BANDUNG, KabarKampus – Sejumlah sastrawan, seniman, pemerhati sastra, aktivis sastra, dan aktivis budaya bakal berkumpul untuk membahas proyek puisi esai Denny Januar Ali atau Denny JA. Kegiatan tersebut rencananya bakal digelar dalam sebuah diskusi nasional bertajuk “Membongkar Proyek Puisi Esai” di Gedung Indonesia Menggugat, Bandung, Selasa, (13/03/2018).
Sejumlah sastrawan yang bakal hadir adalah Ahda Imran, Hikmat Gumelar, Yana Risdiana, Ari J. Adipurwawidjana, Heru Hikayat, dan Matdon. Diskus ini digelar, karena mereka merasa, perlu menolak upaya Denny JA melakukan “politik uang” pada dunia sastra.
Penolakan dilakukan, setelah Denny JA mengumumkan dirinya sebagai tokoh sastra. Kemudian disusul dengan klaim dirinya pencetus lahirnya genre puisi baru yaitu “Puisi Esai”.
Klaim tersebut, menurut para sastrawan, setelah Denny JA menerbitkan 40 buku dan segera menjadi lebih 70 buku puisi esai bersama 250 penulis puisi esai. Namun bagi mereka, kelahiran genre ini bukan tercipta secara alamiah tetapi dengan rekayasa Denny JA sebagai kapitalis yang mengunakan uang untuk membiayai semua ambisinya.
Ahda Imran dalam tulisannya mengatakan, Denny JA telah mengijon penulis puisi esai yang kebanyakan bukan penyair, tapi mendadak menjadi penyair. Baginya, penyusunan buku itu adalah infiltrasi modal ke dalam sejarah sastra Indonesia.
Menurut Ahda, memang radikalisme modal, terutama di dunia seni, sangat sulit dideteksi. Tak ada undang-undang dan konstitusi yang dilanggarnya. Termasuk radikalisme modal, yang bekerja lewat sistem ijon itu. Sehingga klaim tersebut diamini dan diimani oleh para “karyawannya”.
Sementara itu, Hikmat Gumelar mencoba membandingkan puisi esai Denny JA dengan puisi WS. Rendra. Ia melihat keanehan pada puisi Denny JA. Menurutnya, bagaimana bisa puisi sebagai kejadian nyata bisa ditegaskan dengan catatan kaki.
Bagi Hikmat, puisi itu akan selesai sebagai teks indah tanpa harus ada catatan kaki. Bahasa dan sastra menjadi kesantunan tertinggi manusia dan itu dilakukan tidak dengan uang ketika disebut sebagai tokoh, tapi dengan karya.
Selain itu, Denny JA juga ia anggap telah mengingkari keringat para sastrawan yang berjuang dengan kata untuk membebaskan bangsa Indonesia dari penjajahan. Kemudian Denny JA juga dianggap tak mau ambil pusing dengan Rendra, Wiji Tulul, dan atau yang lainnya, yang dengan susah payah melakoni kesetiaan serta berjuang demi sastra, tidak membelinya dengan uang.[]