More

    Tentang Logika Aristoteles

    B. Silogisme Hipotetis

    Berikut ini adalah jenis pertama dari silogisme hipotetis. Jenis pertama dari silogisme hipotetis ini adalah jenis silogisme yang premis minornya mengakui bagian antesedent (sebab) di dalam premis mayornya, sehingga kesimpulan ditarik dari pengakuan atas konsekuen (akibat) di dalam premis mayornya.

    Contoh:
    a) Premis Mayor: Jika hujan (anteseden), maka bumi basah (konsekuen)
    b) Premis Minor: Sekarang hujan (premis minor mengakui anteseden)
    c) Konklusi: Jadi bumi basah (kesimpulan ditarik dengan mengakui konsekuen).

    - Advertisement -

    Rumusnya:
    Premis Mayor: Jika A, maka B
    Premis Minor: + A (A diakui)
    Konklusi: + B

    Contoh lainnya:
    a) Jika pengedar narkoba dihukum mati, maka koruptor juga harusnya dihukum mati.
    b) Sekarang ada pengedar narkoba dihukum mati.
    c) Maka, koruptor juga harusnya dihukum mati.

    Benarkah silogisme di atas? Sekilas penalaran di atas terlihat memenuhi hukum penalaran dalam konteks silogisme hipotetis. Tapi, coba teliti kausalitas pada tingkat premis mayornya: “Jika pengedar narkoba dihukum mati (jika A), maka koruptor juga harusnya dihukum mati (maka B).” Sekilas premis mayor itu memang sudah sesuai rumus: “Jika A, maka B”. Pertanyaannya: Benarkah premis mayor itu memiliki relasi kausalitas atau hubungan sebab-akibat antara proposisi A dan proposisi B? Jawabnya: Tidak ada hubungan sebab-akibat. Hukuman mati atas pengedar narkoba, tidak mengakibatkan hukuman mati bagi koruptor. Hukuman mati bagi koruptor, bukan merupakan akibat dari hukuman mati bagi pengedar narkoba.

    Jadi, apa yang menjadi sebab dari hukuman mati bagi koruptor atau pengedar narkoba? Jawabnya adalah putusan peradilan yang sah dan adil berdasarkan perundang-undangan yang berlaku.

    Maka, jelaslah, silogisme hipotetis bahwa “jika pengedar narkoba dihukum mati, maka koruptor juga harusnya dihukum mati” adalah bentuk “sesat pikir formal” dalam proses bernalar yang diakibatkan oleh kekeliruan menerapkan hubungan kausalitas.

    Sekarang, mari kita cari logika bagi hukuman mati. Kenapa? Karena jelas hukuman mati itu memiliki logikanya sendiri, sehingga dibuat menjadi produk hukum. Setiap hukum pastilah mempunyai logika, tak ada hukum yang tidak berdasarkan pada logika. Pertanyaannya: Apakah yang menjadi dasar logika sehingga pemerintah suatu negara merasa berhak menjatuhkan hukuman mati kepada seorang terpidana, merasa berhak mencabut nyawa seseorang yang tidak diciptakannya? Siapakah yang telah menciptakan nyawa manusia: Tuhan atau pemerintah suatu negara? Atas dasar apa pemerintah suatu negara merasa berhak memindahkan hak Tuhan atas nyawa manusia ke tangan hakim atau presiden misalnya? Mari kita uji persoalan di atas dengan menggunakan ketiga jenis bentuk silogisme hipotetis dari empat jenis yang ada, sebagai berikut:

    Silogisme hipotetis jenis kedua (premis minor mengakui konsekuen, konklusi mengakui anteseden) dengan rumus:

    Premis Mayor: Jika A, maka B
    Premis Minor: + B (B diakui)
    Konklusi: + A

    Contoh:
    a) Premis Mayor: Jika Tuhan adalah Yang Maha Pencipta adalah pemilik nyawa setiap manusia, maka pastilah Tuhan juga berhak untuk melepaskan atau mencabut nyawa setiap manusia.
    b) Premis Minor: Tuhan memang Yang Maha Pencipta yang memiliki nyawa setiap manusia.
    c) Konklusi: Jadi, Tuhan berhak untuk melepaskan atau mencabut nyawa setiap manusia.

    Silogisme hipotetis jenis ketiga (premis minor mengingkari konsekuen, konklusi mengingkari anteseden) dengan rumus:

    Premis Mayor: Jika A, maka B
    Premis Minor: – B (B diingkari)
    Konklusi: – A

    Contoh:
    a) Premis Mayor: Jika manusia adalah Tuhan Yang Maha Pencipta, maka ia bisa menciptakan nyawa manusia lainnya.
    b) Premis Minor: Manusia tidak bisa menciptakan nyawa manusia lainnya.
    c) Konklusi: Jadi, manusia bukan Tuhan Yang Maha Pencipta.

    Silogisme hipotetis jenis keempat (premis minor mengingkari anteseden, konklusi mengingkari konsekuen) dengan rumus:

    Premis Mayor: Jika A, maka B
    Premis Minor: – A (A diingkari)
    Konklusi: – B

    Contoh:
    a) Premis Mayor: Jika seorang manusia menciptakan nyawa manusia lainnya, maka (seperti Tuhan) ia berhak mencabut nyawa manusia lainnya.
    b) Premis Minor: Seorang manusia tidak menciptakan nyawa manusia lainnya (karena ia bukan Tuhan).
    c) Konklusi: Jadi, seorang manusia tidak berhak mencabut nyawa manusia lainnya.

    Dari silogisme hipotetis yang saya buat berdasarkan logika klasik Aristoteles (dan juga sahih secara logika preposisional atau logika simbolis Bertrand Russel, khususnya berdasarkan prinsip koherensi untuk implikasi logis), maka hukuman mati terhadap individu oleh suatu rezim pada suatu negara memang tak memiliki dasar logika.

    Bila antesedent kita lambangkan A dan kosekuen kita lambangkan K, maka hukum dari silogisme hipotetik adalah:

    1) Bila A terlaksana, maka K terlaksana (sah = benar), seperti:

    Bila terjadi peperangan, maka harga bahan makanan membubung tinggi.
    Nah, peperangan terjadi.
    Jadi, harga bahan makanan membubung tinggi.

    2) Bila A tidak terlaksana, maka K tidak terlaksana (tidak sah = salah), seperti:

    Bila terjadi peperangan, maka harga bahan makanan membubung tinggi.
    Nah, peperangan tidak terjadi.
    Jadi, harga bahan makanan tidak membubung tinggi. (tidak sah = salah).

    3) Bila K terlaksana, maka A terlaksana (sah = benar), seperti:

    Bila terjadi peperangan, maka harga bahan makanan membubung tinggi.
    Nah, sekarang harga makanan membubung tinggi.
    Jadi, peperangan terjadi (sah = benar).

    4) Bila K tidak terlaksana (tidak sah = salah), maka A tidak terlaksana (tidak sah = salah), seperti:

    Bila peperangan terjadi, maka harga bahan makanan membubung tinggi.
    Nah, harga makanan tidak membubung tinggi.
    Jadi, peperangan tidak terjadi.

    Penerapan logika luas sekali, bukan hanya di bidang ilmu pengetahuan saja, tetapi hampir di seluruh bidang kehidupan, termasuk di dalam seni dan spiritualitas.

    Menurut pendapat saya, sebagai makhluk yang berakal, kita harus lebih banyak menggunakan akal sehat di segala bidang kehidupan, serta mendasarkan tindakan-tindakan kita atas pertimbangan yang masuk akal–bukan cara berpikir dan tindakan yang ngawur.[]

    ————————————————————-
    Esai @ Ahmad Yulden Erwin, 3 Mei 2015
    ————————————————————-

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here