Di era yang disebut-sebut 4.0 di mana peran teknologi informasi menjadi ciri khasnya, tidak mudah menjalankan sebuah kelompok yang fokus di bidang pertunjukan seperti teater. Tetapi jalan teater ini konsisten dilakoni kelompok teater Bandoengmooi. Anggota kelompok ini amat beragam, mulai mahasiswa, pelajar sampai buruh toko atau buruh lepas.
Sebagaimana namanya, kelompok Bandoengmooi lahir di Bandung pada 1996 ketika negeri ini masih di bawah kekuasaan rezim otoriter Soeharto. Pimpinan Bandoengmooi, Hermana HMT, menuturkan Bandoengmooi merupakan sebuah komunitas independen yang fokus pada pengembangan sumber daya manusia di dunia seni dan budaya.
“Siapa pun boleh masuk dan terlibat langsung di komunitas ini, wujud terpenting adalah dedikasinya terhadap pemajuan pendidikan, konservasi, revitalisasi, dan inovasi seni dan budaya lokal,” terang Hermana, saat berbincang dengan KabarKampus, baru-baru ini.
Pria lulusan Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) (kini ISBI Bandung) jurusan Penyutradaraan itu berkisah, Bandoengmooi berdiri atas prakarsa Aendra H. Medita (jurnalis/seniman), Dodi Rosadi (seniman) dan pegiat seni lainnya. Pendirian Bandoengmooi terbilang unik karena bersamaan dengan diselenggarakan pameran lukisan karya Rosid pada 1996. Rosid adalah salah satu pelukis kenamaan di Bandung.
Kegiatan Bandoengmooi di awal berdirinya dilatarbelakangi panasnya suhu politik di Indonesia di penghujung pemerintahan Orde Baru. Pada 1997, terjadi pembungkaman atau pembredelan terhadap pers. Secara sembunyi-sembunyi, Bandoengmooi menggelar diskusi kebebasan pers dengan mengundang pers mahasiswa.
Tahun 1998, Bandoengmooi pertama kali menggelar teater monolag berjudul “Terkapar” Hermana HMT dan Brehoh karya Aendra H. Medita. Hingga kini, Bandoengmooi rutin menggelar pertunjukan teater modern maupun tradisional. Belakangan pertunjukan longser menjadi ciri khas kelompok teater ini.
Nama Bandoengmooi sendiri diambil dari nama majalah jadul bernama Mooi Bandoeng. “Supaya tidak persis sama, kami membalikan kata Bandoeng di depan dan kata mooi mengikutinya. Dalam bahasa Belanda mooi artinya indah dan Bandoengmooi adalah Bandung yang indah,” terang Hermana.
Kini, meski sejumlah pendiri tidak lagi aktif di kelompok teater ini, menurut Hermana mereka tetap memberikan dukungan. Sekarang praktis Bandoengmooi di bawah pembinaan Hermana yang setiap tahunnya melakukan pelatihan seni khususnya teater tradisonal longser dan teater modern.
Di samping itu, kelompok ini mengembangkan seni helaran Bangbarongan Munding Dongkol, melakukan pemuliaan terhadap air bersih melalui kegitan Upacara Adat Hajat Cai, dan menggelar pertunjukan yang khusus mengusung tema pemeliharaan lingkungan hidup dan kritik sosial.
Saat ini anggota aktif Bandoengmooi tercatat 35 orang. “Tapi yang kurang aktif lebih banyak. Kita tiap tahun menerima anggota baru dan melekukan pelatihan. Pesertanya pelajar, mahasiswa, buruh, tukang ojeg, pegawai bank, pegawai toko, pekerja lepas,” papar Hermana.
Usia anggota Bandoengmooi beragam, paling senior berusia 40 tahun. Tapi menurut Hermana, kebanyakan anggota kelompok teaternya berusia antara 15-30 tahun. Tidak sedikit anggota yang juga main di kelompok teater lain atau mendirikan kelompok teater sendiri. Ada juga yang bersolo karier sebagai komedian.
Tantangan di Zaman Medsos
Hermana mengakui tantangan perjalanan teater di masa lalu berbeda dengan kini. Kini, kelompok teaternya berada di era digital, setiap kegiatan manusia tak lepas dari peran teknologi komunikasi seperti gadget dan internet.
Hermana bilang pelaku teater tentu harus mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Bahkan mengambil manfaatnya. Misalnya, memanfaatkan media sosial sebagai sarana publikasi. “Sekarang tidak perlu bikin poster atau sepanduk banyak-banya dalam bentuk fisik, tapi poster bisa disebar langsung di medsos dan jangkauanya lebih kuat,” kata seniman kelahiran Cimahi, 11 Oktober 1969.
Begitu juga dalam pembuatan naskah untuk latihan. Kelompok ini punya grup Whatsapp yang fungsinya sebagai media komunikasi sekaligus koordinasi. Naskah yang harus dihafalkan selama latihan, cukup dibagikan softcopy-nya ke grup Whatsapp tersebut. Saat pelaksanaan latihan, pemain cukup membaca naskah lewat ponsel pintarnya.
“Ya, teknologi harus menjadi pendukung sehingga kami tidak ketinggalan pekembangan zaman,” katanya.
Hermana yakin, selama mengikuti perkembangan zaman, kelompok teaternya tidak akan ditinggalkan generasi muda. Regenerasi terus berjalan. Bahkan musim Youtube dan medsos pun tak menyurutkan generasi muda untuk belajar atau menggeluti seni pertunjukan. “Paling sidikit kendalanya ketika lagi proses latihan berkesenian konsentrasi mereka terkadang terbagi dua dengan hp-nya, namun itu bisa diatasi,” katanya. []
Foto:
1 Hermana HMT
2 Pertunjukan teater Bandoengmooi (Iman Herdiana)