3/
Sekarang, mari kita lihat makna kata “post-truth” di dalam kamus Oxford:
Post-truth (adjective)
Relating to or denoting circumstances in which objective facts are “less influential” in shaping public opinion than “appeals to emotion” and “personal belief”.
Terjemahan definisi kamus Oxford tersebut ke dalam bahasa Indonesia adalah:
Pasca-kebenaran (kata sifat) Berkaitan dengan atau hal yang menunjukkan situasi tatkala fakta-fakta objektif “kurang berpengaruh” dalam pembentukan opini publik alih-alih “pembangkitan emosi” dan “iman pribadi”.
Perhatikan frasa-frasa yang saya beri tanda petik dalam terjemahan dari definisi “post-truth” pada kamus Oxford di atas. Sekarang, saya akan membuktikan kesalahan kamus Oxford dalam pemaknaan istilah post-truth terkait frasa-frasa kunci dalam pendefinisiannya, begini:
Pertama, frasa “kurang berpengaruh”. Apa makna frasa itu? Jika yang dimaksud berpengaruh atau lebih berpengaruh atau kurang berpengaruh perihal kebenaran yang berkorespondensi dengan fakta tertentu ada dalam jangkau logika pragmatisme, logika yang bersandar pada aspek konsekuen dalam satu proposisi implikasi material, maka berarti kebenaran dari dari satu kalimat post-truth selalu dikaitkan dengan kemanfaatan sebesar-besarnya bagi masyarakat yang menerimanya. Artinya, bila mayoritas masyarakat pada satu negara atau daerah tertentu menerima satu kebohongan politik sebagai kebenaran, maka benarlah kebohongan itu. Pemaknaan istilah post-truth pada kamus Oxford dalam kerangka logika pragmatisme–pula dengan membuat semacam preferensi makna seturut logika fuzzy, logika yang mencoba keluar dari sistem biner itu, yang malah makin mengaburkan makna sebenarnya–menurut pendapat saya justru menjadi semacam eufemisme atau newspeak. Kebenaran dari logika pragmatisme, yaitu implikasi dari konsekuen dalam kerangka kemanfaatan publik yang seluas-luasnya, tidak bisa dikaitkan dengan hal yang tidak benar. Karena, bila demikian, kebenaran itu akan setara dengan ketidakbenaran dan proposisinya akan mengandung “contradictio in terminis”. Jadi, bisa disimpulkan, pendefinisian istilah post-truth dengan menggunakan kriteria kebenaran pragmatisme adalah keliru.
Kedua, frasa “pembangkitan emosi” (appeals to emotion). Istilah ini sesungguhnya lazim digunakan di dalam ilmu logika, sebagai satu kategori sesat pikir. Di dalam ilmu logika, kesesatan berpikir bisa ditimbulkan oleh ketidaksesuaian antara argumen dengan topik yang dibicarakan, sejak zaman Aristoteles hingga saat ini, dan biasa disebut “kesesatan relevansi”. Lalu, apa yang dimaksud sesat pikir pembangkitan emosi? Sesat pikir jenis ini terjadi akibat argumentasi sengaja tidak diarahkan kepada persoalan yang sesungguhnya, tetapi dibuat sedemikian rupa untuk membangkitkan respon emosi orang yang berargumen. Respon emosi itu bisa berupa rasa malu, sedih, kasihan, takut, bangga, marah, dan sebagainya. Contoh: “Mana mungkin orang baik seperti dia melakukan korupsi. Lihat saja kedermawanannya di masyarakat selama ini.” Apakah argumen dalam contoh di atas, yang mencoba membangkitkan emosi belas kasih pada pendengar atau pembacanya, adalah benar? Tentu saja tidak benar. Kenapa? Karena kebaikan seseorang pada masa lalu tidak memfalsifikasi kebenaran dan ketidakbenaran dari dugaan tindak melawan hukum (korupsi) yang dilakukannya saat ini. Berdasarkan pembuktian di atas, bisa disimpulkan bahwa pendefinisian istilah post-truth dengan menggunakan kriteria sesat pikir pembangkitan emosi–yang berarti secara langsung mengakui istilah post-truth semakna dengan sesat pikir “appeals to emotion”–adalah semacam eufemisme.
Ketiga, frasa “iman pribadi”. Istilah ini sesungguhnya, bila hendak dikaitkan perihal kesesuaian antara proposisi dengan fakta di dalam logika, bisa dianggap sebagai jenis sesat pikir pula. Jenis sesat pikir yang dimaksud adalah “argumentum ad hominem type II (sirkumsistansial)”. Sesat pikir jenis ini menyerang pribadi orang yang berargumen sehubungan dengan iman atau lingkungan atau status sosialnya, seperti: kepentingan kelompok atau bukan kelompok tertentu, juga hal-hal yang berkaitan dengan SARA. Contoh: “Saya tidak setuju dengan apa yang dikatakan olehnya terkait agama Islam, karena ia bukan orang Islam.” Apakah argumen dalam contoh di atas adalah benar? Tentu saja tidak benar. Kenapa? Karena ketidaksetujuan tersebut bukan disebabkan hasil penalaran dari argumentasi yang logis, tetapi karena lawan bicara hanya berbeda agama. Dengan kata lain, sama seperti kesimpulan atas pembuktian sesat pikir pada frasa “pembangkitan emosi” di atas, pendefinisian istilah post-truth yang dikaitkan dengan perihal iman pribadi adalah semacam eufemisme terhadap sesat pikir argumentum ad hominem type II (sirkumsistansial).
Jadi, berdasarkan pembuktian atas, makna sebenarnya dari kata “post-truth” di dalam kamus Oxford, yang coba ditutupi oleh “para penguasa” kamus Oxford dengan eufemisme, adalah ketidakbenaran.
Bersambung ke halaman selanjutnya –>