BANDUNG, KabarKampus – Jaringan Massa Rakyat Pejuang Agraria (JMRPA) menilai pemerintah Jawa Barat tidak punya itikad baik untuk menyelesaikan konflik agraria di Jawa-Barat. Hal ini terlihat dari makin maraknya penggusuran, kriminalisasi aktivis, dan pemberangusan organisasi rakyat di Jawa Barat.
Bagi JMRPA, konflik tersebut terjadi karena pemerintah berpihak kepada pemodal. Sehingga rakyat yang menjadi korban.
Dari data yang dihimpun oleh JMRPA ada sebanyak 10 konflik agraria yang terjadi. Berikut adalah konflik agraria yang terjadi di Jabar :
Kasus Pabrik Semen SCG Sukabumi
Pada proses pembangunan pabrik semen ini ditemukan ketidaksesuaian mengenai peruntukan pembangunan. Awalnya site plan yang dibangun adalah untuk perkantoran PT Semen Jawa, akan tetapi pada prakteknya secara ajaib menjadi pembangunan megaproyek pabrik.
Lokasi megaproyek pabrik dinilai tidak layak dan salah tempat berdasarkan Kepmen LH No. 5 Tahun 2012 tentang jenis usaha dan kegiatan yang wajib dilengkapi Amdal. Jarak yang diisyaraktan yaitu 2- 3 Km terhadap pemukiman warga, namun lokasi yang terdekat dengan warga justru hanya 5 Meter.
Kasus Dagos Elos
Warga Dago Elos yang berpada di sekitar terminal Dago, Kota Bandung terancam terusir dari tempat tinggalnya. Karena sebanyak 341 Kepala Keluarga digugat oleh tiga orang yang mengaku sebagai pemilik lahan atas dasar hak barat yang diberikan oleh kerajaan Belanda.
Para penggugat yang mengaku keluarga Muller melalui PT. Dago Inti Graha telah memenangkan gugatannya tersebut dan surat eksekusi telah keluar. Namun hingga kini warga Dago Elos masih melawan. Warga menganggap putusan tersebut bertentangan dengan UUPA dan seharusnya hak-hak barat tersebut berubah menjadi milik negara pasca kemerdekaan.
Penggusuran Kebon Jeruk
Pada tanggal 26 Juli 2016 PT KAI melalui aparat dan TNI membongkar paksa kios dan bangunan di jalan Stasiun Barat, Kota Bandung. Dalam pembongkaran paksa tersebut sebanyak 47 bangunan yang ditinggali 70 Kepala Keluarga roboh.
Namun setelah warga Kebon Jeruk melakukan gugatan, Pengadilan Negeri Bandung memenangkan gugatan warga. Atas putusan tersebut PT KAI Daop 2 diwajibkan membayar ganti rugi sebesar 375 juta. Meski demikian, warga merasa masih mengalami intimidasi agar mereka pindah dari lokasi tersebut.
Kriminalisasi Aktivis Serikat Petani Indonesia Sukabumi
Sebanyak 10 orang dijadikan tersangka dalam kasus pembakaran PT SNN. Pembakaran ini terjadi, dipicu oleh intimidaasi yang dilakukan PT SNN terhadap warga untuk menyerahkan tanahnya. Ditambah dengan isu penculikan salah satu tokoh yang dilakukan oknum perusahaan.
Sebelumnya, PT SNN telah mendatangi lahan warga dengan alat berat untuk pembuatan jalan. Namun warga melakukan penolakan, karena warga merasa pembuatan jalan tersebut akan mengahancurkan tanaman warga yang merupakan satu-satunya sumber hidup mereka.
Kriminalisasi Aktivis AGRA Pengelengan
AGRA pengalengan melakukan aksi menolak kriminalisasi yang dilakukan Polsek pengalengan kepada Pimpinan AGRA. Kriminalisasi ini adalah buntut dari skema pecah belah rakyat yang dilakukan oleh Pemerintah Desa Margamekar. Pemerintah desa telah membuat POKJA untuk menandingi gerakan kaum tani AGRA.
AGRA menganggap POKJA ini merugikan kaum tani, karena melakukan pungutan liar dengan dalih sertifikasi tanah. Total pungutan liar tersebut mencapai 800 juta. Pungutan tersebut diambil dari 200 petani dalam satu kampung. Selain itu juga pemerintah desa juga menimbulkan keresahan, karena telah mematok lahan garapan warga.
Kasus PLTU Indramayu
Pembangunan PLTU I Sumuradem Indramayu telah memperburuk kualitas hidup masyarakat sekitar. Alam, udara, laut dan tanah pertanian yang selama ini menyediakan kebutuhan hidup telah tercemar karena keberadaan PLTU tersebut. Akibatnya tidak hanya merusakan lingkungan, namun juga perekonomian mayarakat dan meluluhlantahkan sistem sosial dan budaya lokal.
Apa yang dialami warga sekitar PLTU ini, karena masyarakat tidak diajak terlibat dalam penyusunan Amdal. Selain itu, disebabkan oleh pembebasan paksa lahan-lahan produktif milik warga, manipulasi lahan fiktif, dan mark up harga tanah dan sebagainya.
Kasus Bendungan Jati Gede
Bendungan Jati Gede merupakan proyek bendungan berskala besar di Jawa Barat. Dalam pembangunannya bendungan Jati Gede memberikan dampak pada rakyat berupa hilangnya sawah produktif 2000 hekter, hutan 1.300 hektar, dan 11.000 rumah, serta 40.000 jiwa harus mengungsi dan kehilangan mata pencaharian.
Selain itu dalam pembangunan bendungan ini juga masih ada sekitar 12.000 warga yang komplain terkait salah ukur, salah orang, dan sebagainya. Kemudian dampak pembangunannya, ada sekitar 1.773 anak sekolah terancam putus sekolah.
Kasus Kereta Cepat
Pemerintah Jokowi JK berencana melanjutkan pembangunan kereta cepat Jakarta Bandung. Pembangunan kereta cepat yang menghabiskan dana 78 trilyun ini rencananya melewati kota Bekasi, Kabupaten Bekasi, Kabupaten Karawang, Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Bandung Barat, Kota Cumahi, Kota Bandung dan berkahir di Kabupaten Bandung (Tegal Luar).
Pembangunan kereta cepat ini tidak hanya dinilai tidak penting, namun juga mengancam kaum tani di Karawang yang terkenal sebagai lumbung padi nasional.
Kasus Bandara Internasional Jawa Barat
Pembangunan Bandara Itenasioanl Jawa Barat yang berada di Majalengka, tidak hanya menyisakan persoalan ganti rugi, namun juga persoalan matapencarian rakyat yang hilang. Hal itu karena garapan produktifnya dirampas.
Selain itu dalam proses pengukuran tanah berujung ricuh dengan warga. Kericuhan ini membuat sebanyak enam petani ditangkap dan tiga lainnya dikriminalisai atas delik perlawanan terhadap petugas. Padahal masyarakat hanya ingin mempertahankan hak atas tanah. Selain itu mereka juga merasa tidak dilibatkan dalam pengukuran tersebut.[]