3/
Proposisi “Deus sive Natura” (Tuhan atau Alam), yang merupakan proposisi inti dalam the Ethics, bila hendak dirumuskan ke dalam bahasa formal logika intuisionalistik, akan ditulis seperti ini: ϕ v ¬ ϕ ⊢ ⊤.
Jadi, Tuhan atau Bukan-Tuhan (Alam), adalah tautologi. Keduanya, baik Tuhan atau Alam, adalah sama saja. Karena itu keduanya benar secara logika dan bisa dipilih salah satunya, sehingga tak ada dualisme seperti pandangan Descartes.
Namun, bila sebaliknya, yaitu kontradiksi, maka yang terjadi adalah “prinsip ledakan” dan hanya akan menghasilkan kesimpulan yang melampaui premisnya atau bisa apa pun yang tidak berhubungan dengan premisnya, begini: ϕ ∧ ¬ ϕ ⊢ ⊥ (kontradiksi) ekuivalen dengan ϕ ∧ ¬ ϕ ⊢ ψ (prinsip ledakan yang bisa menghasilkan konklusi apa pun alias absurd).
Tuhan bagi Spinoza—sama juga seperti pandangan Goethe, Paul Cezanne, Hegel, Vincent van Gogh, Albert Einstein, Bertrand Russel, hingga Wittgenstein—bukanlah sosok egoistik antropomorfis keagamaan yang bisa dijilat, disogok, diprovokasi untuk memenuhi keinginan egoistik dari para penyembahnya; melainkan satu “prinsip universal”, sari dari virtue yang melingkupi sekaligus meresapi alam dan kehidupan sehari-hari kita. Tuhan nampaknya tidak peduli dengan nafsu-nafsu egoistik tentang politik, ekonomi, kultural, dan seksual dari para penyembahnya.
Ya, Spinoza memang tidak percaya kepada Tuhan “personal” yang egoistik. Baginya Tuhan personal adalah absurd. Namun, pada satu argumennya di dalam buku the Ethics, ia membuktikan dengan argumen yang valid pula bahwa Tuhan sebagai prinsip universal itu juga maujud ke dalam alam, ke dalam segala sesuatu, termasuk ke dalam diri manusia sebagai semacam imanesi. Jadi, bila kita mencintai sesuatu atau seorang secara personal, berarti kita juga mencintai prinsip universal yang ada sebagai atau di dalam sesuatu itu.
4/
“Tuhan tak ada atau alam ada ekuivalen dengan jika Tuhan ada maka alam ada. Argumen di atas benar karena merupakan tautologi.”
Bila hendak diformulasikan dalam bentuk proposisi simbolik menggunakan metode logika intuisionalistik, maka proposisi di atas bisa ditulis seperti ini: ¬ φ v ψ ⇔ φ ⊢ ψ ⊢ ⊤.
Pada proposisi disjungtif (¬ φ v ψ) di atas diketahui bahwa hanya dengan menyangkal proposisi atomik yang berfungsi sebagai anteseden di dalam proposisi implikasi material (φ ⊢ ψ), maka fungsi sebab-akibat bisa dibuktikan benar. Argumen di atas terkait dengan proposisi “Deus sive Natura” dari Spinoza. Bagi Spinoza Tuhan atau alam adalah setara. Jika dan hanya jika Tuhan disangkal di dalam proposisi disjungtif, maka konsep kausa prima atau sang pencipta alam akan muncul dan bisa dibuktikan benar di dalam proposisi implikasi material.
Logika simbolis bisa menjelaskan dengan sangat baik bagaimana konsep ketuhanan antropomorfisme yang kita yakini selama ini tercipta, sadar atau tak sadar, dari rasa ironik: kita perlu menyangkal Tuhan atau memisahkan Tuhan dari alam, agar Tuhan sebagai Sang Maha Pencipta bisa dibuktikan benar keberadaan-Nya.
Namun, argumen di atas tak membuktikan apakah Tuhan sebagai pencipta alam itu ada atau tak ada, tetapi hanya membuktikan validitas pernyataan deklaratif perihal ada atau tak adanya Tuhan sebagai pencipta alam. Alfred Tarski, logikawan modern dunia asal Polandia, pernah menyatakan bahwa logika simbolis bukan soal pembuktian realitas yang “ditunjuk” oleh satu proposisi, melainkan hanya soal pembuktian benar atau tidaknya satu proposisi atau kalimat sehari-hari itu. Logika simbolis adalah soal bahasa atau, lebih tepatnya, soal bagaimana kita membahasakan realitas yang kita sadari secara tepat dan bermakna. Tidak lebih.
Bersambung ke halaman selanjutnya –>