More

    Oganisasi Mahasiswa dalam Sebuah Problema

    Penulis: Dadan Rizwan, Mahasiswa PKN 13 UPI

    Dadan Rizwan. Foto : FB
    Dadan Rizwan. Foto : FB

    Organisasi kemahasiswaan sebagai organisasi pembelajaraan merupakan sarana terbaik bagi mahasiswa untuk belajar berorganisasi, berpolitik, dan mengembangkan minat serta bakat yang dimiliki oleh setiap mahasiswa.Keberadaannya di lingkungan kampus memang sangat penting adanya, karena dengan adanya organisasi, mahasiswa bisa sama-sama mengembangkan dan mengaplikasikan segala teori-teori yang didapatkan di bangku perkuliahan, terutama mengenai teori kepemimpinan, kebebasan mengemukakan pendapat, dan teori lain seputar organisasi. Sehingga organisasi kemahasiswaan menjadi tempat terbaik untuk pembelajaran demokrasi.

    Hal tersebut juga telah ditetapkan dalam Kepmendikbud N0. 155/U/1998 tentang Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan di Perguruan Tinggi. Pada Pasal 1 menyebutkan, organisasi kemahasiswaan intra perguruan tinggi adalah wahana dan sarana pengembangan diri mahasiswa ke arah perluasan wawasan dan peningkatan kecendekiawanan serta integritas kepribadian untuk mencapai tujuan pendidikan tinggi. Kemudian pada Pasal 2 menyatakan, Organisasi Kemahasiswaan di perguruan tinggi diselenggarakan berdasarkan prinsip dari, oleh dan untuk mahasiswa dengan memberikan peranan dan keleluasaan lebih besar kepada mahasiswa.

    - Advertisement -

    Ditinjau dari landasan hukum sebuah organisasi kemahasiswaan didirikan di tingkat perguruan tinggi. Adanya Organisasi Kemahasiswaan ini tiada lain adalah sebagai sarana pembelajaran dan pengembangan segala potensi yang dimiliki oleh setiap mahasiswa. Terutama dalam hal peningkatan sikap integritas dan keperibadian mahasiswa. Sehingga bisa menciptakan mahasiswa berintegritas dan mencetak para calon pemimpin.

    Namun akhir-akhir ini kondisi organisasi kampus kelihatannya tidaklah kondusif dan harmonis. Bahkan keberadaan dari organisasi ini pun dianggap abstrak oleh sebagian mahasiswa yang lain. Mereka menganggap posisi organisasi sudah tidak mampu lagi untuk menampung dan menyalurkan seluruh aspirasi mahasiswa khususnya dari para anggotanya sendiri. Sehingga hal ini berdampak pada  tingkat partisipasi politik dari setiap mahasiswa yang menjadi lemah.

    Memang kita tak bisa mengeneralisir atas apa yang telah terjadi saat ini. Karena bisa jadi di sebagian kampus yang lain masih banyak mahasiswa yang memiliki tingkat partisipasi yang tinggi. Namun nyatanya sekarang banyak ditemui dalam setiap kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh organisasi mahasiswa yang ada di kampus sangat sepi peminat.

    Lalu apa sebenarnya yang salah? Apa yang menyebabkan hal ini bisa terjadi? Apakah memang kesalahan dalam pola kaderisasi yang dilakukan ataukah memang orientasi mahasiswa zaman sekarang sudah sangat jauh berbeda dari mahasiswa pada umumnya sehingga banyak mahasiswa yang memilih untuk focus terhadap hal-hal akademik dan menganggap kegiatan Organisasi adalah kegiatan yang tidak penting untuk Mahasiswa!

    Pasca gerakan reformasi 1997/1998 hingga saat ini terjadi neorosis masa yang cukup signifikan, aksi-aksi mahasiswa terkesan kehilangan comon enemy (musuh bersama). Solidaritas gerakan mahasiswa semakin mencair ke dalam ke-akuan masing-masing. Seperti kampusku, organisasiku, idiologiku, dan keaku-akuan yang lain sehingga memperlebar pendikotomian dari sebuah golongan.

    Ironisnya, gerakan mahasiwa yang mencair ke dalam internal kampus tidak menjadikan organisasi mahasiswa dapat tumbuh dan berkembang menjadi kekuatan social society. Ia juga tidak memiliki bargaining posisioning dalam mensikapi kebijakan-kebijakan biokrasi kampus terutama yang dianggap memberatkan kepada mahasiswa. Selain itu organisasi ini pun belum bisa mengakomodir aspirasi menjadi juru bicara bagi mahasiswa yang lain.

    Padahal menurut saya, kebhinekaan dalah sebeuah keniscayaan yang harus dirawat, dipertahankan, dan diperjuangkan hingga menjadi sebuah Ke-Ikaan. Kondisi semacam ini semakin diperparah lagi dengan tingkah pola segelintir mahasiswa yang meng-klaim dirinya sebagai “aktivis kampus” yang justru menjurus kepada pembenaran atas kecendrungan analisa negatif sebagai mahasiswa lain. Bahkan, sebagian di antaranya cendrung “arogan”, merasa paling intelek dengan tidak menghiraukan keberadaan lingkungan sekitarnya.

    “Aktivis Kampus” seperti ini kerap berbicara soal demokrasi, tapi di saat itu juga cendrung “Otoriter”, memaksakan kehendak dan tidak bisa menerima perbedaan dan pendapat yang lain. Membahas “revolusi”, tapi tidak diimbangi dengan revolusi akhlak dalam dirinya yang masih jauh dari nilai-nilai fitri.

    Berdebat tentang konsep ketuhanan namun tak nampak “sifat-sifat” Tuhan dalam dirinya, seperti sifat  Rahman dan Rahim. Maka kalau kondisi ini terus dibiarkan, maka tidaklah heran organisasi mahasiswa mengalami degradasi dan deteroiorasi dalam skala aksi maupun subtansi. Dan hal inilah yang pada akhirnya menyebabkan kaderisasi menurun drastis baik kualitas maupun kuantitas sehingga memunculkan sikap apatisme mahasisiwa terhadap organisasi.[]

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here