More

    Trauma Korban Pelecehan Seksual yang Terjadi di Sudan

    ABCNEWS

    Joy Diko, salah satu pengungsi Sudan yang melarikan diri ke Uganda bercerita bahwa tentara yang datang menyerang kotanya masih sangat muda dan bahkan dapat dianggap sebagai anaknya.

    Foto ini diambil pada hari Sabtu, 3 Juni 2017, wanita pengungsi Sudan Selatan yang menderita kekerasan seksual atau kekerasan berbasis gender lainnya memainkan permainan papan di sebuah pusat wanita yang berfokus pada kekerasan semacam itu, yang dijalankan oleh komite penyelamat Internasional Rescue, di Bidi Bidi, Uganda. Berkumpul di bawah terpal yang dipanggang di bawah sinar matahari, beberapa dari ratusan korban kekerasan seksual yang memenuhi syarat bertemu secara teratur di pusat-pusat tersebut untuk saling membantu mengatasi trauma mereka. FOTO : BEN CURTIS/AP Photo

    Sayangnya, remaja berseragam tentara di Sudan Selatan ini tak punya sedikitpun belas kasihan ketika mereka menyulut pemberontakan, merampok rumah bahkan memperkosa perempuan dan anak gadis selama berhari-hari.

    - Advertisement -

    Diko, janda berumur 60 tahun ini lolos tanpa terluka, tapi kenangan ketika melihat para tentara muda menyeret anak perempuannya keluar dari rumah dan memperkosanya secara bergantian tak dapat terlupa.

    Diko saat ini berada di salah satu kamp penampungan Uganda bersama 270.000 pengungsi lainnya. Ratusan dari mereka seperti Diko, pernah mengalami kekerasan seksual baik yang hanya dilihat ataupun yang dirasakan langsung.

    Dimulai sejak tahun lalu, Komite penyelamatan internasional membuat grup-grup kecil tempat para perempuan ini belajar keterampilan dasar dan saling berbagi cerita.

    “Kami melihat banyak orang terbunuh dan tak jarang pemuda yang masih belia memaksa ibu-ibu seusiaku untuk bercinta dengannya,” kenang perempuan yang menyeberang Uganda pada bulan September tahun 2016 ini.

    “Kekerasan seksual di Sudan Selatan telah mencapai titik yang luar biasa,” ucap investigator PBB.

    Beberapa perempuan mengaku, grup-grup kecil ini membantu mereka mengatasi trauma kekerasan seksual, namun kenangan tersebut masih tetap terbayang jelas di ingatan mereka.

    Pada bulan Agustus, Perang saudara di Sudan Selatan mencapai kota Yei yang tenang. Setelah pecahnya perang di ibukota dan Juba, pihak pemerintah mulai mengejar Riek Machar pemimpin pemberontakan ke arah perbatasan.

    Ketika pemerintah memperjuangkan wilayah perbatasan, Yei menjadi pusat dari beberapa kekejaman yang terjadi sejak dimulainya konflik pada akhir tahun 2013 silam.

    Tembakan bergema di kota pada malam hari dan tentara berkeliaran di jalanan, mereka menjarah, merampok dan memperkosa. Sebuah laporan dari PBB di bulan Mei menyatakan ada 114 warga sipil Yei yang tewas dan begitu banyak perempuan yang yang diperkosa di depan keluarga mereka.

    Meskipun semua pihak dalam perang saudara ini telah dituduh melakukan pemerkosaan dan pembunuhan, namun seorang wanita yang berbicara pada salah satu media mengatakan rumah mereka digebrek oleh pasukan pro-pemerintah berwajah Dinka. Dinka adalah salah satu grup etnis yang diketuai oleh Presiden Salva Kiir.

    Pejabat Sudan Selatan bersikeras bahwa mereka menentang kekerasan seksual yang terjadi, sementara pejabat lainnya berkata menolak penyiksaan yang dilakukan oleh tentara pemerintah.

    Perang sipil juga kerap terjadi di antara kelompok etnis, antara Dinka dan etnis Nuer yang patuh pada kelompok Machar. Kelompok etnis lain yang lebih kecil juga sempat dilaporkan terlibat dalam baku tembak.

    Seorang ibu berusia 32 tahun ditahan oleh tentara Dinka setelah dipisahkan dari suaminya yang sampai saat ini masih dilaporkan lenyap. Ibu ini bercerita bahwa dia diperkosa selama berhari-hari sebelum akhirnya dibebaskan.

    Pada bulan September, setelah akhirnya dia melarikan diri ke Uganda, ibu lima anak mendapati bahwa dirinya terinfeksi secara positif dengan HIV AIDS.

    Para perempuan di kamp penampungan ini menyadari kecil kemungkinan mereka untuk bisa kembali ke Sudan Selatan, di mana pertempuran belum juga menunjukan tanda-tanda akan berakhir.

    Lilian Dawa, seorang pengungsi dari Yei yang mengelola salah satu pusat dukungan, menyatakan tempat dukungan ini tempat para korban kekerasan seksual bisa didengarkan tanpa resiko akan dikucilkan.

    Dawa berusia 25 tahun dan memiliki seorang bayi. Pada tahun 2014 silam, suaminya diikat ke pohon dan ditembak mati oleh pasukan dari pemerintah Sudan.

    Hampir setahun, dia hanya bersembunyi di rumahnya yang berada di Yei, sebegitu takutnya hingga tak berani untuk keluar dan bekerja di kebunnya yang bisa saja menjadi tempat persembunyian dari para pemerkosa.

    Sekarang dia berada di kamp yang penuh debu, dan berusaha mengucapkan kata-kata yang mengembirakan kepada para pengungsi lainnya.

    “Generasi muda yang dapat mengubah masa depan Sudan Selatan, “ katanya. “Saya percaya bahwa jika setiap orang Sudan Selatan mengirimkan anaknya ke selokah, maka kebencian tersebut akan habis.” []

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here