atau tangan gaib. Tetapi tentu saja Indonesia terbentuk dalam proses panjang. “Indonesia hasil kerja keras, banting tulang, peras keringan, bahkan tetesan darah,” ungkap Hawe Setiawan yang menyelesaikan studi S1 di Jurusan Jurnalistik Fikom Unpad.

    Para pendahulu negara ini membangun Indonesia tidak satu malam. Untuk menyatukan bentangan gugusan pulau-pulai di nusantara ini, para pendahulu memerlukan faktor-faktor pengikat.

    LITERASI dalam Bingkai NASIONALISME
    Salah satu faktor pengikat itu adalah literasi. Literasi di sini, sambung dia, adalah literasi kebudayaan, membaca buku dan perkembangan zaman. Literasi inilah yang menjadi faktor yang mengikat para pendahulu seperti Soekarno, Hatta, Sjahrir, Tan Malaka dan lainnya dalam membangun Indonesia.

    Ciri umum atau kesamaan para tokoh tersebut, adalah, mereka sama-sama gemar membaca dan menulis. Tidak sampai di situ, mereka mengaitkan bacaan dan tulisan untuk menjawab tuntutan zaman, mencerahkan masyarakat.

    Hari ini, menurut pengamatan Hawe Setiawan, agak sulit mencari figur-figur seperti para pendiri bangsa di masa lalu; yang disiplin membaca, menulis dan mencerahkan masyarakat untuk melakukan perubahan lebih baik.

    “Yang banyak (hari ini) tidak gemar membaca, menulis dan tidak menggugah siapa pun,” ujarnya.

    Gerakan literasi pada masa lalu sangat terkait dengan keindonesiaan. Di masa para pendahulu bangsa, yang namanya bangsa atau nation state adalah gagasan modern atau baru. Gagasan ini hanya dipahami segelintir orang saja, yaitu para elit atau golongan terpelajar.

    “Dari situ timbul ide Indonesia. Saya yakin ide ini awalnya ada di kepala para elit, kemudian ditulis, dicetak dan disebarluaskan. Lambat laun ide ini diterima banyak orang.

    Semua orang sama-sama menyerap gagasan Indonesia, dari Aceh sampai Papua sama seiya-sekata, bahwa kita hadir bersama dalam gugusan pulau Indonesia. Jadi Indonesia lahir bukan karena sihir, tapi karena mesin cetak,” paparnya.

    Dengan kata lain, sambung dia, nasionalisme atau semangat kebangsaan lahir sejak munculnya barang cetakan seperti buku, majalah, koran, brosur dan lainnya. Kemunculan barang-barang cetakan atau literatur membangun referensi bersama.

    (dari kiri) Moh. Hatta, Tan Malaka, dan WR Supratman
    (dari kiri) Moh. Hatta, Tan Malaka, dan WR Supratman

    Hawe Setiawan memberi ilustrasi, orang yang tinggal di Aceh dan Papua sama-sama memaca buku Pramoedya Ananta Toer, akan memiliki referensi yang sama saat mereka bertemu. Kemudian mereka membangun komitmen bersama, meskipun secara kultur, ras, agama, mereka berbeda.

    “Dengan demikian kita jadi mengerti kenapa Indonesia ada. Kita bhinneka dulu bukan ika dulu. Kita berbeda-beda dulu lalu menjalin keikaan,” katanya.

    Sejak munculnya barang cetakan, perkembangan membaca menjadi sangat personal atau indivual. Orang bisa membaca di mana saja, di kamar, di taman, dan lainnya. Setiap orang memiliki kemerdekaan membaca, termasuk menafsirkan teks bacaannya untuk kemudian diolah menjadi teks yang mampu mencerahkan masyarakat sebagaimana yang dilakukan para pendahulu bangsa.

    Namun dewasa ini, ia melihat Indonesia memiliki masalah dalam membaca khususnya menafsir. Orang yang menafsir terancam di-bully oleh sekelompok orang yang mengklaim pemilik tafsir tunggal. Sekelompok orang ini memaksakan tafsir tunggal mereka, kadang dilakukan dengan gerakan massa sambil berteriak dan mencaci-maki.

    “Kita mengalami masalah kebudayaan, bahwa masyarakat yang membaca harus dihormati dalam menafsirkan, menggauli dan mengembangkan teks. Mudah-mudahan Pekan Literasi Kebangsaan ini menggugah kita untuk memelihara kebersamaan melalui kegembiraan menulis, membaca, dan menafsirkan teks.”

    Menurutnya, lewat gerakan literasi Indonesia akan tetap ada sebagaimana gerakan literasi yang dilakukan para pendahulu bangsa untuk merumuskan keindonesiaan.

    “Kita belajar dari pendahulu kita untuk mengaitkan bacaan dan tulisan dengan melihat masyarakat dan tuntutan zaman. Saya sebagai warga negara Indonesia yakin, selama membaca dan menulis bangsa Indonesia tidak akan berakhir besok. Indonesia akan tetap ada selama kita menulis dan membaca,” tandasnya. []

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here