Penulis : Krisnaldo Triguswinri
Cinta acap kali selalu dikait-kaitkan dengan persoalan status sosial. Bahkan parahnya lagi, belum pernah saya menjumpai karakteristik khusus yang mampu menjelaskan kemapanan status sosial seperti apa yang harus dimiliki manusia untuk bercinta. Hanya menggunakan peran perasaan pun saya fikir tidak cukup. Bahwa untuk nyaman terkadang harus berbayar. Kalau toh pada akhirnya kemapanan status sosial itu di arahkan kepada sesuatu yang bersifat kapital, saya pribadi sebagai seorang mahasiswa, secara telanjang hanya memiliki organ tubuh dan pemikiran.
Mungkin sama seperti teman-teman lainnya, yang masih bertumpuh pada perekonomian orang tua. Baik yang kelas menengah, kelas atas maupun kelas bawah. Namun sepertinya kelas menengah dan kelas atas memiliki kecenderungan lebih bermanja pada keterikatan ekonomi orang tua, ketimbang kelas bawah tentunya, jelas saya diantaranya. masih mengulurkan tangan panjang-panjang demi terpenuhinya kebutuhan primer maupun skunder sebagai seorang mahasiswa.
Dan sayangnya, golongan kelas bawah yang biasanya tidak terlalu bergantung pada perekonomian orang tua, selalu saja dipandang sebelah mata, dengan beragam alasan yang matrealistis. Alih-alih golongan ini di anggap tidak akan mampu memuaskan birahi konsumtif para perempuan kelas menengah ngehe yang doyan keluyuran dan mejeng.
Sialnya, masih menyandang status sebagai mahasiswa yang berpacaran, membuat saya justru terkadang kewalahan untuk menyenangkan euforia percintaan saya dan sang kekasih. Harus makan di tempat elit borjuasi, ke mall, bioskop dan shoping berjam-jam, meghabiskan uang kiriman dari orang tua yang secara harfiah seharunya dipergunakan untuk hidup selama satu Minggu. Saya tidak mengerti, sejak kapan budaya berpacaran kita terkontaminasi kehedonisan yang di sponsori oleh kapitalisme.
Saya kemudian curiga, apa betul klaim ‘maha’ sebelum ‘siswa’ memiliki artikulasi elitis ‘high level’ dalam menciptakan startifikasi kelas sosial yang konsumtif. Sehingga lahirlah sebuah kredo yang sangat barbar: ‘’kalo kamu ndak pakai ninja atau mobil, aku ndak cinta’’ atau ‘’kalo ndak ke KFC, mending ndak jadi pergi’’ atau ‘’kalo ndak konsumtif, aku ndak mau jadi pacar kamu’’.
Sebelumnya maafkan saya. tentunya saya tidak sedang mencoba seksis. Saya tidak mempunyai keinginan mendiskreditkan atau memukul rata bahwa semua perempuan berpola demikian. Saya tentunya masih memiliki sebuah keyakinan kecil bahwa di luar sana masih ada perempuan-perempuan yang bertolak belakang dari logika ‘miskin’ saya. Namun, secara empiris saya kerap kali bersentuhan langsung dengan persoalan-persoalan membingungkan seperti ini, dan banyak diantara teman-teman yang mengamini karena alasan yang sama. Bahkan dengan serius saya mencoba melakukan pengamatan kritis atas pop-culture percintaan mahasiswa kelas menengah yang oportunistik. Mencari pasangan yang berkarakter (mandiri, cerdas dan tidak konsumtif serta cantik luar dan dalam), akan lebih sulit ketimbang mencari pasangan yang memiliki tingkat nafsu terpuaskanya birahi keperempuan mereka yang hedon.
Banyak diantara para perempuan yang memberhalakan budaya populer besutan westernisasi yang masuk secara ugal-ugalan mempengaruhi tingkat kebudayaan primodial mereka. Sehingga mereka (perempuan) yang sama sekali tak mengenal kejahatan kapitalisme atas nilai-guna dan nilai-lebih yang menindas, akan selalu berpersepsi bahwa dalam tradisi masyarakat kita yang konservatif, lelaki adalah subjek pemenuhan kebutuhan, sehingga mereka mewajarkan legitimasi matrealisme yang sarat akan nilai-nilai patriarkis. Lantas, bagaimana mungkin perempuan dapat bebas. Bagaimana mungkin perempuan dan laki-laki bisa mencipta iklim emansipasi seks non-hirarkis, menghilangkan dominasi laki-laki terhadap perempuan, menghilangkan kekerasan verbal maupun non-verbal yang kerap menerpa kaum perempuan. Kalau ternyata hari ini perempuan-perempuan kelas menengah belum memiliki kehendak bebas atas dirinya sendiri.
Dari fenomena di atas, saya mengambil sebuah koersi sederhana, antara cinta yang berkorelasi dengan permasalahan status sosial. Status sosial menjadi sebuah masalah klise yang berhasil menciptakan keterasingan perasaan jiwa manusia. Modernitas berhasil membawa perubahan signifikan dan dengan jelas membentuk krisis percintaan yang seharusnya bisa otonom. Hampir kebanyakan perempuan akan jauh lebih dulu memilih kemapanan seorang laki-laki sebelum memiliki cintanya. Bahwa kemapanan tidak selalu harus diukur dari segi keprofesian saja. Namun, dapat pula diukur melalui penampilan, lingkaran pertemanan, kendaraan, tempat bermain dan lainnya. Bohong jika perempuan kelas menengah akan mengedepankan perasaan intuitif dalam memilih pasangan. Tentunya mereka akan senantiasa menggunakan rasionalitas dalam menjalin hubungan percintaan. Bahwa benar jika mereka terkadang mengedepankan latar belakang perekonomian keluarga, atau satatus sosial seseorang.
Seorang perempuan kelas menengah pemburu kapital akan memilih berdampingan dengan seorang lulusan Akademi MIliter ketimbang mahasiswa lulusan perguruan tinggi. Sebab dengan gamblang, mereka akan melihat jauh ke depan terkait harkat martabat hidupnya kelak. Tidak mungkin mereka ingin berjudi dengan masa depan hanya karena memilih seorang mahasiswa yang belum memiliki kejelasan penghidupan. Belum lagi, dorongan keluarga yang sama matrealistisnya.
Seperti apapun juga, proteksi dan campur tangan orang tua akan dominan dalam menentukan atau setidaknya ikut aktif menyeleksi siapa yang pantas dan tidak pantas untuk menjadi pendamping anaknya, bisa saja hanya berdasarkan like and dislike.
Dalam terminologi masyarakat tradisional, hubungan percintaan yang berangkat dari perjodohan pernah kentara dengan jelas. Bahkan, dalam masyarakat modern hari ini. terkadang masih saja ada orang tua yang menjadi patron penentu pasangan anaknya, Mungkin tidak berupa perjodohan. Namun, orang tua akan menjadi faktor pendukung yang turut mengarahkan dan mempengaruhi anaknya untuk menentukan siapa yang pantas dan tidak pantas menjadi pendamping sang anak. Keluarga mengambil otoritas atas kehendak bebas anak dalam menentukan hubungan percintaan. Tidak jarang pula orang tua perempuan kelas menengah bersifat rasial.
Sebelum anaknya jauh melangkah masuk ke dalam hubungan yang lebih serius, orang tua akan mengintrogasi sang anak untuk mendapatkan informasi tentang anak laki-laki yang sedang berkencan cinta denganya. Orang tua yang matrealistis pasti akan menanyakan hal-hal terkait bobot-bibit-bebet sang lelaki. Setelahnya, mereka akan menanyakan latar belakang keluarga, ras, suku, agama, bahkan dari mana laki-laki itu berasal. Jika tidak sesuai, anaknya akan diminta sesegera mungkin mengakhiri hubungan percintaan bersama sang kekasih. Jika anaknya menolak, orang tua akan menggunakan otoritas penuh kekerasan untuk mengintimidasi sang anak. Jika tetap berlajut, resikonya adalah percintaan itu tidak akan mendapatkan restu. Atau parahnya lagi, bisa saja sang lelaki ikut mendapatkan intimidasi dari orang tua perempuan. Atau bahkan ancaman pembunuhan. Tentu ini nyata. Astaga, apakah fenomena semacam ini merupakan pengaruh yang ditimbulkan atas ekonomi-sosial kapitalisme?
Ketika kemapanan itu parameternya adalah kendaraan (motor atau mobil) apa yang anda pakai saat berangkat kuliah. Sehingga dapat menawarkan harga jual berupa status sosial di wilayah sosial kemahasiswaan. Jika benar tolak ukurnya adalah kendaraan, maka saya menjustifikasi ekspansi kapitalisme benar adanya dalam posisi berjuang dan diperjuangkanya seseorang secara kapital untuk menjalin hubungan (PDKT) pra-pacaran. Kapitalisme berhasil menawarkan status sosial dalam lingkup domestik manusia non-pekerja untuk mendapatkan apa yang ingin ia dapatkan. Astaga, begitu kejamnya kapitalisme ini.
Menurut saya. kendaraan tidak dapat di asosiasikan dengan persoalan percintaan. Atau dalam hal ini menjadi parameter suka atau tidak suka yang dapat memperngaruhi ketertarikan seseorang kepada seseorang. Mungkin akan lebih relevan jika itu di asosiasikan dengan sifat dasar egoisme manusia yang di penuhi rasa gengsi. Jika kehendak cinta manusia membentuk sebuah kesadaran yang penuh dengan kegengsian, itu saja sudah cukup membuktikan bahwa kemurnian cinta tidak lagi tulus dan jujur. Walaupun kontradiksi antara cinta dan kegengsian ini merupakan hal yang wajar dalam masyarakat kapitalisme. Bahwa kompetisi merupakan sesuatu yang menentukan status sosial seseorang. Sehingga tampak jelas dalam melahirkan kesenjangan antara si miskin dan si kaya. Dan secara transparan lebih mudah ditarik masuk ke dalam wilayah yang lebih selektif dalam hal menentukan pasangan yang ideal. Sudah tampan, fashionable, kendaraanya mahal pula.
Padahal, jika ingin mengambil langkah yang lebih rasional. Hakikat kendaraan hanya berfungsi sebagai alat pengangkut manusia atau barang saja, sehingga segala urusan dan kepentinganya akan lebih efisien dan efektif terselesaikan. Lantas, apa yang menyebabkan kendaraan berhasil menciptakan fragmentasi status sosial yang dapat di katagorikan mapan atau tidak mapanya seseorang dalam masyarakat yang kapitalistik ini.
Pernah kalian membayangkan jika di dunia ini, tranportasi darat pribadi, bukan umum, hanya menjual satu jenis kendaraan saja dalam warung penjualan kendaraan. Tanpa adanya jenis kendaran lain dengan varian harga jual yang berbeda. Atau setidaknya menjual beberapa varian kendaraan yang berbeda, tapi dengan harga yang sama. Misalnya begini, jika warung penjual kendaraan kota A hanya menjual dan menyediakan satu jenis kendaraan saja. Saya fikir, seantero Kota A, mobilitas masyarakatnya akan terseragamkan dengan kendaraan yang sama. Sehingga tidak menghadirkan perbedaan mencolok antara si kaya dan si miskin.
Jadi, walaupun saya adalah anak seorang petani dan Anda adalah anak seorang pejabat politik, motor saya dan Anda adalah sama, sebut saja Mio. Sehingga kita akan tampak setara tanpa adanya pembedaan yang menonjol dalam hal kepemilikan kendaraan. Tapi jika kota A menjual varian kendaraan dengan harga yang berbeda, ketika Mio adalah motor termurah dan Ninja adalah motor termahal, saya sebagai anak seorang petani hanya akan mampu membeli motor Mio, dan anda sebagai seorang anak pejabat politik tentunya akan membeli motor Ninja yang mahal. Dan itu akan melahirkan klasifikasi kelas sosial secara vertikal, karena motor yang Anda pakai tentunya lebih mahal dari motor yang saya pakai. Kemudian status sosial Anda akan lebih terlihat dalam masyarkat, hanya karena motor yang anda pakai lebih mahal. Sebaliknya, itu berlaku pula untuk kendaraan roda empat, misalnya. Nah, itu adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari akumulasi nilai lebih.
Perempuan-perempuan kelas menengah hedon nan dungu akan selalu mengedepankan penilaian atas seseorang berdasarkan apa yang terlihat, misalnya, fashion, transportasi, personality bulding, tempat makan, lingkaran pergaulan dan kebutuhan dasar lainya. Kapitalisme lagi-lagi bermuslihat pada persoalan ini, kemudian mengekspansi masuk ke dalam wilayah percintaan umat manusia. Pun, perempuan kelas menengah tidak mempedulikan bagaimana perasaan para kaum laki-laki yang mempunyai kecendrungan tidak mapan. Atau mungkin, menolak mapan.
*penulis adalah Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Serta Penikmat Kajian Sub-Culture dan Musik Punk
untuk beberapa waktu saya kurang tertarik dengan tulisan-tulisan seperti ini (mahasiswa informatika jarang melakukannya), namun setelah mulai tertarik dengan perkembangan sosiopolitik era milenial, saya pikir ini merupakan salah satu tulisan terbaik yang saya dapati