More

    Resistensi Masyarakat Bisa Jadi Dasar Hukum Penolakan Pembangunan Eks Palaguna

    IMAN HERDIANA

    Presiden Joko Widodo bersama sejumlah kepala negara dan delegasi bersiap meresmikan Monumen Solidaritas Asia Afrika. Foto : Agus Bebeng /AACC2015.id

    BANDUNG, KabarKampus – Penolakan terhadap rencana pembangunan eks Palaguna, Alun-alun Bandung, menjadi sarana komersil terus bergulir. Kasus ini mirip dengan penolakan terhadap rencana pembangunan hutan kota Babakan Siliwangi (Baksil).

    Pengamat hukum Asep Warlan Yusuf mengatakan, kasus penolakan terhadap pembangunan Baksil bisa menjadi contoh atau model dalam menghadapi rencana pembangunan eks Palaguna sebagai sarana komersil saat ini. Penolakan warga waktu itu berhasil membatalkan rencana pembangunan Baksil.

    - Advertisement -

    “Faktor hukum untuk menyelesaikan soal alun-alun seperti kata Kang Fiki (Fiki Satari, BCCF), bisa memakai model Baksil,” kata profesor hukum Universitas Parahyangan (Unpar) itu, dalam diskusi Jorowok Alun-Alun di BCCF – Simpul Space #3, Jalan Taman Cibeunying Selatan, Bandung, Jumat (03/02/2017) malam.

    Asep Warlan Yusuf turut memberi masukan kepada PT Esa Gemilang Indah (EGI) yang merupakan pemegang izin pengembangan Baksil. Waktu itu, PT EGI sudah mengantongi semua administrasi, namun satu hal yang belum dikantongi, yaitu tidak bisa mencegah perlawanan (resistensi) masyarakat.

    “Ternyata komponen penting dari pembangunan selain perizinan adalah resistensi masyarakat. Ini bisa menjadi model bahwa ternyata di Bandung ada pembangunan yang dibatalkan. Jadi kita punya praktek hukum yang bisa menyelesaikan masalah itu (pembangunan eks Plaguna),” ungkap dia.

    Untuk diketahui, penolakan pembangunan Baksil terjadi pada 2013. Waktu itu, Baksil sudah siap dibangun, sekeliling Baksil yang rimbun sudah ditutupi pagar seng yang oleh para seniman digambari mural.

    Sejumlah elemen masyarakat Bandung, tidak terkecuali calon walikota karena waktu itu Bandung sedang Pilkada, turun ke jalan menolak pembangunan Baksil. Bahkan sejumlah sesepuh Jawa Barat juga ikut demonstrasi, antara lain mantan Gubernur Jawa Barat Solihin GP atau Mang Ihin.

    Mang Ihin juga berorasi dan mengecam walikota masa itu (Dada Rosada) yang memberi izin pembangunan Baksil. Mang Ihin dan massa kemudian membongkar pagar seng Baksil, seng tersebut diarak ke Balai Kota, lalu dipajang di Gedung Yayasan Pusat Kebudayaan (YPK).

    Akhirnya, hingga kini Baksil bertahan sebagai hutan kota. Penolakan pembangunan Baksil makin menguat mengingat statusnya sebagai hutan kota dunia yang ditetapkan United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) pada 2011.

    Penetapan Baksil sebagai World City Forest tak lepas dari penyelenggaraan Konferensi Internasional Anak-anak dan Pemuda Tunza 2011 di Sasana Budaya Ganesha Bandung. Konferensi yang dihadiri delegasi dari 150 negara itu diwarnai dengan nanam pohon di Baksil.

    Nah, apakah kondisi eks Palaguna sama dengan Baksil? Yang jelas eks Palaguna bukan hutan kota. Namun menurut Asep Warlan Yusuf, Palaguna berada di kawasan cagar budaya, yaitu Alun-alun Bandung, Masjid Agung, Pendopo, Gedung Merdeka, Jalan Asia Afrika, dan lain-lain.

    Palaguna berdiri di “kawasan internasional”, yakni di Jalan Asia Afrika yang menjadi penanda Bandung sebagai ibu kota Asia Afrika. Kondisi ini bisa jadi dasar hukum bahwa Palaguna tidak bisa sembarangan dibangun menjadi mall atau sarana komersil lainnya.

    Aspek hukum lainnya adalah UU Cagar Budaya dan UU Penataan Ruang. Sehingga, kata Asep Warlan Yusuf, eks Palaguna, Alun-alun Bandung, memiliki banyak landasan hukum yang bisa jadi dasar penolakan pembangunan sarana komersil.

    Sebagai kawasan cagar budaya, pembangunan di eks Palaguna harus memenuhi banyak aspek, antara lain aspek kenyamanan. Aspek kenyamanan bukan berarti pembangunan fisik semata, tetapi meliputi kenyamanan bagi imajinasi, kreativitas, produktivitas sesuai dengan yang disyaratkan UU Cagar Budaya.

    Aji Bimarsono, Ketua Bandung Heritage, mengatakan “Jorowok Alun-Alun” bertujuan sebagai ruang sharing bagi masa depan eks Palaguna, Alun-alun Bandung, terkait cagar budaya. Pihaknya bukan menolak pembangunan, tetapi berusaha menyajikan langkah ideal bagi pembangunan di kawasan cagar budaya. []

    “Kaitannya dengan cagar budaya ada tiga langkah, yakni melindungi,
    mengembangkan, memanfaatkan. Jadi kita bukan hanya mencegah, tapi
    memikirkan pembangunan yang tepat seperti apa. Alun-alun adalah ruhnya
    Bandung, masa depannya jadi pemikiran kita semua,” kata Aji Bimarsono. []

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here