Kontra Pertemuan IMF-WB 2018 Bali
Pada bagian ini akan memaparkan kontroversi serta sikap dan tindakan kontra terhadap pertemuan tersebut. Pertama, menjelang pagelaran pertemuan itu, baliho tolak reklamasi Teluk Benoa diberangus dari seluruh ruas jalan di Pulau Dewata itu. Dilakukan oleh Satpol PP yang dikawal petugas polisi. Koordinator ForBali Wayan Gendo Suardana menjelaskan bahwa baliho-baliho Bali tolak reklamasi (BTR) tersebut, dirusak lalu digeletakkan. Tindakan tersebut terjadi hampir merata di semua kabupaten. Dalihnya untuk kepentingan pertemuan itu. Padahal Gubernur dan Wakil Gubernur Bali terpilih, Wayan Koster dan Tjok Oka Artha Ardana Sukawati menyampaikan sikap tolak reklamasi Teluk Benoa, pada Jumat (24/8/2018) di Denpasar[10].
Kedua, Senior Officer INFID (International NGO Forum on Indonesian Development), Hamong Santono, mengatakan lebih dari 15 organisasi masyarakat sipil di Indonesia bersepakat untuk mengadakan ‘People Summit on Alternative Development’ sebagai respons atas pertemuan itu. Dimaksudkan untuk mengkonsolidasikan suara-suara dari masyarakat sipil nasional dan global yang selama tiga dekade kritis terhadap kebijakan dan program Bank Dunia/IMF. Dalam acara tersebut, akan mengangkat delapan tema berkaitan langsung dengan hajat hidup orang banyak yaitu (1) utang sejarah WB dan IMF; (2) anti korupsi, transparansi dan pendanaan pembangunan; (3) pelayanan publik, inklusi dan keadilan gender; (4) keadilan pajak dan penanggulangan ketimpangan; (5) Legally Binding Treaty Business and Human Rights bagi Lembaga Keuangan Internasional; (6) Hak Asasi Manusia (HAM), infrastruktur publik dan industri pariwisata; (7) ekonomi digital dan pekerjaan yang baik; dan (8) perubahan iklim, dan Sumber Daya Alam (SDA) [11].
Ketiga, Direktur debtWATCH Indonesia, Arimbi Heropoetri, mengungkapkan Indonesia telah menjadi anggota Bank Dunia/IMF sejak 1967, namun sampai sekarang belum pernah dilakukan evaluasi menyeluruh atas kinerja kedua lembaga ini bagi Indonesia. Karena itu menelusuri kembali utang-utang sejarah (historical debt) menjadi penting untuk identifikasi bentuk-bentuk tanggung jawab Bank Dunia/IMF. Di tahun 1998 IMF memberikan serangkaian nasehat untuk keseimbangan keuangan, namun walau Indonesia sudah melunasi utangnya atas ‘nasehat’ IMF, tapi dampaknya masih dirasakan sampai sekarang, seperti kasus BLBI[12].
Keempat, Program Manajer Prakarsa, Herni Ramdlaningrum, menjelaskan sangat penting bagi masyarakat umum untuk aktif berperan menentukan pola pembangunan seperti apa yang bermanfaat dan berguna bagi masyarakat banyak, sehingga memahami cara kerja dan dampak dari kegiatan WB/IMF. Selain kegiatan People Summit on Alternative Development ini dilakukan sebelum acara pertemuan WB/IMF, juga telah dilakukan serangkaian sosialisasi kepada masyarakat mengenai kegiatan ini.
Pertemuan WB dan IMF adalah peristiwa penting untuk menyuarakan suara-suara masyarakat yang terdampak kegiatan dari kegiatan yang didanai Bank Dunia/IMF, karena tidak saja akan dihadiri oleh para pejabat tinggi WB/IMF, tetapi juga para pengambil keputusan di bidang ekonomi dari lebih 190-an negara anggota. Rangkaian agenda dan kegiatan pada 8-10 Oktober tersebut sebagai bagian dari upaya masyarakat sipil mendesak tanggung gugat lembaga keuangan internasional seperti World Bank atas berbagai fakta pelanggaran HAM dan penghancuran lingkungan hidup yang ditimbulkan dari berbagai proyeknya[13].
Kelima, La Via Campesina (LVC) sebagai organisasi petani internasional, telah memanggil anggotanya yaitu gerakan sosial dan organisasi masyarakat sipil di dunia untuk berkumpul dan bergerak bersama-sama membangun aksi menolak Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia (WB) pada pertemuan IMF-WB tersebut. Menurut LVC, lembaga-lembaga tersebut dibuat pada tahun 1944 dengan tujuan untuk mengurangi kemiskinan. Namun, ternyata justru melayani kepentingan para kontributor utama mereka untuk menerapkan agenda neoliberalisme: fundamentalisme pasar (berorientasi pasar), privatisasi, dan deregulasi di seluruh dunia.
Pinjaman yang mereka berikan ke negara-negara diberikan dengan persyaratan sangat ketat yakni harus membuka pasar selebar-lebarnya dan membongkar semua jenis kebijakan nasional. Mereka telah bertindak sebagai penjajah ekonomi global, alih-alih mengurangi kemiskinan, justru meminggirkan dan mengusir petani dari tanah pertanian mereka. Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional adalah lembaga yang terdiskreditkan dan tidak demokratis di mana pengambilan keputusan berbasiskan sistem one dollar one vote (dihitung berdasarkan kekayaan, semakin kaya seseorang maka suaranya akan semakin banyak) yang meminggirkan negara-negara Selatan.
Menurut LVC, bentuk nyata penindasan dengan berbagai wajah Bank Dunia dan IMF ini, LVC mengundang semua gerakan sosial dan organisasi masyarakat sipil untuk turun ke jalan dan melakukan perjuangan melawan rezim neoliberalisme dan membangun dunia alternatif di luar bank-bank (world beyond banks). Seruan LVC diharapkan agar masyarakat sipil dapat bergerak bersama untuk menunjukkan kekuatan rakyat demi menegakkan kedaulatan pangan dan keadilan sosial. Jargon dalam seruan LVC adalah: Sudahi Bank Dunia!, Akhiri IMF!, dan Tegakkan Kedaulatan Pangan dan Keadilan Sosial Sekarang![14].
Bersambung ke halaman selanjutnya –>