![](http://kabarkampus.com/wp-content/uploads/2017/06/19-06-2017-Forest-Watch.jpg)
JAKARTA, KabarKampus – Forest Watch Indonesia menggelar aksi damai di depan gedung Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Jakarta, Senin, (19/06/2017). Aksi ini menuntut Sofyan Djalil, Menteri ATR/BPN membuka dokumen Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan kelapa sawit.
Perjuangan Forest Watch Indonesia untuk meminta informasi HGU perkebunan kelapa sawit telah dilakukan hampir dua tahun. Hingga saat ini usaha tersebut menang di Mahkamah Agung, pada 27 Maret 2017 lalu. Namun hingga tiga bulan putusan MA, dokumen tersebut belum juga dibuka.
“Putusan Mahkamah Agung sudah final dan berkekuatan hukum tetap. Artinya Menteri ATR/BPN wajib membuka dokumen HGU yang dimaksud. Sayangnya sudah tiga bulan sejak Putusan MA, belum ada iktikad baik untuk membicarakan mekanisme pemberian dokumen tersebut,” kata Anggi Putra Prayoga, Korlap Aksi.
Ia menjelaskan, berdasarkan data BPN-RI (2010), 56 persen aset nasional dikuasai hanya oleh 0,2 persen penduduk Indonesia, dengan sebesar 62-87 persen dalam bentuk tanah. Sementara menurut Transformasi untuk Keadilan (2015), sebanyak 25 kelompok perusahaan kelapa sawit yang dimiliki para taipan menguasai 31 persen lahan atau 5,1 juta hektare dari total area penanaman kelapa sawit di Indonesia.
“Ini berarti masih terdapat ketimpangan dalam hal penguasaan lahan,” tambah Yoga.
Menurutnya, adanya ketimpangan agraria secara struktural menjadi faktor yang mendorong tingginya kesenjangan tingkat kesejahteraan, juga mengakibatkan konflik agraria bermunculan. Ditambah adanya permasalahan tumpang tindih perizinan lahan semakin memperbesar konflik agraria.
Sementara itu Linda Rosalina, menambahkan, selama ini pemerintah berusaha mengatasi konflik agraria melalui pembagian lahan dalam skema perhutanan sosial, hutan adat, maupun TORA. Namun semua usaha tersebut tidak akan berjalan apabila tidak ada transparansi informasi.
“Menteri ATR/BPN membuka informasi tidak hanya dokumen perkebunan kelapa sawit di Indonesia, tapi juga seluruh dokumen penguasaan lahan, dapat menjadi terobosan baru. Kami harap terobosan ini akan menyadarkan publik mengenai haknya terhadap informasi pengelolaan SDA, dan pada akhirnya juga dapat memperbaiki tata kelola SDA kita,” ungkapnya.
Selanjutnya Linda menegaskan, penguasaan lahan berikut isinya (SDA) diperuntukan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia. Oleh karena itu dengan adanya keterbukaan dokumen HGU akan mempermudah publik membantu pemerintah untuk mengindentifikasi lahan-lahan yang layak didistrbusikan kembali kepada kelompok- kelompok masyarakat yang membutuhkan lahan.
“Hal ini sangat sejalan dengan upaya pemerintah yang ingin menyukseskan program Reforma Agraria dan agenda percepatan pembangunan. Sebenarnya, tidak ada yang rugi dengan membuka dokumen HGU,” pungkas Linda.[]