Ilustrasi / Foto : businessfirstfamily.com
Gelar yang diidamkan dan sudah ada di depan mata bisa hilang saat mahasiswa tidak memiliki dana yang cukup untuk menebusnya. Berutang menjadi pilihan ketika orang tua tidak mampu atau kampus tidak menyediakan beasiswa. Meski bunga mencekik, pinjaman melalui perusahaan teknologi finansial menjadi alternatif solusi.
Charizon Afrinadria nekad merantau ke Jakarta untuk melanjutkan niatnya menjadi perawat profesional. Dia sudah mengantungi gelar sarjana keperawatan dari tempat kuliahnya di Bengkulu. Tapi, untuk menjadi perawat profesional, dia harus menyelesaikan pendidikan profesi Ners.
Berangkat ke Jakarta, Charizon sebenarnya sudah diterima di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Maju di Jagakarsa, Lenteng Agung. Namun, bekal yang dibawanya dari kampung halamannya tidak cukup. Untuk membiayai hidup dan kuliahnya selama di Jakarta, dia harus memeras keringat, bekerja sebagai tukang parkir di kawasan Depok, Jawa Barat.
Dari hasil menjaga parkir, dia mampu mengumpulkan uang Rp 1 juta setiap bulan. Uang itu digunakannya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan juga mencicil biaya kuliahnya.
“Aku nggak pernah minta sama orang tua. Di Jakarta sendirian. Jadi semua kebutuhan hidup dan biaya kuliah berasal dari kerja menjaga parkiran,” tutur Charizon kepada KabarKampus, Jumat, (17/01/2020).
Pemuda berumur 25 tahun ini bertutur, pekerjaan sebagai tukang parkir dilakoninya selama 12 jam. Sepulang kuliah atu pulang dinas dari rumah sakit dia langsung menuju tempatnya bekerja. Siang kuliah, malam menjaga parkir.
“Tidurnya saat jam istirahat makan siang saja. Waktu istirahat selesai, saya dibangunkan oleh teman,” tutur Charizon. Hal itu dilakoninya hingga tamat kuliah.
Setiap harinya, rata-rata, parkiran tersebut bisa menghasilkan uang hingg Rp 300 ribu. Tidak semuanya masuk ke kantong Charizon. Uang itu dibagi empat orang, termasuk dibagi kepada pemilik lahan parkir.
Namun selama hampir setahun bekerja di parkiran, Charizon hanya mampu mengumpulkan uang sebanyak Rp 15 juta. Uang hasil kerja siang malam itu tidak mampu menutupi seluruh biaya kuliah yang dibutuhkannya, yang mencapai Rp 25 juta. Untuk dapat menyelesaikan pendidikan dan wisuda di kampusnya, Charizon masih perlu setidaknya Rp 10 juta lagi.
“Waktu itu saya hanya punya waktu dua minggu untuk melunasi segalanya. Total Rp 10 juta. Bila tidak, saya tidak bisa diwisuda,” kata Charizon.
Bila tidak diwisuda, kerja kerasnya untuk menjadi tenaga keperawatan yang profesional, sia-sia.
Di tengah kebingungan tersebut, seorang temannya mengenalkan DANAdidik, salah satu perusahaan teknologi finansial atau fintech (financial technology) yang menawarkan dana pijaman pendidikan. Tanpa pikir panjang dan membandingkan dengan yang lain, Charizon langsung mengajukan pinjaman.
“Setelah melalui proses wawancara melalui video call, dalam waktu dua hari pengajuan saya cair,” tutur Charizon.
Bunga
Charizon menjelaskan, ketika meminjam uang, ia memang tidak terlalu memikirkan bunga atau bagi hasil. Ia baru menyadari besaran bunga yang harus dibayarkan setelah mulai bekerja.
Setiap bulan, Charizon harus rela penghasilannya dipotong 30 persen untuk membayar cicilan DANADidik. Angka tersebut merupakan kesepakatan bagi hasil antara Charizon dan pemberi pinjaman. “Cicilan saya sekarang 400 ribu per bulan,” ujar Charizon. yang saat ini telah bekerja di salah satu rumah sakit di Cijantung, Jakarta Timur ini.
Namun, pria yang sempat menjadi relawan di Palu selama tiga bulan ini mengaku masih sering telat membayar cicilan setiap bulannya. Akibat keterlambatannya itu, pendapatnnya berkurang RP 50 ribu yang dihitung sebagai denda keterlambatan pembayaran cicilan. Denda keterlambatan itu biasanya ditagih pada bulan pembayaran berikutnya.
Tidak berbeda dengan Charizon, Siti Iklimah, mahasiswi salah satu akademi kebidanan di Cianjur, harus bekerja untuk mendapatkan dana tambahan guna membiayai kuliahnya. Bedanya, Siti meminjam uang kuliah sejak masih semester dua.
“Saya terpaksa meminjam karena ekonomi orang tua sedang bermasalah. Saya sendiri nggak mau cuti kuliah,” kata Siti,
Siti kemudian mencari uang tambahan sebagai penyiar radio untuk mencukupi kebutuhannya. Sepulang kuliah dia mengisi program siaran radio selama dua jam. Per jam siaran, dia dibayar Rp 40.000. Dalam satu bulan, bersih, dia bisa mengantongi Rp 700 ribu hingga Rp 800 ribu dari hasil kerjanya sebagai penyiar.
Setelah dihitung-hitung, uang itu masih tidak mencukupi untuk kebutuhan kuliahnya sebesar Rp 12,550 juta, termasuk biaya per semester dan praktik. Dia membutuhkan sumber dana lainnya. Dibanding meminjam ke rentenir, Siti berpaling ke perusahaan fintech.
Dua perusahaan dihubunginya, yaitu GoKampus dan DANAdidik. Dari kedua perusahaan, yang bersambut hanya DANAdidik. Berbekal kartu keluarga, kartu tanda mahasiswa, kartu tanda penduduk orang tua dan transkip nilai dari kampus, dalam waktu 24 jam, dana pinjaman yang diajukan Siti, cair.
Siti mengaku berani meminjam ke DANAdidik karena tanpa agunan, tanpa survei dan tenornya panjang. Ia dapat meminjam dengan tenor empat tahun yang dapat dibayar pada saat masih berstatus mahasiswa dan setelah bekerja.
“Ketika kuliah bunganya nol persen. Tapi setelah gaji akan dipotong sebesar 30 persen untuk membayar hutang,” ungkap Siti. Meski selama kuliah bunga pinjaman nol persen, Siti mengaku harus mengangsur Rp 217.308 kepada DANAdidik selama masih kuliah.
Sistem bagi hasil sebesar 30 persen setelah Siti bekerja pun tidak terlalu dipusingkannya. Siti, yang akan lulus pada Agustus 2020 ini berhitung, dengan upah minimum regional Cianjur sebesar Rp 2,250 juta, terlihat masuk akal baginya.
“Saya pikir gaji Rp 1 juta dipotong 30 persen, masih terjangkau. Beda kalau gaji di atas Rp 10 juta. Kalau dipotong 30 persen cukup terasa,” ungkap Siti. Kini, cicilannya tinggal Rp 5 juta belum termasuk bunga.
Antrean panjang peminjam
Siti dan Charizon adalah dua dari lebih 500 mahasiswa yang ketika kuliah meminjam uang di DANAdidik, perusahaan peer-to-peer lending untuk pinjaman pendidikan. Antrean calon peminjam dari kalangan mahasiswa telah mengular sejak perusahaan ini didirikan pada tahun 2015 lalu.
Nadya Rima Darmayanti, Marketing Communication DANAdidik, menjelaskan, calon peminjam dari kalangan mahasiswa sudah mencapai angka 30 ribu orang. Namun, belum semua bisa terlayani. Perusahaan ini membutuhkan waktu untuk meneliti calon peminjam dengan lebih detil.
“Kami memiliki sistem kredit skoring dan resiko apakah ia nantinya mampu mencicil atau tidak. Sebagai perusahaan terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan, kami tidak bisa sembarangan meminjamkan,” kata Nadya.
Sistem kredit skoring adalah sistem untuk menilai apakah calon peminjam mampu atau sebaliknya dalam pengembalian dana yang dipinjam. Sistem itu dibuat untuk mengantisipasi gagal bayar atau gagal kredit. Beberapa indikator yang ada di dalam sistem tersebut diantaranya latar belakang peminjam, gaji orang tua, hasil wawancara si peminjam dan teman peminjam. “Tapi, rata-rata para mahasiswa yang meminjam ini memiliki kerja sambilan,” terang Nadya.
Selain syarat di atas, calon peminjam haruslah mahasiswa tingkat akhir pada jenjang D3 hingga S2. Juga harus ada wali penjamin yang berpenghasilan sebagai pemberi jaminan.
Saat ini tambah Nadya, mereka menawarkan cicilan 0,83 persen hingga 2,25 persen flat per bulan dengan tenor hingga dua tahun, tanpa jaminan. Prosesnya online dan jika berkas dan disetujui, dana akan cair dalam dua hari.
Mulai tahun 2019, DANAdidik memfokuskan diri pada mahasiswa bidang kesehatan atau sejenisnya.
“Lulusan kesehatan permintaanya banyak, sehingga kemungkinan bekerjanya cukup besar dan kemungkinan mereka mencicil lebih besar,” ungkap Nadya. Dia menambahkan kalau kebijakan ini dikeluarkan salah satunya untuk mengantisipasi kredit macet.
Pinjaman macet di Unisba
Manajemen kampus sebenarnya memiliki program yang sama dengan yang digarap oleh perusahaan fintech saat ini. Bahkan, kelebihan mereka adalah tanpa agunan dan tanpa bunga. Universitas Islam Bandung (Unisba) adalah salah satunya. Program pinjaman itu bernama Dana Talang.
Program itu mulai berjalan sejak tahun 2016 dan sudah membantu sekitar 150 mahasiswa Unisba yang kesulitan dalam pembiayaan kuliah. Namun, kini, timbul masalah baru. Sebanyak 70 persen mahasiswa penerima bantuan tidak membayar Dana Talang. Program ini mangkrak.
Data dari Baitul Maal Unisba, nilai tunggakan berkisar antara Rp 1 juta hingga yang tertinggi Rp 10 juta. Pengelola memberikan sanksi bagi mahasiswa penunggak dengan sanksi akademik hingga tidak bisa mengikuti sidang skripsi bagi peminjam yang dinilai tidak memiliki itikad baik untuk mengangsur.
Adhi Dwinata, Penanggungjawab Bidang Program dan Layanan Baitul Mal menjelaskan program Dana Talang itu dibuat atas dasar kebajikan, yang akhirnya membuat pinjaman tidak memerlukan agunan dan bahkan tidak berbunga.
Adhi mengakui kalau konsep pinjaman seperti yang dilakukan mereka memberi peluang besar terjadinya kredit macet. Terlihat dari awal bergulirnya Program Dana Talang, mahasiswa yang macet membayar cicilian hutang cukup banyak. Dua hal yang dinilai membuat peluang terjadinya kredit macet dalam program ini yaitu pinjaman terbuka untuk mahasiswa baru dan jumlah pinjaman full, sesuai dengan kebutuhan biaya pendidikan per semester.
Ada lima fakultas yang tidak lagi bisa mengakses Program Dana Talang, yaitu Ilmu Komunikasi, Teknik, Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA), Syariah, serta Ekonomi dan Bisnis.
Pengelola sudah mencoba memperbaiki dengan mengeluarkan kebijakan yang melarang mahasiswa baru mengakses program tersebut. Pengelola juga melibatkan Badan Eksekutif Mahasiswa untuk melakukan seleksi kepada mahasiswa calon peminjam di tingkat fakultas.
“Setelah mengganti peraturan peminjaman, tunggakan mahasiswa turun di bawah 50 persen,” terang Adhi.
Adhi sendiri menghimbau kepada mahasiswa Unisba agar menjauhi pinjaman fintech untuk membantu pendidikan mereka. Selain karena Program Dana Talang yang tanpa bunga dan tanpa agunan, kompromi masih bisa dilakukan antara pengelola dan peminjam bila terjadi sesuatu. “Asalkan membuka komunikasi dengan baik,” ujar Adhi.
Pemahaman kondisi keuangan
Hadirnya perusahaan fintech pembiayaan pendidikan sejalan dengan usulan Presiden Joko Widodo (Jokowi), 2018 lalu. Ia mengusulkan agar perbankan mengucurkan dana kredit pendidikan.
“Saya menantang perbankan kita untuk mengeluarkan produk kredit pendidikan atau kalau di Amerika biasa dinamakan ‘student loan’,” kata Jokowi. Pinjaman pendidikan bagi siswa di Amerika Serikat nilainya lebih besar dari total pinjaman kartu kredit, kata Jokowi, dilansir Tirto.id.
Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadjaran, Yudi Aziz, menjelaskan, pinjaman pendidikan atau student loan memberikan kemudahaan akses pembiayaan bagi setiap mahasiswa dengan kondisi keuangan apapun. Namun, pada saat yang sama, mahasiswa calon peminjam harus mampu mengkaji rasio kemampuannya mencicil.
Bekerja pada waktu senggang adalah salah satu solusi untuk meningkatkan kemampuan mencicil. Saat ini sudah banyak peluang bekerja bagi mahasiswa, mulai sebagai tenaga magang di perusahaan atau industri, bekerja sebagai pengemudi taksi daring hingga sebagai pialang saham. Atau bila memiliki kemampuan mengelola usaha, bisa membuka usaha sendiri.
“Mahasiswa sekarang harus memiliki keterampilan wiraswasta atau entrepeneur. Kalau tidak, masih mengandalkan orang tua, bahaya. Peluang untuk gagal bayar lebih besar,” kata Yudi.
Pengeluaran berlebihan yang tidak berhubungan dengan kebutuhan sehari-hari harus dikurangi, atau bahkan menurut Yudi, harus dihilangkan.
Senada dengan Yudi, belajar dari pengalaman, Charizon pun mengatakan hal yang sama. Dia menyarankan agar mahasiswa yang ingin meminjam dana pendidikan, harus benar-benar diperuntukkan untuk biaya kuliah. Apalagi bunga yang dikenakan lebih besar dari bunga bank.
“Kalau mau pinjam tidak apa-apa, tapi dipergunakan benar-benar untuk kepentingan kuliah. Kalau mau main-main, lebih baik pinjam sama saudara,” kata Charizon.
Charizon menyatakan, pinjaman pendidikan ini adalah pinjaman yang pertama dan terakhir baginya.[]