2. TENTANG SESAT PIKIR (LOGICAL FALLACY)
Fallacy berasal dari bahasa Yunani fallacia yang berarti ‘sesat’. Logical Fallacy didefinisikan secara akademis sebagai kerancuan pikir yang diakibatkan oleh ketidakdisiplinan pelaku nalar dalam menyusun data dan konsep, secara sengaja maupun tidak sengaja. Hal ini juga bisa diterjemahkan dalam bahasa sederhana sebagai berpikir ‘ngawur’.
Ada dua pelaku fallacy yang terkenal dalam sejarah filsafat, yaitu mereka yang menganut Sofisme dan Paralogisme. Disebut demikian karena yang pertama-tama mempraktekkannya adalah kaum sofis, nama suatu kelompok cendekiawan yang mahir berpidato pada zaman Yunani kuno. Mereka melakukan sesat pikir dengan cara sengaja menyesatkan orang lain, padahal si pengemuka pendapat yang diserang sebenarnya justru tidak sesat pikir. Mereka selalu berusaha memengaruhi khalayak ramai dengan argumentasi-argumentasi yang menyesatkan yang disampaikan melalui pidato-pidato mereka agar terkesan kehebatan mereka sebagai orator-orator ulung. Umumnya yang sengaja ber-fallacy adalah orang menyimpan tendensi pribadi. Sedangkan yang berpikir ngawur adalah orang yang tidak menyadari kekurangan dirinya atau kurang bertanggungjawab terhadap setiap pendapat yang dikemukakannya atau biasa disebut dengan istilah paralogisme.
Fallacy sangat efektif dan manjur untuk melakukan sejumlah aksi tak bermoral, seperti mengubah opini publik, memutar balik fakta, pembodohan publik, fitnah, provokasi sektarian, pembunuhan karakter, memecah belah, menghindari jerat hukum, dan meraih kekuasaan dengan janji palsu.
Begitu banyak manusia yang terjebak dalam lumpur “fallacy”, sehingga diperlukan sebuah aturan baku yang dapat memandunya agar tidak terperosok dalam sesat pikir yang berakibat buruk terhadap pandangan dunianya. Seseorang yang berpikir tanpa mengikuti aturan logika yang ada, terlihat seperti berpikir benar dan bahkan bisa memengaruhi orang lain yang juga tidak mengikuti aturan berpikir yang benar.
Dalam sejarah perkembangan logika terdapat berbagai macam tipe kesesatan dalam penalaran.Secara sederhana kesesatan berpikir dapat dibedakan dalam dua kategori, yaitu kesesatan formal dan kesesatan material.
1. Kesesatan formal adalah kesesatan yang dilakukan karena bentuk (forma) penalaran yang tidak tepat atau tidak sahih. Kesesatan ini terjadi karena pelanggaran terhadap prinsip-prinsip logika mengenai term dan proposisi dalam suatu argumen (hukum-hukum silogisme).
2. Kesesatan material adalah kesesatan yang terutama menyangkut isi (materi) penalaran. Kesesatan ini dapat terjadi karena faktor bahasa (kesesatan bahasa) yang menyebabkan kekeliruan dalam menarik kesimpulan, dan juga dapat teriadi karena memang tidak adanya hubungan logis atau relevansi antara premis dan kesimpulannya (kesesatan relevansi).
Berikut ini adalah beberapa jenis fallacy yang dikategorikan sebagai “Kesesatan Relevansi” (Kesesatan Material). Fallacy jenis ini sejak dahulu sering dilakukan oleh kaum sofis sejak masa Yunani kuno, jadi sama sekali bukan hal baru:
1. Fallacy of Dramatic Instance, yaitu kecenderungan dalam melakukan analisa masalah sosial dengan menggunakan satu-dua kasus saja untuk mendukung argumen yang bersifat general atau umum (over generalisation).
Contoh: “Semua yang menentang hukuman mati para terpidana narkoba berarti adalah pelaku atau pendukung kejahatan narkoba. Saya melihat sendiri dengan mata kepala saya bahwa tetangga saya kemarin begitu ngotot menentang hukuman mati bagi pengedar narkoba, eh, ternyata seminggu kemudian ia tertangkap polisi karena mengedarkan narkoba.”
Pembuktian Sesat Pikir: Satu-dua kasus yang terjadi terkait pengalaman pribadi kita dalam satu lingkungan tertentu tidak bisa dengan serta merta dapat ditarik menjadi satu kesimpulan umum yang berlaku di semua tempat.
2. Argumentum ad Hominem Tipe I (Abuse): Ini adalah jenis sesat pikir yang terjadi ketika argumentasi yang diajukan tidak tertuju pada persoalan yang sesungguhnya, tetapi justru menyerang pribadi yang menjadi lawan bicara.
Contoh: Saya tidak ingin berdiskusi dengan Anda, karena cara berpikir Anda seperti seorang anak kecil yang bodoh dan tidak tahu apa-apa.
Pembuktian Kesesatan Berpikir: Argumen Anda menjadi benar, bukan dengan membodohi atau menganggap remeh orang lain, tetapi karena argumen Anda disusun berdasarkan kaidah logika yang benar dan bukti-bukti atau teori yang telah diakui kebenarannya secara ilmiah.
3. Argumentum ad Hominem Tipe II (Sirkumstansial): Berbeda dari argumentum ad hominem tipe I, maka sesat pikir jenis ad hominem tipe II ini menyerang pribadi lawan bicara sehubungan dengan keyakinan seseorang dan atau lingkungan hidupnya, seperti: kepentingan kelompok atau bukan kelompok tertentu, juga hal-hal yang berkaitan dengan SARA.
Contoh: “Saya tidak setuju dengan apa yang dikatakan olehnya terkait agama Islam, karena ia bukan orang Islam.”
Pembuktian Kesesatan Berpikir: Ketidaksetujuan tersebut bukan karena hasil penalaran dari argumentasi yang logis, tetapi karena lawan bicara berbeda agama.
4. Argumentum Auctoritatis: Ini adalah jenis sesat pikir yang terjadi ketika nilai penalaran ditentukan semata oleh keahlian atau kewibawaan orang yang mengemukakannya. Jadi suatu gagasan diterima sebagai gagasan yang benar hanya karena gagasan tersebut dikemukakan oleh seorang yang sudah terkenal keahliannya.
Contoh: “Saya meyakini bahwa pendapat dosen itu benar karena ia seorang guru besar.”
Pembuktian Sesat Pikir: Kebenaran suatu pendapat bukan tergantung pada siapa yang mengucapkannya, meski ia seorang guru besar sekalipun, tetapi karena ketepatan silogisme yang digunakan berdasarkan aturan logika tertentu dan atau berdasarkan verifikasi terhadap fakta atau teori ilmiah yang ada.
5. Kesesatan Non Causa Pro Causa (Post Hoc Ergo Propter Hoc): Ini adalah jenis sesat pikir yang terjadi ketika terjadi kekeliruan penarikan kesimpulan berdasarkan sebab-akibat. Orang yang mengalami sesat pikir jenis ini biasanya keliru menganggap satu sebab sebagai penyebab sesungguhnya dari suatu kejadian berdasarkan dua peristiwa yang terjadi secara berurutan. Orang lalu cenderung berkesimpulan bahwa peristiwa pertama merupakan penyebab bagi peristiwa kedua, atau peristiwa kedua adalah akibat dari peristiwa pertama–padahal urutan waktu saja tidak dengan sendirinya menunjukkan hubungan sebab-akibat.
Contoh: Anda membuat surat untuk seseorang yang anda cintai dengan menggunakan pena A, dan ternyata cinta Anda diterima. Kemudian pena A itu anda gunakan untuk ujian, dan Anda lulus. “Ini bukan sembarang pena!” kata Anda. “Pena ini mengandung keberuntungan.”
Pembuktian Sesat Pikir: Cinta Anda diterima oleh sebab orang yang Anda cintai juga menerima cinta Anda, bukan karena pena yang Anda gunakan untuk menulis surat cinta. Anda lulus ujian, bukan karena pena yang Anda gunakan mengandung keberuntungan, tetapi karena Anda menguasai dengan baik materi yang diujikan dan dapat menjawab dengan benar sebagian besar materi ujian secara tepat waktu.
6. Argumentum ad Baculum: Ini adalah jenis sesat pikir yang terjadi ketika argumen yang diajukan berupa ancaman dan desakan terhadap lawan bicara agar menerima suatu konklusi tertentu, dengan alasan bahwa jika menolak akan berdampak negatif terhadap dirinya
Contoh: “Jika Anda tidak mengakui kebenaran apa yang saya katakan, maka Anda akan terkena azab Tuhan. Karena yang saya ungkapkan ini bersumber dari ayat-ayat suci agama yang kita yakini.”
Pembuktian Sesat Pikir: Tuhan tidak mengazab seseorang hanya karena orang itu tidak menyetujui pendapat Anda atau tafsir Anda terhadap ayat-ayat kitab suci. Sebab, berdasarkan ajaran berbagai agama yang Anda anut, Tuhan hanya menghukum ketika Anda berbuat dosa sementara belum sungguh-sungguh bertobat menyesalinya. Jadi, tidak benar jika dikatakan Tuhan akan mengazab lawan bicara Anda hanya karena ia tak menyetujui pendapat Anda.
7. Argumentum ad Misericordiam: Ini adalah jenis sesat pikir yang terjadi ketika argumen sengaja diarahkan untuk membangkitkan rasa belas kasihan lawan bicara dengan tujuan untuk memperoleh pengampunan atau keinginan tertentu.
Contoh: “Hukuman mati terhadap pengedar narkoba itu harus dilakukan, karena alangkah sedihnya perasaan mereka yang keluarganya menjadi korban narkoba. Betapa beratnya hidup yang harus ditanggung oleh keluarga korban narkoba untuk menyembuhkan dan merawat korban narkoba, belum lagi bila keluarga mereka yang kecanduan narkoba itu meninggal. Betapa hancur hati mereka. Oleh sebab itu hukuman mati bagi pengedar narkoba adalah hukuman yang sudah semestinya.”
Pembuktian Sesat Pikir: Hukuman mati bagi penjahat narkoba itu tidak dijatuhkan berdasarkan penderitaan keluarga korban, tetapi karena pelaku tersebut terbukti melanggar perundangan-undangan yang berlaku di dalam satu proses pengadilan yang sah, bersih, dan adil.
Bersambung ke halaman selanjutnya –>