Terma soal represi primal terjadi dalam perkembangan psikoseksual ketika kita membentuk perbatasan atau pemisahan antara manusia dan hewan, antara budaya dan yang mendahuluinya. Pada tingkat memori kuno–terpengaruh oleh konsep arkhetipe dari Gustav Jung–Kristeva mengacukan konsep abjeksi pada upaya masyarakat primitif untuk memisahkan diri dari hewan. Dengan cara abjeksi, masyarakat primitif telah menandai area yang tepat dari budaya mereka dalam rangka untuk menghapusnya dari tahapan dunia yang mengancam hewan atau animalisme, yang dibayangkan sebagai representasi dari seks dan pembunuhan. Sedangkan pada tingkat perkembangan psikoseksual pribadi kita, abjeksi ditandakan muncul saat ketika kita memisahkan diri kita dari sosok ibu, ketika kita mulai mengenal batas antara “aku” dan “lainnya”–begini permainan istilah yang cukup unik dan tipikal pendekatan postmodernisme–antara “me” and “other”, antara “me” and “(m)other.”
Muhammad Al-Fayyadl sempat menyinggung suatu term yang ia pinjam dari Powers of Horror-nya Kristeva: “abjeksi.” Fayyadl menerjemahkan abjeksi Kristeva sebagai pengalaman bertemu Yang Terlarang: Yang Menakutkan, Yang Menjijikan, Yang Tak Ingin Kita Kenal–si X yang merusak “harmoni” “toleransi”, “pluralisme”, “multikulturalisme.” Masih menurut Fayyadl, jargon-jargon ini diperkenalkan oleh paradigma pendidikan (liberal) pasca-Orba yang luput menjernihkan kekacauan semantik buah dari rezim bahasa Orba terhadap istilah-istilah seperti “komunisme”, “cina”, “SARA”. Hasilnya, Yang Terlarang terus disembunyikan; menyuburkan represi-diri dan melanggengkan fobia-fobia sosial.
Abjek bukan subyek ataupun obyek. Posisi abjek ada sebelum kita mengada dalam tatanan simbolik. Kristeva mengasosiasikan reaksi kita terhadap abjek sebagai kondisi pralingual dan menurutnya abjeksi mensyaratkan kita menunda oposisi biner antara diri/liyan atau subjek/objek dalam tatanan itu. Abjeksi juga merupakan situasi ketika Yang Nyata longsor, ketika kita dipaksa berhadapan dengan kenyataan Yang Terlarang.
Dalam pembacaan saya atas buku Powers of Horror Julia Kristeva versi bahasa inggris (bukan aslinya yg berbahasa prancis), abjeksi adalah ketakutan dan kecemasan kita atas Yang Terlarang, tabu yang tidak berani kita bicarakan. Disebutnya abjeksi sebagai kondisi pralingual, Kristeva membangun teori abjeksi dari teori psikoanalisis. Ia menjelaskan ketakutan dan rasa jijik sebagai reaksi psikologis dengan referensi yang mendekati konsep Yang Nyata-nya Lacan. Abjek adalah apa yang tidak terkatakan atau tidak berani dikatakan karena bahasa (tatanan Yang Simbolik) tidak dapat menampung kecemasan ketika seseorang berhadapan dengan Yang Nyata.
Abjeksi membuat batas antara subjek dan objek mengabur. Abjek bukan objek yang bisa kita namai atau kita imajinasikan, juga bukan sekedar “yang lain” seperti yang anda katakan. Jika ada kualitas objek di dalam abjek, abjek merupakan objek yang terbuang, yang tidak bisa masuk ke tatanan simbolik sehingga segala makna menjadi runtuh karena tidak dapat disampaikan.
Saya tidak paham perihal gagasan bahwa abjek adalah ruang netral. Kondisi pralingual bukan ruang netral, tapi sesuatu yang tidak bisa diungkapkan. Apakah ancaman adalah abjek? Yang kita anggap sebagai ancaman, sehingga kita tidak berani bertemu dan berbicara dengannya adalah abjek. Ancaman atau teror yang dimaterialisasi melalui perkataan dan perbuatan sudah masuk ke tatanan simbolik, jadi bukan abjek. Kalau menggunakan teori abjeksi Kristeva dalam memahami ancaman, maka yang dibicarakan adalah Yang Mengancam, bukan ancaman itu sendiri. Ancaman sudah merupakan objek yang sudah didefinisikan berdasarkan interaksi kita dengan orang lain atau sudah direproduksi oleh media sebelum sampai ke telinga kita. Abjek adalah apa yang membuat kita tidak berani berinteraksi dengan orang lain yg kita anggap sebagai ancaman.
Bersambung ke halaman selanjutnya –>