Pengguna utama dari bahasa kalkulus predikat saat ini adalah teknologi “artificial intelligence” (kecerdasan buatan). Masalah terbesar dari teknologi kecerdasan buatan saat ini bukanlah terkait persoalan kalkulus predikat, tetapi terkait pemrosesan interpretasi semantik dari “bahasa sehari-hari” (apatah lagi sintaksis puitik) menjadi formulasi kalkulus predikat. Sampai saat ini belum ada satu pun formulasi tunggal yang bisa menginterpretasikan makna dari satu sintaksis sehari-hari secara akurat untuk kemudian diubah ke dalam formulasi kalkulus predikat. Jadi, jangan bayangkan bahwa ilmu linguistik terkini hanya soal gramatika saja. Ilmu linguistik terkini adalah ilmu yang sangat “matematis dan logis”—satu ilmu yang paling menantang dalam kemajuan teknologi kecerdasan buatan saat ini.
Ideal inovasi para pakar kecerdasan buatan pada abad ke-21 adalah bagaimana bisa membuat komputer yang mampu berpikir sendiri layaknya manusia. Dan hal itu berarti dalam masa datang komputer akan memiliki kemampuan mencipta satu teori sains atau bahkan sebuah puisi modern. Jadi, bila hanya soal menerjemahkan satu sintaksis puitik atau sintaksis bahasa sehari-hari ke dalam kode-kode universal, maka cukup menggunakan “bahasa mesin” saja, dan hal itu sudah diterapkan pada ilmu komputer abad ke-20. Bahasa mesin pada program komputer adalah bahasa numerik yang hanya menggunakan dua kode angka saja—binary digits atau disingkat “bits”—yaitu 0 dan 1.
Begini saya beri contoh terjemahan larik puisi GM di atas ke dalam kode binari dari bahasa mesin pada pemrogaman komputer. Terjemahan kode-kode binari di bawah ini adalah terjemahan universal hingga setiap huruf—bukan hanya setiap kata—dari larik puisi GM:
“Di beranda ini angin tak kedengaran lagi”
Terjemahan dari digit benari-nya adalah sebagai berikut:
01000100 01101001 00100000 01100010 01100101 01110010 01100001 01101110 01100100 01100001 00100000 01101001 01101110 01101001 00100000 01100001 01101110 01100111 01101001 01101110 00100000 01110100 01100001 01101011 00100000 01101011 01100101 01100100 01100101 01101110 01100111 01100001 01110010 01100001 01101110 00100000 01101100 01100001 01100111 01101001.
Dengan demikian persoalan utama dalam penggunaan bahasa kalkulus predikat bagi puisi, bukanlah pada bagaimana menemukan satu bahasa simbolis universal bagi puisi (seperti yang diidealkan secara keliru oleh Martin Suryajaya di dalam artikelnya itu), tetapi pada soal bagaimana menemukan satu formulasi yang tepat dari satu sintaksis puitik menjadi proposisi atau formulasi berpikir menggunakan kalkulus predikat. Jika salah dalam merumuskan persoalan, maka salah pula metode pemecahan masalahnya dan, apalagi, solusinya.
Berdasarkan argumen-argumen di atas, menurut saya, empat pertanyaan yang diajukan oleh Martin Suryajaya dalam artikelnya itu menjadi tidak relevan dijawab, karena ia sendiri tidak berhasil “menerjemahkan” puisi GM tersebut secara benar ke dalam bahasa kalkulus predikat—padahal itu merupakan basis argumen dari keempat pertanyaannya.
Dari argumen-argumen di dalam artikelnya itu pula, tampak jelas bahwa Martin tak memahami apa yang dimaksud bentuk dan isi di dalam karya sastra, sehingga ia menyimpulkan “kesusastraan adalah cabang dari logika (dari matematika, ilmu komputer, dan filsafat analitik)”—sebuah pemikiran yang, mungkin, tanpa ia sadari masih meneruskan proyek logika matematika dari Bertrand Russell dan Wittgenstein I pada awal abad ke-20. Meski seperti sudah saya jelaskan di atas proyek ambisius untuk mendasarkan segala bentuk pemikiran manusia kepada logika-matematika itu telah digagalkan oleh Kurt Godel lewat teori ketaklengkapan. Bentuk dan isi, sintaksis dan semantik, di dalam karya sastra atau bahasa sehari-hari tak bisa secara gegabah dipisahkan lalu diandaikan memiliki relasi sebab-akibat: bentuk menyebabkan isi atau isi menyebabkan bentuk. Dan oleh karenanya, dalam konteks yang lebih luas, logika hanyalah cabang dari ilmu bahasa, ilmu untuk membahasakan dengan tepat cara berpikir manusia agar menjadi benar berdasarkan hukum-hukum logika tertentu. Sementara karya sastra bukan hanya sekadar struktur sintaksis, sekadar logika, sekadar bentuk, melainkan juga terkait dengan pesan, isi, atau semantik—yang keduanya tak bisa dengan gegabah dipisahkan untuk sekadar memaksakan ide dalam kerangka kausalitas logika klasik: isi menyebabkan bentuk atau bentuk menyebabkan isi.
Dengan kata lain, saya mau menyatakan, bahwa puisi atau karya sastra atau seni kontemporer pada abad ke-21 ini telah menjauh dari paradigma estetika awal abad ke-20 perihal seni untuk seni (bentuk menyebabkan isi) atau seni untuk rakyat (isi menyebabkan bentuk). Ada banyak contoh, bahkan pada abad ke-20, di mana puisi-puisi modern bisa mengangkat tema-tema emansipatif, tanpa mengabaikan estetika. Misalnya, puisi-puisi surealis karya Pablo Neruda di Chili, puisi-puisi “beat” karya Allen Ginsberg di Amerika Serikat, atau puisi-puisi “infrarealismo” karya Mario Santiago Papasquiaro di Meksiko.
Bersambung ke halaman selanjutnya –>