More

    Tentang Logika Aristoteles

    8. Argumentum ad Ignorantiam: Ini adalah jenis sesat pikir yang terjadi ketika seseorang memastikan bahwa sesuatu itu tidak ada oleh sebab kita tidak mengetahui apa pun juga mengenai sesuatu itu atau karena belum menemukannya.

    Contoh: “Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu tak ada gunanya, karena sampai sekarang korupsi masih terus terjadi.”

    Pembuktian Sesat Pikir: KPK dibutuhkan bukan ketika korupsi sudah berhasil diberantas, tetapi justru saat korupsi masih merajalela di tingkat aparat penegak hukum lainnya (mafia peradilan), aparat birokrasi, dan pejabat politik.

    - Advertisement -

    9. Argumentum ad Populum: Ini adalah jenis sesat pikir yang terjadi ketika seseorang berpendapat bahwa sesuatu pernyataan adalah benar karena dibenarkan oleh banyak orang.

    Contoh: “Semua orang yang saya kenal sebagai tokoh-tokoh berintergritas bersikap pro presiden, itu berarti kritik terhadap presiden hanya dilemparkan oleh sebagian kecil orang yang tidak puas karena tidak mendapat jabatan dalam kabinet Jokowi.”

    Pembuktian Sesat Pikir: Kebenaran atau kesalahan suatu kritik tidak tergantung pada seberapa banyak orang yang mendukung atau menentang orang yang dikritik, tetapi terkait dengan ketepatan argumen dari kritik yang dilontarkan–baik dalam konteks silogisme maupun pembuktian argumen dan atau koherensinya dengan teori-teori ilmiah yang sudah diuji kebenarannya.

    10. Appeal To Emotion: Ini adalah jenis sesat pikir yang terjadi akibat argumentasi sengaja tidak diarahkan kepada persoalan yang sesungguhnya, tetapi dibuat sedemikian rupa untuk menarik respon emosi si lawan bicara. Respon emosi bisa berupa rasa malu, takut, bangga, atau sebagainya.

    Contoh: “Mana mungkin orang baik seperti dia melakukan korupsi. Lihat saja kedermawanannya di masyarakat selama ini.”

    Pembuktian Sesat Pikir: Terbukti atau tidak terbuktinya kesalahan seorang yang diduga melakukan korupsi adalah melalaui proses hukum di dalam satu persidangan yang sah dan adil, bukan dari kebaikan atau kedermawanannya di masa lalu.

    11. lgnoratio Elenchi: Ini adalah jenis sesat pikir yang terjadi saat seseorang menarik kesimpulan yang tidak relevan dengan premisnya. Loncatan dari premis ke kesimpulan semacam ini umum dilatarbelakangi prasangka, emosi, dan perasaan subjektif. Ignoratio elenchi juga dikenal sebagai kesesatan “red herring”.

    Contoh: Para penganut Ahmadiyah itu sesat, telah kafir dari agama Islam, maka mereka halal dibunuh.

    Pembuktian Sesat Pikir: Kasus penghakiman umat minoritas seperti penganut Ahmadiyah hanya difokuskan pada pandangan agamanya, bukan pada pelanggaran hukum yang mereka lakukan misalnya. Seseorang tidak bisa dihukum oleh sebab pandangan atau pikirannya, tetapi karena ia terbukti telah melanggar hukum.

    12. Kesesatan Aksidensi: Ini adalah jenis kesesatan berpikir yang dilakukan oleh seseorang bila ia memaksakan aturan-aturan/cara-cara yang bersifat umum pada suatu keadaan atau situasi yang bersifat aksidental–situasi yang bersifat kebetulan.

    Contoh:

    1. Guru yang baik adalah guru yang tidak mencubit. Karena guru yang mencubit telah melakukan kekerasan struktural ala orde baru, tidak bermoral, dan sakit jiwa.

    2. Kritikus yang benar adalah kritikus yang berkata santun.

    Pembuktian Sesat Pikir 1: Guru yang baik bagi muridnya adalah guru yang mampu mengajar dengan benar, bukan karena tidak mencubit. Guru yang mencubit adalah situasi aksidental, situasi khusus, yang terjadi untuk merespon kesalahan muridnya dalam kerangka mendidik. Itu tidak berhubungan dengan kekerasan struktural ala orde baru, dan tidak pula membuktikan bahwa ia telah melanggar etika umum, juga tidak menunjukkan bukti bahwa ia sakit jiwa. Kekerasan struktural adalah kekerasan yang dilakukan oleh negara terhadap rakyat tertentu (ini sebuah kasus umum/publik dan perlu pembuktian lewat pengadilan untuk menjadi sebuah kebenaran umum), tidak pula melanggar etika (sebab harus ditunjukkan etika umum yang mana atau aturan hukum yang mana yang telah dilanggarnya), serta tidak pula sakit jiwa (harus ada test psikiatri untuk membuktikan hal ini agar didapat sebuah kesimpulan umum menurut sains). Kekerasan struktural, tidak bermoral, dan sakit jiwa adalah hal yang berkaitan dengan “kebenaran umum”. Untuk membuktikan kebenaran umum, maka perlu dilakukan dengan cara atau prinsip tertentu yang diakui secara umum, tidak bisa ditarik langsung sebagai kesimpulan dari satu kasus khusus. Ketika sebuah kejadian khusus dipaksa dikaitkan dengan kebenaran umum, maka sesat pikir aksidensi pun terjadi.

    Pembuktian Sesat Pikir 2: Seorang kritikus dinilai kebenaran kritiknya bukan dari caranya berkata yang santun (sebuah kasus khusus), tetapi dari kebenaran argumennya (silogisme yang tepat, koherensi teoritik, bukti yang mendukung) yang merupakan sebuah prinsip umum. Cara berkata yang santun (kasus khusus) bukan kriteria yang tepat untuk menilai kebenaran argumen (prinsip umum) dari sebuah kritik. Kritik harus berlandaskan pada kebenaran, bukan kesantunan berkata. Seorang koruptor sering terlihat berkata amat santun (kasus khusus) di televisi, tetapi hal itu tidak membatalkan vonis pengadilan bahwa ia terbukti bersalah dalam satu kasus korupsi (yang dibuktikan berdasarkan prinsip hukum umum di dalam pengadilan).

    13. Kesesatan karena Komposisi dan Divisi: Sesat pikir jenis ini terbagi ke dalam dua jenis, yaitu:

    A. Kesesatan karena komposisi terjadi bila seseorang berpijak pada anggapan bahwa apa yang benar (berlaku) bagi individu atau beberapa individu dari suatu kelompok tertentu, pasti juga benar (berlaku) bagi seluruh kelompok secara kolektif.

    Contoh: Joni ditilang oleh polisi lalu lintas di sekitar Jl. Radin Intan. Polisi itu meminta uang sebesar Rp. 100.000 bila Joni tidak ingin ditilang, maka semua polisi lalu lintas di sekitar Jl. Radin Intan adalah pasti pelaku pemalakan.

    Pembuktian Sesat Pikir: Satu kasus khusus tidak bisa ditarik menjadi satu kesimpulan, tanpa melalui pembuktian penalaran induktif secara ketat. Polisi yang melakukan pemalakan seperti contoh di atas adalah satu kasus khusus, dan itu sama sekali tidak membuktikan bahwa semua polisi di Republik Indonesia juga melakukan pemalakan.

    B. Kesesatan karena divisi terjadi bila seseorang beranggapan bahwa apa yang benar (berlaku) bagi seluruh kelompok secara kolektif pasti juga benar (berlaku) bagi individu-individu dalam kelompok tersebut.

    Contoh: Banyak anggota DPR yang ditangkap KPK akhirnya terbukti korupsi dalam pengadilan Tipikor. Joni Gudel adalah anggota DPR, maka Joni Godel juga korupsi.

    Pembuktian Sesat Pikir: Bila beberapa anggota DPR ada yang terbukti melakukan korupsi, maka hal itu tidak bisa langsung dianggap sebagai bukti bahwa seorang anggota DPR yang tidak melakukan korupsi dituding telahikut melakukan korupsi. Penarikan kesimpulan secara deduktif (dari umum ke khusus) harus dilakukan secara formal dan material, tidak bisa sembarangan.

    14. Petitio Principii: Sesat pikir jenis ini pertama kali dikemukakan oleh Aristoteles, perumus logika formal yang kita kenal sekarang. Kesesatan Petitio principii adalah semacam tautologis, semacam pernyataan berulang, yang terjadi karena pengulangan prinsip dengan prinsip. Sehingga meskipun rumusan (teks/kalimat) yang digunakan berbeda, sebetulnya sama maknanya.

    Contoh:Siapakah aku? Aku adalah saya.

    Pembuktian Sesat Pikir: Ini adalah satu pernyataan berulang yang tidak bisa menjelaskan makna dari satu konsep. Pertanyaan “siapa aku” mestinya dijawab dengan menjelaskan “konsep aku” menurut pandangan filosofis atau pandangan psikologis.

    Tujuan dari belajar logika dengan benar (termasuk soal “fallacy”) bukanlah untuk memenangkan setiap perdebatan dan mengalahkan setiap lawan diskusi, tetapi semata-mata untuk menemukan kebenaran–tergantung pada kriteria kebenaran apa yang digunakan.

    Dalam konteks Indonesia, benarlah pendapat Tan Malaka, salah satu pendiri Republik Indonesia, bahwa sebagian besar Bangsa Indonesia belum bisa berpikir logis, apalagi mau berdialektika. Karena itu di dalam bukunya yang berjudul “Madilog” (Materialisme, Dialektika, Logika), Tan Malaka menyarankan agar bangsa Indonesia bertekun mempelajari logika hingga tuntas dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.

    Mungkin kita pernah mendengar ungkapan begini: “Tidak semua bisa dilogikakan.” Maksud dari pernyataan itu, mungkin, begini: “Berhentilah belajar logika, tak ada gunanya.” Jika ada orang yang bicara begitu, maka saya anjurkan Anda untuk merespon ungkapan itu dengan satu pertanyaan saja: “Bagaimana Anda bisa bicara begitu, bila tanpa logika?” Maksudnya, ungkapan “tidak semua bisa dilogikakan” itu sendiri merupakan sebuah proposisi dalam logika yang bisa diuji dengan kriteria kebenaran tertentu.

    Bersambung ke halaman selanjutnya –>

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here