More

    Menyelami Sejarah Lambang Negara “Garuda Pancasila”

    Ilustrasi : Sultan Hamid II (kanan) bersama Sukarno

    “Cara yang paling cepat untuk mengetahui mengapa kita harus menjadi Indonesia, mengapa menjadi bangsa Indonesia dan mengapa harus mempertahankan bangsa ini adalah dengan mempelajari Elang, Rajawali dan Garuda Pancasila,”

    Begitulah Desmond S. Andrian, seorang kurator Museum Asia Afrika dan juga mentor Geostrategy Study Club (GSC) melihat betapa pentingnya belajar sejarah lambang negara Republik Indonesia, Garuda Pancasila. Meski demikian, ia merasa banyak orang tak mengetahuinya. Sekian puluh tahun lambang negara menjadi sesuatu yang misteri dan tidak pernah terungkap.

    Ada yang berpendapat, lambang negara Indonesia dirancang oleh Mohammad Yamin. Bahkan ada salah satu produk hukum di negara ini diduga menggunakan lambang negara Indonesia yang diambil dari internet, tanpa melibatkan sejarahawan atau orang yang ahli tentang lambang negara.

    - Advertisement -

    Desmond yang juga peneliti sejarah lambang negara menjelaskan, selama meneliti sejarah lambang negara, ia melewati jalan yang berliku. Mulai dari mendapatkan informasi dari Iman Pasha, Kepala Museum Kapuas Raya Siti Musrikah, Turiman Fachturrahman Nur, Dosen Tata Negara Universitas Tanjungpura, Kalimantan Barat, dan bertemu dengan anak pemilik toko buku Gunung Agung yang menyimpan desain perancangan lambang negara dari awal.

    Hingga akhirnya bertemu dengan Max Yusuf Alkadrie, sekretaris pribadi Sultan Hamid II. Pertemuan dengan Max yang juga cucu dari perancang Garuda Pancasila tersebut menjadi pintu gerbang bagi Desmond dan kawan-kawan mendapatkan banyak fakta di balik sejarah perancangan Garuda Pancasila.

    Cerita Desmond soal sejarah lambang negara “Garuda Pancasila” ini pernah disampaikan pada Presentasi Ilmiah “Sejarah Perancangan Lambang Negara Elang Rajawali Garuda Pancasila” yang diselenggarakan GSC di Kaka Café pada bulan Febuari 2019. Presentasi ini bertepatan dengan diresmikannya  Garuda Pancasila sebagai lambang Negara 69 tahun lalu.

    Gagasan Awal Lambang Negara

    Sejarah dirancangnya lambang Negara Indonesia, berawal dari pertanyaan Dr Radjiman Wedyodiningrat dalam pertemuan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Ada tiga pertanyaan yang ia sampaikan ketika itu. Salah satunya adalah bila Indonesia merdeka, lambang negara Indonesia apa?

    Pertanyaan ini dijawab seorang jurnalis dari Sumatera Utara, namanya Parada Harahap. Parada ketika itu mengusulkan agar lambang negara disusun dengan sebuah Undang-undang (UU) Istimewa Lambang Negara. Kemudian setelah Indonesia merdeka diwujudkan dengan perancangan lambang negara. Dan disinilah titik berangkat historiografi penulisan lambang negara.

    Ada dua orang yang terlibat riset perancangan lambang negara. Mereka adalah Mohammad Yamin dan Ki Hajar Dewantara. Keduanya melakukan riset dan menemukan simbol dalam peradaban nusantara yang dilambangkan dengan wujud garuda.

    Selain itu Kementerian Penerangan yang ketika itu dipimpin Priyono juga melakukan sayembara lambang negara pada tahun 1947. Sayang hasilnya tidak memenuhi persyaratan. Menurut panitia sayembara, para peserta sayembara tidak memahami hukum lambang tata negara.

    Gambar : Sejumlah gambar lambang negara dari hasil sayembara. Semunya tidak memenuhi persyaratan atau memenuhi prinsip hukum lambang negara.

    Agresi Militer Belanda I

    Pada tanggal 17 Agustus 1945, berkat rahmat Tuhan yang Maha Esa, Indonesia berhasil meraih kemerdekaan. Tidak lama setelah itu, agresi militer Belanda I terjadi. Pekerjaan panitia yang sedang mewujudkan amanah UU istimewa menjadi terhambat. Agresi militer menghentikan semua pekerjaan penyusunan lambang negara.

    Pada saat itu, M. Yamin masuk dalam kelompok Persatuan Perjuangan, menolak hasil Perjanjian Linggar Jati. Menurut Yamin, perjanjian tersebut lebih banyak merugikan Indonesia secara de fakto, karena berdasarkan perundingan tersebut Indonesia bakal kehilangan tiga per empat wilayahnya.

    Kelompok ini dalam semangat Gerpolek (Gerilya, Politik, Ekonomi) membawa semangat non kooporatif, terhadap perjuangan diplomasi. Kemudian M. Yamin pada saat itu mendapat sanksi hukuman penjara, kemudian keluar kembali dari penjara.

    Indonesia antara tahun 1946, 1947, 1948, 1949 berjibaku untuk mempertahankan NKRI mendapatkan pengakuan secara de jure dan de facto. Hingga kemudian tercapai kesepakatan dalam Konferensi Meja Bundar Desember 1949.

    Perundingan ini dikhwatirkan akan menyudutkan pemerintah Indoenesia, sehingga ada dua strategi diplomasi perjuangan yang ditempuh pemerintah Indonesia. Indonesia membuat dua kaki yaitu Republik Indonesia (RI) dan Republik Indonesia Serikat (RIS).

    Sultan Hamid II, pada saat itu itu ditunjuk oleh Bung Besar menjadi Menteri Negara, Zonder Porto Folio atau menteri koordinator yang tidak memiliki departemen. Tapi ia memiliki tanggung jawab yang berat, yaitu mewujudkan Gedung DPR dan mewujudkan Lambang Negara. Dari situlah sejarah lambang negara dimulai.

    Salah satu presiden Indonesia yang jarang dikenal pada saat ini adalah Mr. Asaad. Ia memimpin RI saat RIS sedang melakukan perundingan di Konferensi Meja Bundar. Di dalam konferensi itu, ada tiga pihak yang bertemu. Pertama adalah Majelis Permusyawaratan Federal atau Bijeenkomst voor Federaal Overleg (BFO), kedua, pemerintah Kerajaan Belanda, dan ketiga Bung Hatta yang mewakili pemerintah RI.

    Sultan Hamid II  hadir di konferensi tersebut mewakili BFO. BFO ketika itu dianggap berpihak kepada pemerintah Belanda. Namun dalam narasi sejarah diplomasi perjuangan Indonesai, BFO justru yang berhasil mengembalikan Bung Karno dan Bung Hatta dari masa pembuangan di Bangka Belitung kembali ke Yogyakarta.

    Pada saat itu BFO terdiri atas sejumlah Negara Federal, diantaranya adalah Negara Indonesia Timur yang dipimpin oleh Dr. Ida Anak Agung Gde Agung dengan wakilnya Sultan Hamid II, mewakili daerah istimewa Kalimantan Barat. BFO dirancang pemerintah Belanda untuk menjegal pemerintah Republik Indonesia di masa revolusi perjuangan, namun ternyata berbalik arah menjadi berpihak kepada pemerintah Republik Indonesia.

    Kehadiran Sultan Hamid II di Konferensi Meja Bundar menjadi fakta bahwa pada saat itu orang yang berada di dalam pemerintah BFO tidak bekerja sesuai dengan harapan pemerintah Belanda. Sehingga kemudian di Bandung dilakukan pertemuan oleh Gubernur Jenderal Belanda di gedung Parlemen Negara  Pasundan, yang sekarang adalah gedung Dwi Warna di jalan Diponegoro.

    Kemudian Belanda membentuk komunitas federal baru yang disebut  Pemerintah Federal Sementara atau Voorlopige Federale Regering (VFR), karena BFO tidak bekerja sesuai harapan pemerintah Belanda. VFR inilah yang benar-benar berpihak kepada pemerintah Belanda dan menolak republik. Dari sini gugur sudah informasi yang bersiliweran kesana kemari yang mengatakan BFO menjadi kaki tangan pemerintah Belanda di masa diplomasi perjuangan Indonesia.

    Sultan Hamid Memimpin Perancangan Lambang Negara

    Sebelum Konferensi Meja Bundar, Republik Indonesia memerlukan lambang Negara. Kemudian muncul Kabinet Indonesia Serikat.

    Setelah terbentuk RIS, kemudian dibentuk kabinet. Sultan Hamid II diangkat sebagai menteri Zonder Portofolio. Ia ditugaskan membuat Gedung Parlemen dan Lambang Negara. Kemudian dibentuklah kepanitiaan lambang negara yang diketuai Sultan Hamid II.

    M. Yamin diangkat sebagai sekretaris, karena dianggap mengetahui riset paling banyak mengenai lambang Negara pada tahun 1946. Anggota selanjutnya adalah Ki Hajar Dewantara, anggota Riset Panitia Indonesia Raya tahun 1946. Kemudian MA Pelaupesy, seorang hakim dari Ambon dan Raden Mas Ngabehi Poerbatjaraka yang sangat dikenal menguasai manuskrip Jawa dan salah seorang Indonesia yang mendapat gelar profesor dari Pemerintah Belanda, karena menguasai manuskrip Jawa kuno serta Muhammad Natsir, tokoh Partai Masyumi.

    Muncul Rancangan dari Mohammad Yamin dan Sultan Hamid II

    Rancangan M. Yamin

    Rancangan M. Yamin memiliki tujuh garis air yang melambangkan tujuh pulau besar di nusantara. Tujuh pulau besar tersebut dahulu ditaklukan oleh VOC.

    Disitu juga ada nyiur pohon kelapa di kanan dan kiri. Nyiur pohon kelapa di kanan dan di kiri melambangkan satu wilayah panjang yaitu 13667 pulau dan sepanjang pantai ditumbuhi pohon kelapa.

    Lalu ada bulan dengan sinar matahari ini nanti dibaca sebagai 1881. Satu- satu datang dari pohon nyiur pohon kelapa. Delapan-delapan datang dari bulan dan datang dari lambang tanduk kerbau.

    Rancangan M. Yamin, ada yang buat lambang negara dan ada yang buat materai. Rancangannya selalu berbentuk perisai dengan tujuh pulau besar di nusantara.

    Rancangan M. Yamin

    Rancangan Sultan Hamid II

    Sedangkan rancangan Sultan Hamid II, sosoknya sudah menjadi garuda. Ia mendapat masukan dari Ki Hajar Dewantara. Garudanya memiliki tangan memegang erat perisai.

    Sultan Hamid II juga sempat meminjam Garuda Sintang sebagai pembanding. Garuda Sintang adalah patung garuda yang dibawa dari Kerajaan Majapahit. Garuda Sintang ini dibawa Patih Lohgender sebagai mas kawin untuk melamar putri Kesultanan Sintang, namanya Putri Darajuanti.

    Selanjutnya dalam perubahannya, tangannya hilang diganti rantai. Kemudian kaki garuda, nanti akan pindah dari belakang ke depan. Kepalanya menoleh ke kanan.

    Seperti dijelaskan Sultan Hamid II, dalam peradaban nusantara melihat ke kanan adalah melihat kebaikan. Sama seperti shalat, harus melihat ke kanan dulu.

    Sultan hamid II kuliah di Technische Hoogeschool te Bandoeng (T.H.B) yang kini menjadi Institut Teknologi Bandung (ITB). Dia adalah adik kelas Sukarno. Mereka merupakan sahabat baik, sama-sama jurusan Teknik Sipil. Maka teknik yang ia gunakan untuk menggambar adalah teknik dasar mahasiswa jurusan Teknik Sipil.

    Tapi Sultan Hamid II adalah anak yang cerdas. dia tidak menyelesaikan pendidikan di T.H.B, karena diterima di Akademi Mileter Belanda “Breda”. Dia menyelesaikan studinya sebagai Kadet atau calon perwira di akademi mileter tersebut.


    Gambar : Sketsa figur garuda rancangan Sultan Hamid II

    Dinamika Perancangan Garuda Pancasila

    Tanggal 20 Januari Sultan Hamid II menerima surat yang isinya hasil riset dari Ki Hajar Dewantara bersama M. Yamin tanggal  26 Januari –  8 Febuari. Dalam surat tersebut memutuskan memilih salah satu gambar dan menolak gambar lain karena ada unsur mitologi yang nantinya akan sulit diartikan oleh generasi muda ke depan.

    Karena itu Sultan Hamid II mengubah dari wujud figur garuda menjadi wujud figur elang. Ia menghilangkan tangan, kepala yang masih seperti mitologi. Kemudian kakinya yang masih di belakang perisai. Kemudian terjadi perubahan yang fundamental, dari sosok garuda menjadi sosok elang.

    Di tahap pertama ini rujukannya adalah sosok garuda. Maka pada tahap kedua, Sultan Hamid II menjelaskan dalam suratnya, ia sebagai alumni akademi militer Berda, mempelajari simbol-simbol kedaulatan Negara-Negara di eropa.

    Sebagai perbandingan dia melihat berbagai sosok elang, diantaranya elang Jerman, Polandia, Mesir, dan Irak. Bahkan dia juga mendapat masukan pedang Sayidina Ali yang ada sosok elang.

    Dari rujukan tersebut ada yang sayapnya ke atas, ada yang ke bawah. Ada yang kepalanya menoleh ke kanan, ada yang menoleh ke kiri.

    Kemudian Sultan Hamid II pun mengubah sosok garuda menjadi sosok elang.

    Gambar : Penyempurnaan rancangan I, 26 Januri – 28 Febuari 1950

    Gambar : Rancangan tahap II, Sultan Hamid mengambil figur elang rajawali dalam peradaban dunia.

    Tahap Penyempurnaan

    Figur elang mendapat banyak masukan. Diantaranya dari M. Yamin yang mengusulkan ekor elang dengan jumlah tujuh helai. Jumlah ini mengingatkan kesempurnaan Sapta Praja yaitu konsep kesempurnaan pemerintahan dalam filosifi nusantara.

    Namun MA Pelaupesy mengatakan, jangan lupa lambang negara ini adalah lambang negara yang juga melambangkan kelahiran Republik Indonesia. Negara Proklamasi 17 Agustus 45. Maka Kemudian dari tujuh berubah menjadi delapan. Sementara itu Sukarno meminta agar kepalanya tidak gundul sebagai pembeda dengan lambang negara salah satu negara terbesar di dunia. Kemudian lambang Negara yang telah disempurnakan diberi tanda-tangan oleh kepala negara RIS agar lambang negara ini disetujui menjadi lambang negara.

    Konsep Perisai dan Pancasila

    Dalam proses perancangan lambang negara, Bung Karno bolak-balik mengingatkan kepada Sultan Hamid II, agar tidak lupa memasukkan idenya. Supaya lambang negara merepresentasikan, menyimbolkan, mewakili filosfi Pancasila. Inilah yang kemudian diterjemahkan menjadi perisai. Perisai ini berusaha menerjemahkan Pancasila, sehingga namanya Garuda Pancasila.

    Kalau perisai hilang, maka garuda saja namanya. Inilah pekerjaan yang paling berat, dijelaskan oleh Sultan Hamid II, karena dia harus mampu melakukan interpretasi semiotika.

    Perisai pada Garuda Pancasila memiliki lima sila. Sila ini dijelaskan bukan dengan cara struktural. Perisai terbagi dua yaitu perisai luar dan dalam, perisai luar dan dalam ini ingin mengatakan sebuah konsep yang dijelaskan Bung Besar pada 1 Juni 1945.

    Konsep tersebut berisi, sila kedua ; universalisme dan kemanusiaan, sila ketiga ; kebangsaan, sila keempat ; demokrasi musyawarah mufakat, dan sila kelima ; demokrasi ekonomi. Keempat sila tersebut diikat dengan satu prinsip ketuhanan yang berkebudayaan.

    Perisai Pancasila

    Perisai memiliki dua konsep, yaitu perisai luar dan dalam. Konsep ini lahir dari bagaimana membaca Pancasila.

    Menurut Bung Besar, jika Pancasila diperas menjadi menjadi trisila, maka menjadi sosio nasionalisme, sosio demokrasi, dan ketuhanan yang berkebudayaan. Kemudian jika diperas menjadi satu sila bahasa Indonesia asli, maka menjadi eka sila gotong royong.

    Warna merah putih, merah putih yang melambangkan sila dua, tiga, empat, dan lima, diikat dengan sila satu yaitu perisai kecil di dalam yang berwarna hitam.

    Pancasila dalam perisai ini tidak dibaca satu dua tiga empat lima secara struktur. Dalam perisai ini dia dibaca melingkar, satu, dua, tiga, empat lima.

    Walaupun susunannya bersilang, akan tetap dibaca merah-putih, merah putih. Hal itu, karena dipandu oleh cara membaca yang melingkar berlawanan arah jarum jam.

    Dibalik cara membaca tersebut, ada pesan mendalam agar cara berpikir masyarakat Indonesia adalah cara berpikir yang tidak struktur, tidak linear, karena masyarakat Indonesia lahir dari konsep gotong royong.

    Konsep  ini dijelaskan Sultan Hamid II dengan Thawaf atau di dalam bahasa Melayu Dayak “Gilir Balik”.

    Membaca Pancasila

    Nilai-nilai Pancasila

    Dalam memahami perisai Pancasila yang dirancang dan diresmikan 69 tahun yang lalu, harus juga memahami konsep dasar membaca sila Pancasila. Seperti warna hitam yang dikelilingi orang di Mekkah, Saudi Arabia yang disebut dengan Thawaf.

    Konsep tersebut mengajarkan tentang kesetaraan, kesetiakawanan, menolak struktur, dan menolak feodalisme. Konsep tersebut juga adalah filosofi kesetaraan menurut bangsa nusantara.

    Sila pertama yang diusulkan M. Natsir yang digambarkan sebagai bintang ternyata bukan bintang. Sultan Hamid II menjelaskan, simbol tersebut adalah nur cahaya semua keyakinan, ajaran, kepercayaan yang datang dari sebuah titik nan jauh di sana yang tidak mampu dipikirkan datang dari mana. Dari sanalah semiotika Ketuhanan yang Maha Esa.

    Sila kedua, kemanusiaan yang adil dan beradab yang diusulkan Sultan Hamid II, sebagai humanity universal digambarkan sebagai generasi yang tak terputus. Ia melambangkannya dengan rantai petak lingkar. Yang bermata lingkar melambangkan generasi keturunan perempuan. Yang bermata petak adalah melambangkan generasi laki-laki. Ini biasa dipakai oleh panglima Dayak untuk mengetahui berapa jumlah keturunan yang telah berkembang biak.

    Sila ketiga diusulkan RM Ngabehi Poerbatjaraka. Kebangsaan Indonesia disimbolkan dengan Pohon Astana, bukan Pohon Beringin. Pohon Astana menurut Sultan Hamid II, melambangkan pengayoman antara pemerintah dan masyarakat. Karena biasanya Pohon Astana ini ditanam di halaman depan kerajaan dan disitu biasanya raja bertemu para kaula.

    Sila keempat, kepala banteng diusulkan M. Yamin. Menurut Sultan Hamid II, kepala banteng melambangkan kehidupan banteng yang endemik, selalu berkumpul, selalu berkelompok, maka musyawarah mufakat di Indonesia, harus mencapai win-win solution sebagai  kekuatan demokrasi bangsa Indonesia.

    Sila kelima, diusulkan gambarnya secara semiotik oleh Ki Hajar Dewantara. Dia mengusulkan demokrasi ekonomi Indonesia dilambangkan kecukupan sandang dan pangan, padi dan kapas.

    Garuda Pancasila Diresmikan Sebagai Lambang Negara

    Garuda Pancasila  diresmikan pemakaiannya sebagai lambang negara pertama kali pada Sidang Kabinet Republik Indonesia Serikat pada tanggal 11 Februari 1950. Kemudian diperkenalkan Sukarno untuk pertama kali kepada rakyat Indonesia pada 15 Febuari 1950.

    Sultan Hamid II Dilupakan

    Pada tahun yang sama yakni tahun 1950, Sultan Hamid II dituduh terlibat dalam Kudeta Westerling dan dihukum 10 tahun penjara. Namanya pun banyak dilupakan sebagai orang yang berjasa merancang lambang negara.

    Presentasi ilmiah Sejarah Lambang Negara ini juga dihadiri oleh istri Max Yusuf Al Kadrie beserta keluarga. Sebagai penutup, dibacakan juga surat Sultan Hamid II kepada Solichim Salam tentang perancangan Garuda Pancasila. Surat ini dibacakan oleh Furqan AMC, CEO KabarKampus yang juga Sekjen GSC, Keluarga Max Yusuf Al Kadrie, serta audiens.[] []

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here