
BANDUNG, KabarKampus – Setelah dipertanyakan banyak pihak, Neno Warisman akhirnya angkat bicara soal puisi munajat yang dia bacakan pada acara Munajat 212, Kamis 21/2, di lapangan Monas, Jakarta.
Neno menolak semua pemaknaan negatif semua pihak yang bertanya. Dia menyatakan puisi munajat itu sama sekali tidak berkaitan dengan ajang pemilihan presiden (pilpres). Terlebih, menyamakan pilpres dengan Perang Badar zaman Rasulullah SAW.
“Sama sekali tidak berhubungan. Saya hadir di acara Munajat 212 atas nama pribadi. Doa itu pun atas keprihatinan saya terhadap diri sendiri,” kata Neno, dikutip dari republika.co.id
Kabar Kampus meminta tanggapan Ahda Imran, penyair, tentang penjelasan Neno atas puisi munajat tersebut.
Ahda Imran menganggap penjelasan Neno tidak menyelesaikan masalah. Karena pembacaan Neno tidak bisa dilepaskan dari dua hal. Pertama, konteks 212 secara politik, kedua, posisi Neno pribadi dalam konteks pilpres. Bagi Ahda penjelasan Neno jelas ingin menghilangkan kedua konteks tersebut.
Berbeda misalnya kalau puisi itu dibacakan oleh orang lain dan dibacakan dalam peristiwa yang berbeda pula atau tak ada hubungannya dengan 212.
“Dalih Neno itu tidak berdasar,” kata Ahda. “Neno tidak akan bisa membantah konotasi 212 sebagai gerakan politik di mana Neno berada di dalamnya. “
Lebih lanjut Ahda mencontohkan hal serupa yang pernah terjadi pada puisi Sukmawati. FPI ketika itu bereaksi dan menuding puisi Sukmawati menghina Islam.
“Pertanyaan saya, apakah FPI akan bereaksi sefrontal itu kalau waktu itu yang membacakannya bukan Sukmawati, adik Megawati, Ketum PDIP?”
Jadi kedua peristiwa pembacaan puisi itu (Neno dan Sukmawati) tidak bisa dilepaskan dari konteks politiknya, tegas Ahda. Akan berbeda halnya kalau publik membaca puisi itu sebagai teks an sich. Karena antara puisi sebagai teks dan puisi sebagai pembacaan pasti melahirkan interpretasi berbeda.
Lagi pula, Ahda Imran menambahkan, dapat kita lihat selama kontestasi pilpres ini puisi telah dikotori oleh para politikus.
“Termasuk puisi-puisi Fadli Zon yang jelek itu! Sebagai penyair saya melihat mereka tidak bisa membedakan mana kata-kata dan mana ludah belaka. ” tutup Ahda.[]