Masih banyak masyarakat yang salah kaprah soal gangguan kesehatan mental. Mereka menganggap orang yang tidak sehat mental identik dengan orang gila. Padahal gangguan jiwa tersebut memiliki tingkatan, mulai dari ringan, menengah, dan berat.

“Kebanyakan orang hanya menganggap bahwa gangguan jiwa adalah gangguan jiwa berat. Padahal preferensi gangguan jiwa berat hanya sekitar 1-2% di masyarakat,” kata dr. Rama Giovani, Sp. KJ, Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa dalam kuliah umum bertajuk “Sehat Mental di Era Digital, di Kampus Unpad Jatinangor, Kamis, (04/04/2019).
dr. Rama membedakan gangguan jiwa menjadi dua, yakni gangguan Psikotik dan Neurotik. Gangguan psikotik adalah gangguan jiwa yang disertai waham dan halusinasi, sedangkan gangguan neurotik adalah distress yang tidak dapat diterima oleh penderitanya yang jumlahnya bisa sampai 20% di masyarakat.
Sehingga, yang dapat dilihat pertama kali adalah Activity Daily Living atau aktifitas kehidupan sehari-hari. Seperti jika dalam aktivitas sehari-hari seseorang biasanya aktif di kegiatan sosial, kemudian tiba-tiba menjadi tertutup dan sibuk dengan ponsel, maka kemungkinan ia memiliki masalah.
“Jika ada suatu kebiasaan tertentu yang menghambat atau mengganggu aktivitas kehidupan sehari-hari maka hal tersebut patut diwaspadai,” terangnya.
Gangguan Mental Akibat Medsos

Dalam beberapa penelitian menunjukan, penggunaan sosial media secara berlebihan memberikan dampak psikologi berupa self esteem menurun, depresi dan kecemasan meningkat, dan kondisi lonliness bagi penggunanya. Karakteristik media sosial yang memungkinkan seseorang dapat berkomentar secara anonimus memungkinkan seseorang melakukan digital harassment seperti cyber bullying.
Padahal, lanjutnya, kegiatan cyber bullying tidak dapat dipandang sebelah mata. Terdapat berbagai kasus cyber bullying yang berujung pada bunuh diri karena orang yang di bully tidak bisa menerima rasa malu.
Selain itu, penggunaan media sosial bisa menjadi gangguan mental ketika penggunannya mengalami adiksi sehingga melupakan tanggung jawabnya di kehidupan sehari-hari. Adiksi itu terjadi, karena adanya kesenangan dari aktifitas tertentu yang membuat otak menghasilkan hormon Dopamine. Kesenangan yang kemudian menjadi kebiasaan menyebabkan seseorang membutuhkan kadar dopamine yang lebih tinggi yang bisa diperoleh melalui kesenangan tersebut sehingga menyebabkan seseorang menjadi adiksi.
“Hanya sedikit masyarakat yang memandang adiksi sebagai gangguan jiwa,” terang dr. Rama.
Selanjutnya, menanggapi fenomena tersebut Herlina Agustin, Dosen Fikom Unpad yang juga aktivis di KPSI (Komunitas Peduli Skizofernia Indonesia) mengatakan, mahasiswa, khususnya mahasiswa rantau yang tidak tinggal dengan orang tua atau keluarga rentan mengalami gangguan mental, namun tidak cukup berani untuk berkonsultasi.
“Jangankan berpikir untuk berkonsultasi. Untuk berpikir kebutuhan sehari-hari dan tugas kuliah saja mereka juga sudah cukup berat,” tambahnya.
Untuk itu, Herlina mengimbau mahasiswa agar tetap berinteraksi dan menjaga hubungan dengan teman-teman di dunia nyata. Selain itu juga menghimbau baik mahasiswa maupun dosen, agar lebih terbuka dan saling memahami tidak hanya di dalam kelas.
“Media sosial yang terdapat di dunia maya memang menawarkan banyak hal. Tapi media sosial tidak bisa menjadi solusi terhadap permasalahan pribadi seseorang yang berbeda dan unik,” ungkapnya.[]