Rumah kumuh, penghasilan pas-pasan, istri selingkuh, aroma arak, terminal, PHK, dan surau yang sepi meski sesekali terdengar azan parau dari pria renta. Semuanya menjadi setting cerpen “Membunuh Alida” karangan Zaky Yamani.
Kemuraman terasa kental pada sosok Jamal—tokoh utama “Membunuh Alida”—yang sehari-hari hidup di bawah bayang-bayang istrinya yang lari dengan lelaki lain.
Jamal hidup kesepian, sulit tidur karena obrolan tetangga begitu berisik, azan parau pak tua yang tak enak di telinga, dan ia memikirkan masa depan adiknya yang lebih suram dari masa depannya sendiri.
Adiknya tukang minum arak murahan di terminal. Jamal masih mending bisa punya istri penyanyi dangdut dengan tubuh sempurna (meski lari dengan lelaki lain!). Tapi Farid, adiknya, tidak mungkin dinikahkan. Perempuan mana yang mau menikah dengan preman terminal yang kerjanya minum arak dan malak?
Suatu hari, azan dengan suara parau itu menggugah Jamal. Suara yang tak nyaman di telinga itu mendorongnya pergi ke surau. Ia salat berdua saja dengan Si Pak Tua. Selesai salat, mereka berdoa—masing-masing. Si Pak Tua khusyuk, Jamal gelisah.
Tak ada dialog di antara dua pria beda generasi yang kesepian itu, kecuali suara-suara batin Jamal. Tanpa pamit, ia lalu meninggalkan si pak tua dan memilih bergabung dengan tetangganya yang mulai nongkrong sambil merokok dan bergosip di sekitar masjid. Suara mereka berisik. Mereka kebanyakan pengangguran, ada yang kena PHK.
Tokoh Jamal ciptaan Zaky Yamani seakan memotret realitas masyarakat bawah yang sehari-hari bergelut dengan kesusahan. Zaky bahkan memasuki persoalan-persoalan pribadi mereka, di antara “langit-langit yang dihiasi untaian debu, dan sarang laba-laba”, hingga adegan memalukan di balik pintu kamar mandi yang tingginya cuma “setengah badan”.
Dalam situasi itu Jamal menghadapi realitas yang tak masuk akal dan liar. Dia sehari-hari tukang ojek, berusaha membuhuh istrinya dengan caranya sendiri, namun selalu gagal karena terhalang rasa cinta yang terlalu besar. Ia sakit hati dan marah atas pengkhianatan istrinya, tapi ia tak berani menceraikannya.
Jamal, si pria lembut sekaligus tak berdaya, nasibnya dicemooh orang, terutama oleh teman sesama tukang ojek di pangkalan. Meski bisa marah dan bahasanya kasar, Jamal juga pemaaf atau mungkin pasrah.
Cerpen “Membunuh Alida” menceritakan tokoh yang biasa, orang-orang kecil tak berdaya dan terpinggirkan, atau sebagaimana disebutkan dalam sinopsisnya bahwa “Tokoh-tokohnya hidup dalam dunia perbatasan”.
Akan tetapi di dunia nyata “tokoh yang biasa” itu justru jumlahnya banyak, saking banyaknya mereka jarang terpikirkan, bahkan mungkin tidak perlu dipikirkan karena mereka cuma orang-orang kecil yang hanya laku lima tahun sekali kala pemilu atau pilkada.
Padahal tokoh Jamal dalam “Membunuh Alida” maupun Jamal-jamal lainnya di kehidupan nyata, bisa jadi hidup di beranda rumah kita. Mereka ada yang lahir sebagai orang kecil, menjadi kecil karena kerasnya persaingan hidup, atau sengaja dikecilkan sehingga suaranya tak terdengar, keberadaannya dilupakan.
Maka lewat “Membunuh Alida” mereka disuarakan.
“Membunuh Alida” bagian dari himpunan 10 cerpen “Kepada Assad Aku Menitip Diri” yang diterbitkan SvaTantra (Juni 2017). Selain tokoh Jamal, masih 9 cerita lagi yang ada dalam kumpulan cerpen setebal 289 itu yang menarik untuk dibaca. Selamat membaca! []
So sad:'(
Baik perempuan maupun laki laki sama sama punya sisi feminis juga maskulin. Hanya saja kadarnya berbeda. Salah satu lebih dominan.