More

    Bias Overconfidence Martin Suryajaya, Perihal “Menerjemahkan” Puisi ke dalam Kalkulus Predikat

    Pada sejarah filsafat logika modern, kalkulus predikat sebenarnya adalah penerusan dari pemikiran “Wittgenstein I” yang masih bersandar pada prinsip “teori gambar” di dalam buku The Tractatus Logico-Philosophicus. Sedangkan puisi dalam konteks karya sastra lebih tepat bila didekati dengan logika “teori permainan-bahasa”—seperti dijelaskan di dalam buku Philosophical Investigations karya Ludwig Wittgenstein—atau yang lebih dikenal sebagai pemikiran “Wittgenstein II”.

    Sementara itu, istilah orde pada kalkulus predikat, logika intuisionalistik, atau logika modalitas (modal logic) hanyalah istilah untuk membedakan penggunaan simbol-simbol logika secara lebih efektif, tetapi pembuktian kebenarannya tetap bersandar pada prinsip koherensi tautologis dan silogisme logika klasik. Demikian juga dengan teori himpunan atau aljabar Boole. Dengan kata lain orde dalam istilah logika matematika adalah semacam cara untuk semakin membuat efektif simbolitas bahasa logika. Namun, fungsi logikanya tetap sama, yaitu untuk membuktikan benar atau salahnya satu proposisi berdasarkan prinsip koherensi dengan mengujikannya pada tabel kebenaran atau hukum-hukum logika. Hal itu, sekali lagi, berbeda dengan bahasa sehari-hari atau bahasa sastra yang berfungsi untuk menyampaikan makna tertentu dengan aturan-aturan linguistik dan estetika tertentu.

    Di sisi lain, penerjemahan satu karya seni adalah semacam upaya untuk menginterpretasikan ulang makna dari satu teks sastra atau cabang seni tertentu ke dalam bahasa lainnya (natural, sastra, atau logika). Jadi, upaya menerjemahkan karya seni itu, lebih tepat disebut sebagai re-kreasi, ketimbang re-produksi. Misalnya, upaya untuk menerjemahkan puisi dari bahasa Spanyol ke dalam bahasa Indonesia, hanya akan mampu mendekati makna semantik dari teks aslinya dan tidak bisa persis sama, sebab dalam sintaksis puitik ada faktor lainnya yang tidak bisa diterjemahkan yaitu soal gita-puitik (metrum misalnya). Metrum dalam setiap bahasa itu berbeda, misalnya metrum dalam bahasa Cina atau Arab tak bisa diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia atau Inggris. Panjang-pendek pelafalan satu kata—yang merupakan satu jenis metrum dalam bahasa Cina atau Arab—bisa mengubah makna kata, tetapi tidak dalam bahasa Inggris atau Indonesia.

    - Advertisement -

    Saya menduga hal itulah mungkin yang membuat Ludwig Wittgenstein mengubah dasar logikanya dari teori gambar menjadi teori permainan bahasa. Setiap bahasa, baik natural atau sastra atau bahkan logika itu sendiri, memiliki aturan permainannya sendiri-sendiri. Hingga saat ini tak ada satu aturan tunggal, seperti yang dicita-citakan oleh Bertrand Russell atau Wittgenstein I perihal logika matematika, yang dianggap mampu menyatukan semua aturan permainan dalam bahasa. Pemikiran Wittgenstein II begini sejalan dan mungkin juga disebabkan oleh “teori ketaklengkapan” dari Kurt Godel—yang dianggap sebagai satu pemikiran paling brilian dalam sains pada abad ke-20, di samping teori umum relativitas dari Albert Einstein dan teori ketidakpastian dalam fisika kuantum dari Werner Heisenberg. Upaya untuk mencari satu teori tunggal, teori segalanya, adalah tidak mungkin—seperti yang dibuktikan oleh Kurt Godel dalam teori ketaklengkapan—sebab sebuah teori selalu mengandalkan teori lain di luar teori itu, yang dianggap lebih luas (metateori) untuk mampu menjelaskan teori dimaksud agar menjadi bermakna, demikian seterusnya hingga tak terhingga metateori.

    Teori ketaklengkapan Kurt Godel itu bisa diterangkan menggunakan analogi perihal makna dari satu kata di dalam kamus bahasa. Satu kata hanya bisa dijelaskan maknanya oleh kata-kata lainnya di dalam kamus, yang bukan makna kata dari kata yang hendak dijelaskan maknanya tersebut. Satu kata di dalam kamus tak bisa menjelaskan maknanya sendiri, tetapi mesti mengambil sistem pemaknaan kata-kata lainnya agar bisa menjelaskan sistem pemaknaannya sendiri.

    Pemahaman yang mendalam akan teori ketaklengkapan Kurt Godel ini juga telah mengubah arah penelitian kosmologi Stephen Hawking tentang pencarian “teori segalanya”. Awalnya ia begitu bersemangat untuk mencari satu teori tunggal yang bisa menjelaskan sebab dari semua teori fisika, bahkan termasuk teori di luar fisika, dengan memadukan teori relativitas umum dan teori fisika kuantum. Ia berkata, mungkin dengan maksud bercanda, bahwa bila ia bisa membuktikan teori segalanya itu memang ada, maka itu berarti ia dapat membaca pikiran Tuhan. Namun, pada awal abad ke-21, Hawking mengubah pondasi pemikirannya dari mencari satu teori segalanya menjadi “m-theory” (multiverse theory atau “teori semesta paralel”)—satu hipotesis kosmologi yang diakui oleh Stephen Hawking sendiri bertolak dari teori ketaklengkapan Kurt Godel.

    Intinya, menerjemahkan sintaksis puitik atau sintaksis sehari-hari menjadi proposisi logis kalkulus predikat tidaklah bisa dilepaskan dari teori semantik dalam linguistik. Kesulitannya adalah terkait persoalan bagaimana menerjemahkan sintaksis puitik atau sintaksis sehari-hari menjadi sintaksis deklaratif atau proposisi yang bisa dibuktikan benar atau salahnya. Tujuan dari penggunaan simbol-simbol logika, termasuk operator kuantor, adalah untuk menghindari bias makna, sehingga sebuah proposisi bisa dibuktikan benar atau salahnya. Namun, sintaksis puitik atau sintaksis bahasa sehari-hari kadang banyak mengandung bias makna, sehingga upaya interpretasi satu kalimat bisa menghasilkan dua atau lebih pernyataan deklaratif dengan formulasi kalkulus predikat yang tidak sama. Oleh karenanya, upaya menerjemahkan itu bukan sekadar memindahkan sintaksis puitik atau sintaksis sehari-hari ke dalam bahasa simbolis, melainkan terlebih dahulu mesti melewati upaya interpretasi linguistik yang ketat, barulah setelah itu dapat diubah ke dalam proposisi kalkulus predikat, logika intuisionalistik, atau logika modalitas. Kenapa mesti melewati tahapan seperti itu? Jawabnya: karena bahasa kalkulus predikat dan logika simbolis lainnya adalah formulasi berpikir, semacam “rumus” berpikir, di mana semua variabel akan menghasilkan nilai benar atau salah ketika dioperasikan ke dalam formulasi tersebut dan hasilnya akan dijadikan input dalam formulasi berpikir berikutnya.

    Bersambung ke halaman selanjutnya –>

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here